Penulis : Andi Salim
Politik sejatinya adalah pengabdian tertinggi dalam kehidupan manusia, politik itu sesuatu yang mulia. Betapa tidak, hanya politik yang membicarakan sebuah tata kelola negara dan kesejahteraan rakyatnya. Suatu negara akan maju dan besar dimulai dari tata kelola politik yang baik. Banyak politikus yang bergabung ke partai politik merupakan figur figur yang oportunitis yang sejak awal sudah punya niat menggunakan parpol sebagai sarana untuk mencapai tujuan tujuan pribadinya. Oportunisme adalah suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu.
Oportunisme bisa saja merupakan tindakan bijaksana namun tetap saja memiliki motivasi mementingkan diri sendiri. Namun bisa juga dimaknai secara netral, Sikap ini dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk memanfaatkan kesalahan orang lain, untuk dimanfaatkan berbagai peluang yang diciptakan dari kelemahan atau kesalahan serta gangguan dari lawan yang diolah sebagai keuntungannya sendiri. Dalam oportunisme politik ini, ditandai dengan tujuan praktis yang sangat kelihatan yaitu kursi kekuasaan. Lalu, untuk sebuah kursi kekuasaan dan juga lingkaran kekuasaan di sekitarnya segala cara dibuat sebagai gerakan meskipun melanggar prinsip-prinsip ideologinya. Uang tetap menjadi pertaruhan yang paling umum.
Agama dan fanatisme akan diperalat sedemikian rupa dalam politik identitas. Para Oportunis hanya berorientasi pada masa jabatannya saja, dan akan mencari peluang untuk berkuasa kembali pada periode berikutnya. Citra diri harus terus dibangun untuk dikenal publik, misalnya sebagai orang yang baik, orang dermawan, orang yang taat pada aturan dan orang yang punya perhatian pada rakyat kecil. Demi kehidupan demokrasi yang sehat selayaknya parpol membuat aturan dan batas ukuran yang lebih selektif sehingga tidak semua figur bisa masuk apalagi para oportunis yang memang sejak awal berniat untuk menggunakan parpol sebagai kuda tunggangan demi meraih ambisi pribadinya.
Ada dua jenis pemimpin birokrasi, negarawan atau politisi oportunis. Seorang negarawan sepenuhnya berpikir untuk kepentingan rakyat, sedangkan politisi selalu berbicara kepentingan politik, entah tujuan pribadi maupun kelompok atau golongan. Politisi yang jadi pemimpin cenderung mengutamakan kepentingan politik bahkan rela mengabaikan tindakan yang berujung kebaikan, kalau kebaikan tersebut akan memberi keuntungan bagi lawan politiknya. Negarawan adalah sebutan untuk orang yang ahli dalam mengurusi negara dan menjalankan pemerintahan. Negarawan adalah pemimpin politik yang mengelola negaranya dengan kebijaksanaan dan kewibawaannya.
Berbeda dengan politisi, politisi merupakan orang yang terlibat dalam dunia perpolitikan, termasuk juga ahli politik, walau mereka juga sama sama ikut serta dalam pemerintahan. Kekuasaan memang selalu menggiurkan banyak orang. Sebut saja Jusuf Kalla, atau biasa kita panggil dengan sebutan JK. Setelah menang dalam pilpres 2004-2009, JK yang saat pencalonannya sebagai wapres tanpa dukungan dari partai Golkar. Namun setelah kemenangannya, JK malah mampu merebut pucuk pimpinan sebagai ketua umum partai Golkar tersebut. Jusuf Kalla kembali mencoba keberuntungan di tahun 2014. Bersama Jokowi dan ikut sebagai wapres lagi, dalam kondisi yang sama, beliau terpilih sebagai wapres untuk periode 2014-2019.
Walau pada saat pencalonannya lagi lagi beliau masih saja tidak menampakkan kepatuhan akan rekomendasi partai, sehingga pencalonannya praktis didukung oleh partai-partai lain dari besutan Megawati yang menggalang koalisi guna memenangkan pilpres pada saat itu. Ajaibnya pasca kemenangan Jokowi dan dirinya, partai Golkar justru mengikuti ajakannya dirinya untuk bergabung kedalam koalisi pemerintahan saat itu. Kemampuannya membaca alur politik menjadikannya mahir dalam memilih strategi kebijakan sekaligus mengidentifikasi berbagai alternatif strategi, termasuk menemukan hal yang paling memenuhi syarat dari sifat multidimensional sebuah kebijakan yang diambilnya, seperti efektifitas, efisiensi serta parameter landasan keadilan yang tentu menjadi buah pijakan dirinya selaku politikus ulung negeri ini.
Sebenarnya ada pemimpin tipe lain. Yakni politikus yang berwujud negarawan. Memang jenis ini tidak ideal, tapi juga tidak buruk-buruk amat. Jenis politisi yang menjalankan tugasnya tetapi selalu memilih tugas yang dapat meningkatkan pencitraan dirinya. Indonesia memerlukan sosok pemimpin yang negarawan dan kuat untuk mempertahankan Empat Pilar. Sebab krisis ekonomi global dan ancaman pandemi Covid-19 akan berdampak signifikan terhadap stabilitas di dalam negeri. Semoga kita lebih bijaksana dalam memilih pemimpin Nasional atau Kepala daerah dengan cara mencerdaskan pribadi masing masing agar kwalitas demokrasi kita lebih baik dimasa yang akan datang.
Dalam ilustrasi suatu kepemimpinan, ketika seorang pemimpin ingin mendapatkan loyalitas bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya, maka bukan tidak mungkin segala hal akan dibebaskannya hingga terjadi pencurian, korupsi dan penyimpangan lainnya yang dengan sengaja dibiarkan demi mendapatkan kenyamanan bagi semua pihak. Namun akan berbeda jika pengendalian suatu kepemimpinan itu terlihat efektif oleh karena adanya pengendalian pemimpin. Maka penerapan kepatuhan akan tata kelola pemerintah pun menjadi hal yang dirasakan masyarakat. Sebab pada sistem kendali yang baik, siapa pun boleh mengambil keuntungan secara wajar tanpa harus merugikan negara. Maka disanalah perbedaan atas pola pembiaran bila dibandingkan dengan pemimpin yang memegang kendali penuh.
Pada era Jokowi, terlihat sekali jika pemerintah begitu terasa mengendalikan berbagai lini sektor yang dibawahinya. Termasuk pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan dari pola kepemimpinan yang beliau terapkan. Artinya silahkan saja mengambil keuntungan secara wajar sepanjang tidak mencuri / korupsi atau merugikan keuangan negara. Pada titik inilah penulis menyampaikan kritik atas pendapat JK sebagaimana yang beliau sampaikan ke publik dari ilustrasi yang penulis kutip, Walau penulis tidak perlu menyudutkan pada era kepemimpinan mana yang dimaksudkan. Namun faktanya banyak kasus-kasus yang justru terungkap justru terjadi sebelum jokowi memegang jabatan selaku Presiden.
#TI #jkwguard #Toleransiindonesia #Andisalim
Sekiranya anda suka dengan Tulisan ini, maka silahkan bantu Share
Ayo bergabung pd Toleransi Indonesia
Politik sejatinya adalah pengabdian tertinggi dalam kehidupan manusia, politik itu sesuatu yang mulia. Betapa tidak, hanya politik yang membicarakan sebuah tata kelola negara dan kesejahteraan rakyatnya. Suatu negara akan maju dan besar dimulai dari tata kelola politik yang baik. Banyak politikus yang bergabung ke partai politik merupakan figur figur yang oportunitis yang sejak awal sudah punya niat menggunakan parpol sebagai sarana untuk mencapai tujuan tujuan pribadinya. Oportunisme adalah suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu.
Oportunisme bisa saja merupakan tindakan bijaksana namun tetap saja memiliki motivasi mementingkan diri sendiri. Namun bisa juga dimaknai secara netral, Sikap ini dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk memanfaatkan kesalahan orang lain, untuk dimanfaatkan berbagai peluang yang diciptakan dari kelemahan atau kesalahan serta gangguan dari lawan yang diolah sebagai keuntungannya sendiri. Dalam oportunisme politik ini, ditandai dengan tujuan praktis yang sangat kelihatan yaitu kursi kekuasaan. Lalu, untuk sebuah kursi kekuasaan dan juga lingkaran kekuasaan di sekitarnya segala cara dibuat sebagai gerakan meskipun melanggar prinsip-prinsip ideologinya. Uang tetap menjadi pertaruhan yang paling umum.
Agama dan fanatisme akan diperalat sedemikian rupa dalam politik identitas. Para Oportunis hanya berorientasi pada masa jabatannya saja, dan akan mencari peluang untuk berkuasa kembali pada periode berikutnya. Citra diri harus terus dibangun untuk dikenal publik, misalnya sebagai orang yang baik, orang dermawan, orang yang taat pada aturan dan orang yang punya perhatian pada rakyat kecil. Demi kehidupan demokrasi yang sehat selayaknya parpol membuat aturan dan batas ukuran yang lebih selektif sehingga tidak semua figur bisa masuk apalagi para oportunis yang memang sejak awal berniat untuk menggunakan parpol sebagai kuda tunggangan demi meraih ambisi pribadinya.
Ada dua jenis pemimpin birokrasi, negarawan atau politisi oportunis. Seorang negarawan sepenuhnya berpikir untuk kepentingan rakyat, sedangkan politisi selalu berbicara kepentingan politik, entah tujuan pribadi maupun kelompok atau golongan. Politisi yang jadi pemimpin cenderung mengutamakan kepentingan politik bahkan rela mengabaikan tindakan yang berujung kebaikan, kalau kebaikan tersebut akan memberi keuntungan bagi lawan politiknya. Negarawan adalah sebutan untuk orang yang ahli dalam mengurusi negara dan menjalankan pemerintahan. Negarawan adalah pemimpin politik yang mengelola negaranya dengan kebijaksanaan dan kewibawaannya.
Berbeda dengan politisi, politisi merupakan orang yang terlibat dalam dunia perpolitikan, termasuk juga ahli politik, walau mereka juga sama sama ikut serta dalam pemerintahan. Kekuasaan memang selalu menggiurkan banyak orang. Sebut saja Jusuf Kalla, atau biasa kita panggil dengan sebutan JK. Setelah menang dalam pilpres 2004-2009, JK yang saat pencalonannya sebagai wapres tanpa dukungan dari partai Golkar. Namun setelah kemenangannya, JK malah mampu merebut pucuk pimpinan sebagai ketua umum partai Golkar tersebut. Jusuf Kalla kembali mencoba keberuntungan di tahun 2014. Bersama Jokowi dan ikut sebagai wapres lagi, dalam kondisi yang sama, beliau terpilih sebagai wapres untuk periode 2014-2019.
Walau pada saat pencalonannya lagi lagi beliau masih saja tidak menampakkan kepatuhan akan rekomendasi partai, sehingga pencalonannya praktis didukung oleh partai-partai lain dari besutan Megawati yang menggalang koalisi guna memenangkan pilpres pada saat itu. Ajaibnya pasca kemenangan Jokowi dan dirinya, partai Golkar justru mengikuti ajakannya dirinya untuk bergabung kedalam koalisi pemerintahan saat itu. Kemampuannya membaca alur politik menjadikannya mahir dalam memilih strategi kebijakan sekaligus mengidentifikasi berbagai alternatif strategi, termasuk menemukan hal yang paling memenuhi syarat dari sifat multidimensional sebuah kebijakan yang diambilnya, seperti efektifitas, efisiensi serta parameter landasan keadilan yang tentu menjadi buah pijakan dirinya selaku politikus ulung negeri ini.
Sebenarnya ada pemimpin tipe lain. Yakni politikus yang berwujud negarawan. Memang jenis ini tidak ideal, tapi juga tidak buruk-buruk amat. Jenis politisi yang menjalankan tugasnya tetapi selalu memilih tugas yang dapat meningkatkan pencitraan dirinya. Indonesia memerlukan sosok pemimpin yang negarawan dan kuat untuk mempertahankan Empat Pilar. Sebab krisis ekonomi global dan ancaman pandemi Covid-19 akan berdampak signifikan terhadap stabilitas di dalam negeri. Semoga kita lebih bijaksana dalam memilih pemimpin Nasional atau Kepala daerah dengan cara mencerdaskan pribadi masing masing agar kwalitas demokrasi kita lebih baik dimasa yang akan datang.
Dalam ilustrasi suatu kepemimpinan, ketika seorang pemimpin ingin mendapatkan loyalitas bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya, maka bukan tidak mungkin segala hal akan dibebaskannya hingga terjadi pencurian, korupsi dan penyimpangan lainnya yang dengan sengaja dibiarkan demi mendapatkan kenyamanan bagi semua pihak. Namun akan berbeda jika pengendalian suatu kepemimpinan itu terlihat efektif oleh karena adanya pengendalian pemimpin. Maka penerapan kepatuhan akan tata kelola pemerintah pun menjadi hal yang dirasakan masyarakat. Sebab pada sistem kendali yang baik, siapa pun boleh mengambil keuntungan secara wajar tanpa harus merugikan negara. Maka disanalah perbedaan atas pola pembiaran bila dibandingkan dengan pemimpin yang memegang kendali penuh.
Pada era Jokowi, terlihat sekali jika pemerintah begitu terasa mengendalikan berbagai lini sektor yang dibawahinya. Termasuk pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan dari pola kepemimpinan yang beliau terapkan. Artinya silahkan saja mengambil keuntungan secara wajar sepanjang tidak mencuri / korupsi atau merugikan keuangan negara. Pada titik inilah penulis menyampaikan kritik atas pendapat JK sebagaimana yang beliau sampaikan ke publik dari ilustrasi yang penulis kutip, Walau penulis tidak perlu menyudutkan pada era kepemimpinan mana yang dimaksudkan. Namun faktanya banyak kasus-kasus yang justru terungkap justru terjadi sebelum jokowi memegang jabatan selaku Presiden.
#TI #jkwguard #Toleransiindonesia #Andisalim
Sekiranya anda suka dengan Tulisan ini, maka silahkan bantu Share

Ayo bergabung pd Toleransi Indonesia

Tidak ada komentar:
Posting Komentar