Rabu, 18 Januari 2023

MENJEMPUT SIKAP NASIONALISME DIBALIK HARI SUMPAH PEMUDA

29/10/2022

MENJEMPUT SIKAP NASIONALISME DIBALIK HARI SUMPAH PEMUDA
Penulis : Andi Salim

Ekonomi amerika dan eropa saat ini ditengah pukulan resesi ekonomi yang telah 2 kuartal berturut-turut menampakkan indikator buruk bahkan kebijakan mereka dalam menaikkan suku bunga pun belum direspon pasar secara baik. Walau pada Kamis (13/10), Biro Tenaga Kerja AS melaporkan angka inflasi per September 2022 yang berada di 8,2% secara tahunan (yoy), dan melandai dari 8,3% di bulan sebelumnya. Namun tidak demikian dengan inflasi zona Euro yang melejit ke anga 10% pada September 2022 yang secara tahunan (year-on-year/yoy), naik dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 9,1% yoy.

Inflasi yang tinggi diketahui banyak orang akan mengakibatkan baiknya harga kebutuhan konsumsi masyarakat. Bukan saja pada kebutuhan pokok, namun berimbas pada kebutuhan lainnya pula. Maka wajar jika Bank Indonesia (BI) memproyeksikan bahwa bank sentral Amerika Serikat (The Fed) akan kembali menaikkan suku bunga acuannya (Fed Funds Rate) di sisa 2022, bahkan sampai tahun depan. Tahun ini saja, The Fed dengan agresif menaikkan suku bunga acuannya. Bahkan The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak lima kali dengan total kenaikan 300 basis poin atau setara 3 persen menjadi 3-3,25 persen.

Pada sisi yang lain, Bank Sentral Eropa kembali menaikkan suku bunganya menjadi 1,5 persen, sekaligus melakukan pelepasan aset-aset swasta dan pemerintah yang bertujuan mengetatkan peredaran uang guna meredam inflasi di zona euro yang mencapai 9,9% pada September 2022 lalu. Belum lagi indeks harga saham gabungan negara-negara tersebut yang menampakkan raport merah dikisaran minus 20%. Dampaknya tentu gairah usaha yang semakin tertekan dibalik Utang Luar negerinya yang siap menyeret mereka menuju gelapnya resesi ekonomi di tahun 2023 yang akan datang. Sebab, bagaimana pun lonjakan inflasi secara global akan memicu bank sentral di banyak negara tersebut untuk menaikkan suku bunganya secara agresif.

Telah diprediksi jika Inggris, Italia, German, bahkan Prancis pun sedang berada pada pusaran krisis ini. Kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral Eropa, (European Central Bank, ECB) yang sudah dimulai sejak Juli 2022 lalu membawa negeri ini pada sulitnya pembayaran utang luar negeri mereka, Rasio utang publik dan swasta mereka sebesar 189% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada awal 2000, yang melonjak sebanyak 348% pada 2021, hal ini berdasarkan data Bank for International Settlements yang merilisnya. Namun tidak demikian dengan Indonesia. Dimana Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, menyebutkan bahwa Indonesia sebagai "titik terang di tengah kesuraman ekonomi dunia".

Dari apa yang disampaikan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2022 cukup impresif berada di angka 5,4 persen, dimana hal itu diimbangi dengan stabilitas nilai tukar rupiah yang cukup baik, serta pertumbuhan indeks harga saham gabungan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain didunia. Terdapat sebanyak 31 negara yang tercatat berisiko mengalami kontraksi pertumbuhan minus selama dua kuartal berturut-turut pada periode 2022-2023. Daftar negara yang akan berpotensi jatuh ke jurang resesi tersebut antara lain : AS, Prancis, Kanada, Inggris, Jerman, Jepang, Rusia, Italia, Jerman, Ukraina, Equatorial Guinea, Libya, Haiti, Yaman, Sudan, Chile, Argentina dan lainnya. Namun tidak ada nama Indonesia pada daftar tersebut.

Laporan dari Dana Moneter Internasional yang mencatat 31 negara dari 72 negara tersebut adalah setara dengan sepertiga PDB dunia. Akan tetapi, Indonesia pun tidak berada pada negara-negara yang masuk kedalam daftar 25 negara yang terancam bangkrut seperti, El Salvador, Ghana, Tunisia, Pakistan, Mesir, Kenya, Argentina, Ukraina, Bahrain, Namibia, Brasil, Angola, Senegal, Rwanda, Afrika Selatan, Costa Rika, Gabon, Morocco, Ekuador, Turki, Republik Dominika, Ethiopia, Colombia, Nigeria, Meksiko. Artinya, jika negara-negara ini tentu dikhawatirkan akan mengalami gagal bayar jika IMF mengucurkan pinjaman kepada mereka. Namun tidak demikian dengan Indonesia yang tentu saja terbuka dan memiliki kesempatan yang besar jika menginginkannya.

Meski inflasi indonesia yang relatif dikisaran 6,3% secara tahunan, dimana sebelumnya BI memproyeksikan angka inflasi Indonesia pada kisaran 6,6% hingga 6,7%. Hal itu menampakkan sisi positif atas penurunan angka yang diprediksi Bank Indonesia sebelumnya. Namun Indonesia harus tetap waspadai menyongsong gejolak krisis ekonomi dunia di tahun 2023 yang akan datang. Dari rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 19-20 Oktober 2022 kemarin memutuskan bahwa Bank sentral Indonesia menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak 50 basis poin (bps) atau sebesar 0,5% dari sebelumnya di level 4,25% menjadi 4,75%. Hingga Oktober tahun ini, total kenaikan suku bunga acuan BI sepanjang 2022 mencapai 1,25% dari level 3,5%.

Kondisi ini dilakukan bertujuan sebagai pengaman sekaligus meredam gejolak ekonomi dunia saat ini agar tidak berpengaruh besar terhadap keadaan ekonomi didalam negeri kita. Disamping itu, kenaikan suku bunga acuan yang relatif rendah tersebut akan mampu menyeimbangkan eksistensi UMKM kita yang saat ini sedang tumbuh untuk membuktikan bahwa mereka mampu bersaing dikancah dunia, sebagai kekuatan ekonomi bangsa yang berbasis usaha kerakyatan. Termasuk menjaga daya beli masyarakat agar tetap stabil dan tidak menimbulkan gejolak pasar yang mengakibatkan fluktuasi harga yang tidak terkendali sehingga mampu menekan dari kemungkinan naiknya inflasi kedepan. Kerjasama BI dan Pemerintah adalah kunci pengamanan bagi kita semua. Terima Kasih

Semoga tulisan ini bermanfaat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...