Ada yang terasa aneh dari cara berdemokrasi di Indonesia dimana masyarakatnya terkesan selalu berpegangan dengan sistem konstitusi yang diartikan rakyatnya sebagai paham kenegaraan guna memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya, sehingga dari cara-cara yang dilembagakan atas sistem konstitusi tersebut diharapkan dapat melindungi segenap hak-hak warga negara melalui pembentukan kelembagaan negara yang disusun dalam satu sistem kepemerintahan. Akan tetapi, sistem kontitusi ini tidak menjamin keberlangsungan pada harapan rakyatnya untuk mendapati keinginannya pada kualitas demokrasi yang baik serta ideal layaknya harapan masyarakat Indonesia sepenuhnya.
Faktanya, jika Presiden yang sudah ada saat ini dan dianggap sebagian besar masyarakat cukup baik serta memiliki kualitas kerja yang berdampak pada perbaikan kesejahteraan rakyat sekaligus peningkatan apresiasi dunia terhadap eksistensi Indonesia, justru ingin digantikan atau ditukarkan kepada calon Presiden lain yang diragukan memiliki kualitas yang sama. Apalagi publik memahami bahwa pergantian tersebut harus mengorbankan biaya yang besar dalam mencari dan menyelenggarakan pemilihan yang demokratis bagi calon pengganti selanjutnya. Bahkan bukan tidak mungkin sosok penggantinya itu malah memiliki kualitas yang lebih buruk dari saat ini yang sudah ada.
Hal semacam ini pernah dialami oleh masyarakat DKI Jakarta, dimana Gubernur yang saat itu telah habis masa jabatannya dan dinilai memiliki kualitas yang baik, namun justru dengan aturan konstitusi yang tidak berpihak pada harapan rakyat tersebut, menyebabkan diselenggarakannya pesta demokrasi yang tidak fear pada aturan sehingga sarat akan penerapan politik identitas yang pada akhirnya terjadi pergantian kepemimpinan dari sosok yang berkualitas dengan pemimpin yang hanya pandai berkata-kata dibalik titelnya seorang akademisi yang menjanjikan. Artinya, pesta yang sebenarnya tidak demokratis tersebut semestinya bisa dihentikan, jangan sampai penerapan sistem yang disebut sebagai cara "Demokrasi" justru menjadi penyumbat harapan rakyat sesungguhnya.
Konstitusi negara sebenarnya diarahkan untuk mencegah terjadinya kediktatoran dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak yang mengangkangi kekuasaan secara berlebihan. Oleh karenanya, di kembangkanlah prinsip-prinsip konstitusionalisme dalam aturan penyelenggaraan bernegara. Konstitusionalisme ini merupakan filosofi politik yang didasarkan pada gagasan bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat dan sepenuhnya mengadopsi keinginan rakyat serta harus dibatasi oleh rakyat pula dalam ketentuannya yang dituangkan sebagai sistem konstitusi bernegara. Sehingga pengertian Konstitusionalisme inilah yang dimaknai sebagai pemerintahan konstitusional. Sehingga cara pandang ini harus dikembalikan pada tujuan pemberlakuan konstitusi bernegara tersebut demi menepis tangan-tangan kotor yang mendekatinya.
Apalagi pada prakteknya, aturan konstitusi ini justru menjadi alat untuk mengubur harapan rakyat dari berbagai tujuan dan keinginannya melalui cara-cara yang sebenarnya dirasakan merugikan banyak pihak. Termasuk bercokolnya dinasty politik diberbagai daerah serta silih bergantinya tangan-tangan yang serakah pada keikutsertaan mereka melalui peluang sistem demokrasi yang sarat akan akrobatik politik sebagai cara yang dapat mereka kuasai dan menangkan. Sehingga, tak heran jika banyak ditemukan siasat licik dari kepala daerah yang telah dipenjara oleh karena kasus-kasus korupsi, namun mampu meloloskan istri, adik atau kerabatnya untuk duduk sebagai pengganti dirinya yang dijadikan calon kepala daerah agar terjadinya estafet kotor dari mantan penguasa daerah tersebut. Inilah yang menjadi realitas demokrasi kita yang sesungguhnya.
Ungkapan yang mengatakan bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto, seharusnya menjadi pedoman utama atau bahkan menjadi prinsip dasar bagi semua komponen bangsa Indonesia dalam menerapkan berlakunya aturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dibalik kebutuhan pada penegakkan supremasi rakyat tersebut, terdapat satu gerakan yang bisa dijadikan alat perjuangan terhadap tatanan konstitusi yang benar, agar dikembalikan konstitusi tersebut pada porosnya yang asli. Masyarakat dapat melalukan gerakan populisme dengan sejumlah pendekatan politik yang dengan tegas mengatasnamakan kepentingan rakyat untuk melawan kepentingan suatu kelompok elit yang berkuasa.
Gerakan populisme merupakan gagasan politik yang dituangkan kedalam aksi sosial dan bertumpu pada konsep cita-cita rakyat, namun gerakan ini akan menjadikan kelompok penguasa sebagai lawan politik mereka. Sehingga, dengan kata lain, populisme lahir atas dasar persepsi keinginan rakyat jelata terhadap pengkhianatan para elit politik atau terkadinya fakta yang kontradiktif dari prilaku elit-elit penguasa yang menyimpang dari janji-janji kampanyenya yang tidak direalisasikannya pada saat mereka menduduki jabatannya. Pada akhirnya, cara-cara yang tidak demokratis itu tidak lagi dapat menjadi sarana bagi naiknya kaum penindas dan penguasa yang serakah tersebut untuk dijatuhkan sekaligus menyingkirkannya dalam penerapan dinasty politik yang dikangkanginya.
Saat ini pun kita masih ditekan oleh kepentingan politik diluar kehendak rakyat, sebab bagaimana mungkin pembatasan 2 periode tersebut tetap diberlakukan sejak era reformasi yang menjatuhkan orde baru sebagai penguasa yang disebut diktator sehingga tragedi 1998 menurunkannya. Namun pada gilirannya hal itu diberlakukan terhadap Presiden Jokowi yang masih dikehendaki rakyat untuk memimpin negeri ini, akan tetapi justru hukum konstitusi itu membatasinya. Entah kepentingan yang mana berlakunya hukum konstitusi tersebut, jika tujuan aslinya justru mengarah kepada kepentingan rakyat sepenuhnya. Inilah fakta politik yang terjadi saat ini, sehingga acapkali kita dipaksa untuk membuang yang baik guna mengambil yang kotor dan jahat. Tulisan ini disajikan hanya sebagai perenungan kita semata.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Faktanya, jika Presiden yang sudah ada saat ini dan dianggap sebagian besar masyarakat cukup baik serta memiliki kualitas kerja yang berdampak pada perbaikan kesejahteraan rakyat sekaligus peningkatan apresiasi dunia terhadap eksistensi Indonesia, justru ingin digantikan atau ditukarkan kepada calon Presiden lain yang diragukan memiliki kualitas yang sama. Apalagi publik memahami bahwa pergantian tersebut harus mengorbankan biaya yang besar dalam mencari dan menyelenggarakan pemilihan yang demokratis bagi calon pengganti selanjutnya. Bahkan bukan tidak mungkin sosok penggantinya itu malah memiliki kualitas yang lebih buruk dari saat ini yang sudah ada.
Hal semacam ini pernah dialami oleh masyarakat DKI Jakarta, dimana Gubernur yang saat itu telah habis masa jabatannya dan dinilai memiliki kualitas yang baik, namun justru dengan aturan konstitusi yang tidak berpihak pada harapan rakyat tersebut, menyebabkan diselenggarakannya pesta demokrasi yang tidak fear pada aturan sehingga sarat akan penerapan politik identitas yang pada akhirnya terjadi pergantian kepemimpinan dari sosok yang berkualitas dengan pemimpin yang hanya pandai berkata-kata dibalik titelnya seorang akademisi yang menjanjikan. Artinya, pesta yang sebenarnya tidak demokratis tersebut semestinya bisa dihentikan, jangan sampai penerapan sistem yang disebut sebagai cara "Demokrasi" justru menjadi penyumbat harapan rakyat sesungguhnya.
Konstitusi negara sebenarnya diarahkan untuk mencegah terjadinya kediktatoran dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak yang mengangkangi kekuasaan secara berlebihan. Oleh karenanya, di kembangkanlah prinsip-prinsip konstitusionalisme dalam aturan penyelenggaraan bernegara. Konstitusionalisme ini merupakan filosofi politik yang didasarkan pada gagasan bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat dan sepenuhnya mengadopsi keinginan rakyat serta harus dibatasi oleh rakyat pula dalam ketentuannya yang dituangkan sebagai sistem konstitusi bernegara. Sehingga pengertian Konstitusionalisme inilah yang dimaknai sebagai pemerintahan konstitusional. Sehingga cara pandang ini harus dikembalikan pada tujuan pemberlakuan konstitusi bernegara tersebut demi menepis tangan-tangan kotor yang mendekatinya.
Apalagi pada prakteknya, aturan konstitusi ini justru menjadi alat untuk mengubur harapan rakyat dari berbagai tujuan dan keinginannya melalui cara-cara yang sebenarnya dirasakan merugikan banyak pihak. Termasuk bercokolnya dinasty politik diberbagai daerah serta silih bergantinya tangan-tangan yang serakah pada keikutsertaan mereka melalui peluang sistem demokrasi yang sarat akan akrobatik politik sebagai cara yang dapat mereka kuasai dan menangkan. Sehingga, tak heran jika banyak ditemukan siasat licik dari kepala daerah yang telah dipenjara oleh karena kasus-kasus korupsi, namun mampu meloloskan istri, adik atau kerabatnya untuk duduk sebagai pengganti dirinya yang dijadikan calon kepala daerah agar terjadinya estafet kotor dari mantan penguasa daerah tersebut. Inilah yang menjadi realitas demokrasi kita yang sesungguhnya.
Ungkapan yang mengatakan bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto, seharusnya menjadi pedoman utama atau bahkan menjadi prinsip dasar bagi semua komponen bangsa Indonesia dalam menerapkan berlakunya aturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dibalik kebutuhan pada penegakkan supremasi rakyat tersebut, terdapat satu gerakan yang bisa dijadikan alat perjuangan terhadap tatanan konstitusi yang benar, agar dikembalikan konstitusi tersebut pada porosnya yang asli. Masyarakat dapat melalukan gerakan populisme dengan sejumlah pendekatan politik yang dengan tegas mengatasnamakan kepentingan rakyat untuk melawan kepentingan suatu kelompok elit yang berkuasa.
Gerakan populisme merupakan gagasan politik yang dituangkan kedalam aksi sosial dan bertumpu pada konsep cita-cita rakyat, namun gerakan ini akan menjadikan kelompok penguasa sebagai lawan politik mereka. Sehingga, dengan kata lain, populisme lahir atas dasar persepsi keinginan rakyat jelata terhadap pengkhianatan para elit politik atau terkadinya fakta yang kontradiktif dari prilaku elit-elit penguasa yang menyimpang dari janji-janji kampanyenya yang tidak direalisasikannya pada saat mereka menduduki jabatannya. Pada akhirnya, cara-cara yang tidak demokratis itu tidak lagi dapat menjadi sarana bagi naiknya kaum penindas dan penguasa yang serakah tersebut untuk dijatuhkan sekaligus menyingkirkannya dalam penerapan dinasty politik yang dikangkanginya.
Saat ini pun kita masih ditekan oleh kepentingan politik diluar kehendak rakyat, sebab bagaimana mungkin pembatasan 2 periode tersebut tetap diberlakukan sejak era reformasi yang menjatuhkan orde baru sebagai penguasa yang disebut diktator sehingga tragedi 1998 menurunkannya. Namun pada gilirannya hal itu diberlakukan terhadap Presiden Jokowi yang masih dikehendaki rakyat untuk memimpin negeri ini, akan tetapi justru hukum konstitusi itu membatasinya. Entah kepentingan yang mana berlakunya hukum konstitusi tersebut, jika tujuan aslinya justru mengarah kepada kepentingan rakyat sepenuhnya. Inilah fakta politik yang terjadi saat ini, sehingga acapkali kita dipaksa untuk membuang yang baik guna mengambil yang kotor dan jahat. Tulisan ini disajikan hanya sebagai perenungan kita semata.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar