Jumat, 20 Januari 2023

MEMAHAMI WILAYAH OTONOMI MORAL MELALUI PERSPEKTIF KENEGARAWANAN


 19/09/2022

MEMAHAMI WILAYAH OTONOMI MORAL MELALUI PERSPEKTIF KENEGARAWANAN
Penulis : Andi Salim

Mungkin sebagian masyarakat bertanya, siapa sesungguhnya negarwan itu. Istilah negarawan biasanya di asosiasikan pada seorang politisi atau tokoh publik yang mempunyai karier politik atau berkarier dalam kedudukannya di pemerintahan yang terhormat dan disegani, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Negarawan itu harus objektif, rasional, dan berani mengambil resiko, termasuk berbeda pendapat dengan pimpinan atau siapapun, sebab seorang negarawan harus mengabdikan dirinya untuk negara. Dia harus memiliki integritas, loyalitas dan kualitas dan mampu menjalani hidup yang sederhana serta bijaksana dalam menyampaikan pandangannya.

Mereka yang menjabat sebagai pengelola negara semestinya pantas disebut negarawan, walau tidak semuanya memenuhi karakteristik itu, paling tidak corak dan prilaku hidupnya seharusnya mencerminkan kepribadian yang pantas sebagai seorang negarawan. Paling tidak, seorang Presiden, para Menteri, para Gubernur, atau Bupati dan Walikota, berikut para wakil-wakilnya atau para Guru Besar dan Rektor Universitas, dapat kita sebut sebagai seorang negarawan. Apalagi terhadap mereka yang duduk sebagai anggota legislatif dan yudikatif, tentu saja termasuk didalamnya. Sebab dari merekalah arah dan tujuan bangsa ini dipertahankan sekaligus menjadi contoh bagaimana kepribadian seorang pejabat negara yang baik.

Dalam membangun moralitas bangsa, terdapat aspek penting yang menjadi pijakan bagi seorang negarawan, sebab para negarawan itu tidak saja dari kalangan penguasa namun mereka juga hadir dari kalangan oposisi yang sama-sama duduk menjadi panutan bagi masyarakat untuk disebut sebagai negarawan. Karakteristik sikap dan perilakunya tentu akan di gugu dan ditiru. Peribahasa terkenal yang berbunyi : Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari. Peribahasa di atas bermakna bahwa apapun yang dilakukan oleh guru, akan ditiru oleh murid, secara mentah-mentah. Peribahasa ini menyiratkan hendaknya pemimpin jangan memberi contoh yang buruk. Sebab para pengikutnya tentu akan menirunya.

Termasuk semboyan pendidikan yang menyebutkan : Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, dimana tujuan sejatinya mencakup pada aspek kenegarawanan seorang pemimpin. Sebab mau tidak mau seorang negarawan memiliki kewajiban untuk memperkenalkan jati diri bangsa serta membentengi dan sekaligus membekali generasi muda kita kepada hal-hal budaya ketimuran, dimana budaya ini berkembang di kawasan Asia, seperti negara-negara Asia tenggara yang salah satunya adalah Indonesia. Budaya timur ini lebih condong pada wujud etika budaya yang mengutamakan norma kesopanan yang terikat pada aturan tertentu, yang mana budaya timur terkenal dengan ramah tamah dalam melakukan sesuatu yang lebih mengutamakan moralitasnya.

Perbedaan budaya tentu mengacu pada perbedaan sebuah wilayah atau karakteristik prilaku manusia yang hidup melalui tradisi budaya yang tentu tidak sama antara satu dengan lainnya. Bahkan dapat saja di dalam satu wilayah budaya itu, terdiri dari beberapa kelompok masyarakat dengan kekhasannya masing-masing. Hal itu dapat dilihat dalam komunikasi lisan masyarakat yang selalu banyak memakai unsur ucapan seperti pada aksen, intonasi, ritme, dan pause sebagai pengganti tulisan dalam komunikasi tertulis untuk menyampaikan bermacam-macam informasi kepada lawan bicaranya dan termasuk dalam aspek fonetika yang mempelajari asal bunyi berikut artikulasi bunyi yang dihasilkan.

Sebagai sebuah bangsa, kita memang mengagumi gaya hidup bangsa eropa dan Amerika yang begitu terbuka dengan budaya baratnya. Namun pada sisi lain, kita tentu khawatir jika pergaulan bebas yang mengancam keturunan dan generasi muda Indonesia. Termasuk kita pun tidak ingin jika generasi bangsa ini yang harus berpegangan kepada ucapan Rocky Gerung yang menuturkan bahwa tata krama berlaku bagi antar orang, bukan antara kritikus dan orang yang dikritik. Sehingga hal yang tidak boleh dalam memberikan kritik hanya sebuah kekerasan yang berujung kriminalitas saja. Walau pun hidung seseorang itu sepanjang hidung pinokio, kita tidak boleh tonjok itu, karena di situ batas kriminalitas yang disebutnya sebagai batas otonomi tubuh seseorang.

Demikian dangkalnya pemahaman etika dan moralitas yang dipahaminya, sehingga pembatasnya hanya fisik semata, padahal dibalik tata krama itu masih banyak hal-hal yang perlu diperhatikan, seperti cara berpakaian, adab duduk, berjalan, berdiri bahkan cara bicara serta tutur kata sekalipun merupakan bagian dari apa yang kita agungkan sebagai budaya timur. Krisis moral memang harus diakui telah menerpa sebagian bangsa ini, termasuk dari sikap dan tutur kata yang diperlihatkan oleh sebagian orang terutama dari politikus yang saling menajamkan lidahnya serta menampakkan sikap arogansi kekuasaan untuk dipampangkan sebagai tontonan publik yang sama sekali tidak patut di contoh.

Dalam bertutur kata, masyarakat kita masih sering menyampaikan segala sesuatunya untuk tidak langsung pada sasaran yang di ingin disampaikan, hal itu demi menampakkan etika pembicaranya serta agar lebih sopan dalam penerimaan bagi pendengarnya, entah karena perbedaan tingkat usia, atau status lain yang mengharuskan tata krama itu di kedepankan. Oleh karenanya pada setiap daerah atau suku, masih melekat penggunaan bahasa kita masih menggunakan toto kromo inggil yang penuh makna mendalam. Bahkan tak jarang masyarakat kita menggunakan majas hiperbola yang menjadi salah satu jenis majas pertentangan dengan gaya bahasa kiasan sindiran sebagai penegasan dalam mengungkapkan maksud dan tujuannya.

Semoga tulisan ini bermanfaat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...