ATAS DASAR APA PEMERINTAH MENAIKKAN HARGA BBM SUBSIDI
Penulis : Andi Salim
Dampak dari kebijakan menaikkan BBM tentu menjadi pengalaman pahit, maka tak jarang hal ini mendatangkan demontrasi besar diseluruh wilayah Indonesia, bahkan terjadi juga dibeberapa negara. Sebab mata rantai dari naiknya harga BBM, tentu memicu kenaikan inflasi yang pada akhirnya disertai kenaikan harga barang pokok dan jasa pula. Bahkan tak jarang akibat kenaikan BBM ini mendatangkan instabilitas keamanan dimana besarnya demontrasi tersebut cenderung menjadi anarkis sehingga mengundang sikap represif penegak hukum pada akhirnya.
Jika pemerintah saat ini mengambil jalan untuk menaikkan harga BBM subsidi yang semula jenis pertalite dikisaran harga Rp 7.650 / liter menjadi Rp 10.000 / liternya, hal itu memang didasari oleh kenaikan harga minyak mentah dunia yang pada posisi kisaran US$ 100 / barel. Namun angka ini pun sebenarnya sudah mengalami penurunan dari sebelumnya pada kisaran US$ 126 / barel sebelumnya. Namun ceritanya tidak hanya sampai disini. Sebab dengan menaikkan harga BBM diharapkan konsumsi masyarakat akan menurun secara drastis nantinya.
Mekanisme semacam ini layaknya hukum ekonomi, jika harga murah demand akan meningkat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi kapasitas produksi BBM di dalam negeri saat ini hanya mencapai 1 juta barel per hari, sedangkan kebutuhan BBM RI selama ini mencapai 1,3 juta barel per hari. Artinya Indonesia masih harus mengimport BBM sebesar 300.000 barel setiap harinya. Disamping itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar pun dirasakan membebani anggaran kita untuk melakukan pembelian atas komoditi yang satu ini. Sehingga jika dilihat pada persoalan ini mau tidak mau pemerintah harus menaikkan harga BBM sebagai solusinya.
Apakah kebijakan ini layak dan tepat. Tentu saja terdapat pro dan kontra yang perlu disampaikan masyarakat. Terlebih lagi mereka yang terdampak bukanlah pihak yang bisa dianggap sebelah mata, sebab terdapat 27 juta dari angka kemiskinan Indonesia per Maret 2022 atau setara 9,54% dari 275,77 juta jiwa hingga pertengahan 2022 ini. Sehingga jika dibagi dalam kisaran jumlah KK, maka terdapat 9 juta lebih keluarga yang hidup pada jeratan kemiskinan tersebut. Walau angka ini berdasarkan informasi BPS telah mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pemerintah pun melakukan upaya penyesuaian atas kenaikan harga BBM tersebut. Anggaran yang telah disiapkan pemerintah untuk program bansos BLT BBM adalah Rp12,96 triliun. Setiap keluarga penerima manfaat atau KPM akan mendapat BLT BBM senilai Rp600.000 untuk empat bulan, yang dibayarkan dua kali masing-masing Rp300.000 dan Bantuan Subsidi Upah 2022 yang akan disalurkan kepada 16 juta bagi pekerja yang memiliki gaji maksimal Rp 3,5 juta per bulan. Total anggaran subsidi gaji tahun ini sebesar Rp 9,6 triliun. Melalui subsidi gaji, masing-masing penerima akan mendapat bantuan sebesar Rp 600.000.
Beratnya biaya hidup yang dialami setiap penduduk miskin tersebut lebih kepada kurangnya fokus pemerintah untuk menaikkan sektor pertanian yang hanya baru berhasil di bidang beras saja. Sehingga produk import seperti kedelai, jagung, daging, susu dan lain sebagainya masih terjadi dari lemahnya potensi produksi lokal saat ini. Padahal Indonesia memiliki penduduk lebih dari 275 juta jiwa yang membutuhkan pangan cukup banyak. Ketergantungan pada impor pangan akan beresiko besar terhadap ketahanan pangan nasional. Dimana saat ini saja, mereka yang berada digaris kemiskinan masih belum memenuhi standard angka kecukupan gizi.
Jika dilihat dari perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2022 mencapai Rp 4.919,9 triliun. Apalagi jika dilihat dari target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diharapkan pada kisaran 5.3%. walau terkait angka inflasi yang terus bergerak naik pula pada dikisaran 4,94% pada Juli 2022. Akan tetapi pemerintah harus sadar, bahwa angka-angka diatas bukanlah cerminan dari 27 juta yang saat ini berada pada garis yang sedang mengharapkan kucuran BLT tersebut. Sehingga jika inflasi masih harus berkontraksi naik, bagaimana lagi mereka akan mencukupi kekurangan standard kecukupan gizinya.
Pengalaman membakar anggaran pernah dipamerkan pada saat SBY berkuasa. Dimana beliau membakar subsidi hampir 1.300 Trilyun, kini era JKW langkah yang sama pun seolah-olah tak terhindarkan, sehingga menaikkan harga BBM sering menjadi solusi yang memprihatinkan. Padahal masyarakat masih melihat sisi lemahnya pengawasan pemerintah terhadap kebijakan ini. Sehingga menaikkan harga BBM bukan solusi satu-satunya untuk diambil sebagai kebijakan. Kecuali ketepatan sasaran pengguna subsidi itu benar-benar telah dikoreksi secara sempurna.
Menurut hemat penulis, sebaiknya pemerintah pangkas saja 80% pengguna BBM subsidi atas roda empat, apakah mereka akan melakukan demonstrasi layaknya mahasiswa. Serta tetap berlakunya solar subsidi hanya untuk plat kuning, seperti truk dan angkutan distribusi barang kebutuhan masyarakat yang masih boleh menikmati BBM subsidi tersebut, itu saja sudah cukup untuk menekan anggaran subsidi dari yang saat ini besarannya hingga 502,4 Trilyun. Apalagi menaikkan harga BBM sama halnya dengan menaikkan harga komoditas lainnya. Dan itu sama saja membangunkan macan yang sedang tidur.
Bukankah sebelum kucuran anggaran subsidi pemerintah saat ini sebesar 502,4 Trilyun, pemerintah sudah mengucurkan anggaran subsidi sebelumnya dengan nilai 150 trilyun untuk BBM dan energi, sekiranya 502,4 trilyun itu dikurangi 80% pengendara roda empat yang tidak lagi menerima BBM subsidi tersebut akan setara dengan 100-150 Trilyun juga, artinya APBN tetap seperti pada posisi nilai yang sebelumnya, tanpa perlu menaikkan harga BBM saat ini yang akan memicu kenaikan harga pokok lainnya. Dan kebaikan inflasi pun dapat ditekan agar tidak signifikan pula tentunya.
Pemerintah tidak harus berharap melalui bantalan BLT yang notabenenya memicu kenaikkan inflasi sehingga menyeret kenaikan harga barang kebutuhan pokok dan sektor jasa lainnya. Apalagi kenaikannya sekitar Rp. 2.350 / liter dari sebelumnya Rp 7.650 / liter, artinya kenaikan tersebut mencapai sekitar 30 %. Dengan tidak menaikkan harga BBM tentu harga pangan dan kebutuhan lainnya tidak akan ikut terseret naik. Disitulah bedanya sebuah obsesi penanggulangan dan strategi mengatasi masalah tekanan terhadap besaran anggaran subsidi yang saat ini sangat membebani.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar