Penulis : Andi Salim
Kita semua tentu masih ingat dengan gagasan Naturalisasi yang didengungkan oleh Anis ketika beliau menyampaikan kritik atas klaim kesalahan dari program Normalisasi sungai yang dilakukan oleh Ahok selama menjadi Gubernur DKI Jakarta ketika itu. Sontak saja masyarakat tertawa sekaligus terpana pada pesonanya yang menegaskan bahwa air hujan itu semestinya tidak dibuang kelaut melalui gorong-gorong raksasa, melainkan dimasukkan ke dalam tanah, dan mempertegas bahwa praktek semacam itu telah melawan sunnatullah. Pernyataannya itu pun menjadi viral bahwa sang Profesor begitu pandainya menciptakan key expressions bagi pintu politiknya untuk mendapatkan simpatik rakyat jakarta.
Meski hal itu terkesan retorika yang diwacanakan untuk sekedar mencuri kemenangan dari kedudukan Ahok selaku incumbent yang mampu menjadi magnet perhatian publik terhadap pembangunan jakarta seutuhnya, sebab pola Ahok dalam mengatasi banjir yang digagasnya melalui jalur pompa-pompa dalam menguras debit air yang masuk ke kawasan jakarta dalam hitungan jam mampu menghilangkan titik banjir sekaligus genangan yang selama ini tak terentaskan. Apalagi perencanaan untuk membangun Giant sea wall yang di sinyalir menuntaskan persoalan banjir jakarta selama-lamanya yang terkesan menggiurkan warganya. Sampai disini, program Naturalisasi gagasan Anis hanya isapan jempol yang berhasil memupuskan kepercayaan publik.
Ahok pun harus mengakui dan berlapang dada, bahwa bangsa ini belum saatnya melepaskan diri dari berbagai isu sara yang sering tak terucap namun faktanya masih mengendap dan terikat kuat di hati para intoleran yang sarat akan fitnah dan kebencian terhadap golongan minoritas. Sehingga keinginannya menjadi Capres bagaikan pungguk merindukan bulan. Walau hasil kerjanya dirasakan oleh rakyat kecil dan di akui oleh sebagian ulama besar. Namun nyatanya konstitusi kita masih tetap diam dan menutup muka dari kemampuannya menjanjikan berbagai fakta yang di butuhkan masyarakat. Bahkan tak sedikit dari tokoh bangsa ini yang memujinya walau dengan suara lirih yang hampir sulit didengar masyarakat.
Kita masih punya sederet nama lain walau Ahok telah di bangku cadangkan. Sebut saja bergabungnya Prabowo Subianto kedalam barisan pemerintah di kabinet Jokowi sejak 2019 lalu. Keberadaannya pada sisi kita sekarang ini menjadi harapan tersendiri, meskipun beliau menjadi rival Jokowi pada saat dua pilpres sebelumnya, namun animo dukungan masyarakat terhadap dirinya selayaknya kita sambut dengan tangan terbuka, dibalik menguatnya Ganjar Pranowo yang digadang-gadang oleh masyarakat luas pula. Akan tetapi, jika kita ingin menghidupkan kembali nuansa toleransi yang tercabik, maka mulailah berdamai dengan diri kita sendiri untuk meredam kebencian terhadap sesama figur nasionalisme lain yang bisa diharapkan dari ketidakpastian politik yang belum menampakkan arahnya.
Hanya orang-orang baiklah yang menyukai kebaikan, atau sebaliknya hanya para pembenci pula yang menyukai kebencian terhadap sesuatu. Fakta ini harus kita terima sebagai realitas ditengah masyarakat. Sehingga upaya mendorong Ganjar Pranowo adalah bagian tersendiri yang selayaknya kita perjuangkan. Namun dibalik itu, kita pun tidak boleh menutup sumber aspirasi lain yang penting untuk dibiarkan terbangun. Sehingga potensi publik dalam upaya menjadikan Ganjar Pranowo sebagai Presiden tetap kita dorong sebagai harapan tertinggi atas prioritas dari keinginan masyarakat saat ini. namun kita pun sedapat mungkin ikut membangun harapan baru, agar Prabowo Subianto dapat secara legowo sekiranya digadang-gadang sebagai Calon Wakil Presiden nantinya.
Latar belakang tentang siapa sosok Prabowo Subianto tentu akan menghiasi komentar lawan politiknya yang banyak menebarkan isu negatif. Beliau pun acapkali dikaitkan dengan keluarga cendana yang sebenarnya sudah tidak lagi memiliki keterikatan atas berakhirnya hubungan pernikahan dengan mantan istrinya yang merupakan anak Presiden ke dua Indonesia tersebut. Termasuk dengan para ipar-iparnya yang telah lama diketahui publik pula. Apalagi isu pemberitaan yang terus menyeretnya dalam kasus penculikan sehingga berdampak pada keputusan Panglima ABRI ketika itu untuk memberhentikan Letnan Jenderal Prabowo Subianto dari dinas militernya. Ditambah lagi gorengan publik yang menganggap dirinya sebagai antek Amerika. Namun faktanya, kita hanya dirundung gangguan paraniod semata.
Jokowi belakangan ini sering mengingatkan agar setiap partai jangan sembrono dalam memilih capres yang akan diusungnya. Hal itu menjadi kunci keikutsertaan mereka pada pilpres 2024 yang akan datang. Selain bicara tentang kemampuan, kebutuhan akan capres pasca berakhirnya kepemimpinan Jokowi adalah era kemenangan posisi Indonesia di kancah internasional. Sebab sumber daya Indonesia berpotensi mendatangkan ketergantungan atas kebutuhan bangsa lain di dunia. Sumber daya yang kita miliki tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga non-fisik. Dimana keberadaannya bisa saja menjadi semakin besar atau pun berkurang. Sebab Indonesia berada pada posisi yang menjadi titik keseimbangan dunia, baik dalam tatanan politik mau pun ekonomi perdagangannya. Hal itu hanya terjadi jika presiden mendatang mampu memerankan diri secara baik.
Ibarat pemain bola yang menemukan momentum kemenangan, kita membutuhkan Prabowo untuk hadir mendampingi Ganjar Pranowo sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang akan datang. Disinilah pesan cermat itu disampaikan. Namun betapa kita dikejutkan pada dua sosok yang disebutkan namanya dalam berbagai kesempatan. Dibalik pesan cermat yang disampaikan Jokowi belakangan ini. betapa anehnya ketika kita dikejutkan pada dua sosok yang sering disebutkan namanya untuk menduduki jabatan Presiden dalam berbagai kesempatan pidatonya. Apakah jokowi kita anggap selaku pihak yang gegabah dan justru menjadi orang yang sembrono dalam mengusulkan penerus kepemimpinan nasional pasca berakhirnya masa jabatan dirinya selaku Presiden.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Meski hal itu terkesan retorika yang diwacanakan untuk sekedar mencuri kemenangan dari kedudukan Ahok selaku incumbent yang mampu menjadi magnet perhatian publik terhadap pembangunan jakarta seutuhnya, sebab pola Ahok dalam mengatasi banjir yang digagasnya melalui jalur pompa-pompa dalam menguras debit air yang masuk ke kawasan jakarta dalam hitungan jam mampu menghilangkan titik banjir sekaligus genangan yang selama ini tak terentaskan. Apalagi perencanaan untuk membangun Giant sea wall yang di sinyalir menuntaskan persoalan banjir jakarta selama-lamanya yang terkesan menggiurkan warganya. Sampai disini, program Naturalisasi gagasan Anis hanya isapan jempol yang berhasil memupuskan kepercayaan publik.
Ahok pun harus mengakui dan berlapang dada, bahwa bangsa ini belum saatnya melepaskan diri dari berbagai isu sara yang sering tak terucap namun faktanya masih mengendap dan terikat kuat di hati para intoleran yang sarat akan fitnah dan kebencian terhadap golongan minoritas. Sehingga keinginannya menjadi Capres bagaikan pungguk merindukan bulan. Walau hasil kerjanya dirasakan oleh rakyat kecil dan di akui oleh sebagian ulama besar. Namun nyatanya konstitusi kita masih tetap diam dan menutup muka dari kemampuannya menjanjikan berbagai fakta yang di butuhkan masyarakat. Bahkan tak sedikit dari tokoh bangsa ini yang memujinya walau dengan suara lirih yang hampir sulit didengar masyarakat.
Kita masih punya sederet nama lain walau Ahok telah di bangku cadangkan. Sebut saja bergabungnya Prabowo Subianto kedalam barisan pemerintah di kabinet Jokowi sejak 2019 lalu. Keberadaannya pada sisi kita sekarang ini menjadi harapan tersendiri, meskipun beliau menjadi rival Jokowi pada saat dua pilpres sebelumnya, namun animo dukungan masyarakat terhadap dirinya selayaknya kita sambut dengan tangan terbuka, dibalik menguatnya Ganjar Pranowo yang digadang-gadang oleh masyarakat luas pula. Akan tetapi, jika kita ingin menghidupkan kembali nuansa toleransi yang tercabik, maka mulailah berdamai dengan diri kita sendiri untuk meredam kebencian terhadap sesama figur nasionalisme lain yang bisa diharapkan dari ketidakpastian politik yang belum menampakkan arahnya.
Hanya orang-orang baiklah yang menyukai kebaikan, atau sebaliknya hanya para pembenci pula yang menyukai kebencian terhadap sesuatu. Fakta ini harus kita terima sebagai realitas ditengah masyarakat. Sehingga upaya mendorong Ganjar Pranowo adalah bagian tersendiri yang selayaknya kita perjuangkan. Namun dibalik itu, kita pun tidak boleh menutup sumber aspirasi lain yang penting untuk dibiarkan terbangun. Sehingga potensi publik dalam upaya menjadikan Ganjar Pranowo sebagai Presiden tetap kita dorong sebagai harapan tertinggi atas prioritas dari keinginan masyarakat saat ini. namun kita pun sedapat mungkin ikut membangun harapan baru, agar Prabowo Subianto dapat secara legowo sekiranya digadang-gadang sebagai Calon Wakil Presiden nantinya.
Latar belakang tentang siapa sosok Prabowo Subianto tentu akan menghiasi komentar lawan politiknya yang banyak menebarkan isu negatif. Beliau pun acapkali dikaitkan dengan keluarga cendana yang sebenarnya sudah tidak lagi memiliki keterikatan atas berakhirnya hubungan pernikahan dengan mantan istrinya yang merupakan anak Presiden ke dua Indonesia tersebut. Termasuk dengan para ipar-iparnya yang telah lama diketahui publik pula. Apalagi isu pemberitaan yang terus menyeretnya dalam kasus penculikan sehingga berdampak pada keputusan Panglima ABRI ketika itu untuk memberhentikan Letnan Jenderal Prabowo Subianto dari dinas militernya. Ditambah lagi gorengan publik yang menganggap dirinya sebagai antek Amerika. Namun faktanya, kita hanya dirundung gangguan paraniod semata.
Jokowi belakangan ini sering mengingatkan agar setiap partai jangan sembrono dalam memilih capres yang akan diusungnya. Hal itu menjadi kunci keikutsertaan mereka pada pilpres 2024 yang akan datang. Selain bicara tentang kemampuan, kebutuhan akan capres pasca berakhirnya kepemimpinan Jokowi adalah era kemenangan posisi Indonesia di kancah internasional. Sebab sumber daya Indonesia berpotensi mendatangkan ketergantungan atas kebutuhan bangsa lain di dunia. Sumber daya yang kita miliki tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga non-fisik. Dimana keberadaannya bisa saja menjadi semakin besar atau pun berkurang. Sebab Indonesia berada pada posisi yang menjadi titik keseimbangan dunia, baik dalam tatanan politik mau pun ekonomi perdagangannya. Hal itu hanya terjadi jika presiden mendatang mampu memerankan diri secara baik.
Ibarat pemain bola yang menemukan momentum kemenangan, kita membutuhkan Prabowo untuk hadir mendampingi Ganjar Pranowo sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang akan datang. Disinilah pesan cermat itu disampaikan. Namun betapa kita dikejutkan pada dua sosok yang disebutkan namanya dalam berbagai kesempatan. Dibalik pesan cermat yang disampaikan Jokowi belakangan ini. betapa anehnya ketika kita dikejutkan pada dua sosok yang sering disebutkan namanya untuk menduduki jabatan Presiden dalam berbagai kesempatan pidatonya. Apakah jokowi kita anggap selaku pihak yang gegabah dan justru menjadi orang yang sembrono dalam mengusulkan penerus kepemimpinan nasional pasca berakhirnya masa jabatan dirinya selaku Presiden.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar