Senin, 16 Januari 2023

PEMILIH OPOSISI MENGGIURKAN NASDEM MEMUTAR KEMUDINYA


13/11/2022

PEMILIH OPOSISI MENGGIURKAN NASDEM MEMUTAR KEMUDINYA

Penulis : Andi Salim

Menemukan keberuntungan dalam skala politik bukanlah hal yang mudah, sebab dibutuhkan kemampuan dan keterampilan pelakunya yang harus diperbaharui secara terus menerus untuk dikembangkan agar tetap bersaing dan berakselerasi. Semakin dalam tinggi kemampuan yang dimilikinya, maka peluang untuk meraih keberhasilan menjadi semakin terbuka. Kunci Kesuksesan dalam berpolitik adalah tekad yang lurus dengan Visi dan Misi partai yang tertanamkan, sebab dengan tekad menjalankan visi dan misi partai itulah masyarakat akan mengenal garis perjuangan partai yang dibawa olehnya.

Tentu saja dibutuhkan kemauan keras dan niat yang kuat dalam mencapai keberhasilan dalam berpolitik. Sekalipun tak jarang seseorang mengalami rintangan, kegagalan, hambatan, serta berbagai kesulitan yang dihadapi di sepanjang jalan perjuangannya, namun setiap usaha tentu saja akan menemukan hasilnya juga. Kunci kesuksesan yang dijalani dengan masa waktu yang tidak sebentar, akan membawa seseorang menemui keberhasilannya. Oleh karena itu dibutuhkan tekad yang kuat agar seseorang tidak mudah menyerah sehingga tidak pula mudah patah semangat ditengah perjalanan kariernya.

Berpolitik tidak selalu mengikuti arus air yang mengalir, terkadang perlu pula melawan arus tersebut demi mendapatkan titik balik kemenangannya, bahkan tak jarang dari seseorang justru mendapatkan keberhasilannya melalui cara semacam ini. Walau terkesan pragmatis, akan tetapi tak sedikit masyarakat yang menyukai orang-orang yang memiliki pemikiran taktis dalam merespon berbagai isu yang berkembang. Sebab setiap masalah ada saja pihak yang pro dan kontra dari pendapat yang dikemukakannya. Maka disanalah perjuangan politik tersebut diwujudkan. Sebab melawan arus tidak selamanya berakhir dengan kegagalan.

Dari pengantar pemikiran diatas, mari kita membaca peta politik pilpres sekarang ini yang tentu saja harus disandingkan dengan catatan pada pilpres sebelumnya. Sebut saja fakta pilpres 2014 dan 2019 yang masih melekat di ingatan kita semua. Bahwa pada momentum pilpres 2014 dan 2019 hanya terdapat dua pasangan calon presiden saja. Dimana dari catatan itu akan terlihat peta koalisi yang melatar belakangi mengapa sebuah partai cenderung menjalin koalisi dibalik opportunity kemenangannya, termasuk rasio perolehan hasil yang mereka dapatkan, serta sejauh mana keuntungan bagi peserta koalisi dibalik elektabilitas perolehan partai mereka.

Pada pilpres 2014, prabowo Subianto dan Hatta Rajasa resmi dideklarasikan oleh enam partai politik sebagai calon presiden dan wakil presiden. Keenam partai politik tersebut adalah Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang dan Partai Golkar. Sedangkan Koalisi yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla terdiri dari PDI-P, PKB, Partai NasDem, Partai Hanura, dan PKP Indonesia. Hasilnya, koalisi partai pendukung Jokowi-JK berhasil meraup suara 53.15% dengan total suara 70.997.833 orang, sedangkan Kaolisi Prabowo-Hatta Rajasa memperoleh 46.85% dengan total suara 62.576.444.

Sedangkan pada pilpres 2019, Koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin didukung oleh sepuluh partai politik, antara lain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Adapun Koalisi Prabowo-Sandiaga Uno yang pada akhirnya kalah dan menjadi oposisi terdiri atas 5 partai, antara lain Partai Gerindra, Partai PKS, Partai PAN, Partai Demokrat, dan Partai Berkarya.

Hasilnya, lagi-lagi Jokowi memenangkan pemilihan tahun 2019 pada 21 provinsi dengan total suara 85.036.828 (55,41%). Sementara lawannya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno meraup suara di 13 provinsi dengan jumlah perolehan 68.442.493 suara (44,59%). Selisih atas perolehan suara Jokowi-Ma'ruf Amin dengan Prabowo-Sandiaga Uno mencapai 16.794.335. Dari fakta pilpres 2014 dan 2019 itu, kita melihat bahwa tingginya suara oposisi tersebut menjadi strategi politik dan sekaligus dasar kebijakan partai dalam menentukan sikap koalisi mereka di pilpres 2024 yang akan datang. Sebab semakin kecil peserta koalisinya, akan semakin besar perolehan elektoral yang akan mereka dapatkan nantinya.

Sehingga tidak aneh jika kita mendapati partai Nasdem yang saat ini memutar haluannya demi keberuntungan pemilu 2024 yang akan datang. Sebab besar kemungkinan jika mengusung Anis Baswedan hanya akan didukung segelintir partai Politik namun rasio pendukungnya disinyalir amat besar guna memperoleh elektoral mereka yang selalu berada pada kisaran 45%. Apalagi peserta pemilu tahun 2024 nanti cenderung bertambah jumlahnya. Diusungnya Anis Baswedan diharapkan akan mampu mendongkrak penambahan elektoral Nasdem dari para kubu fanatisme khilafah dan sekutunya, namun kalkulasi itu bisa saja boomerang malah merontokkan perolehan suara mereka sebelumnya.

Sekalipun kita melihat betapa Surya Paloh cerdas menyikapi situasi ini, akan tetapi hasil survey Nasdem yang dilakukan beberapa lembaga survey pun lantas merosot hingga 2,1% yang tentu saja menjadi kekhawatiran bagi seluruh kader mereka di daerah. Apalagi mundurnya beberapa kader mereka yang merasakan tidak lagi sejalan dengan aspirasi politik nasionalisme kebangsaan dari rekam jejak capres yang diusungnya. Apalagi banyak pihak yang menyebutkan bahwa Anis Baswedan sebagai bapak Politik Identitas yang tentu saja bertentangan dengan cita-cita masyarakat yang sekarang ini lebih menginginkan sikap bertoleransi antar sesama warga bangsa.

Ucapan Jokowi yang menyebutkan agar Golkar jangan sembrono dalam memilih capres pada HUT Golkar kemarin, diartikan masyarakat sebagai sindiran bagi dirinya. Lantas beliau pun menepis ungkapan itu dengan mengatakan bahwa masih ada pihak yang belum dewasa dalam berpolitik. Hal ini memancing adrenalin berpikir kita semua, sejauh mana pemikiran bangsawan dan negarawan semacam itu. Jika mereka justru terlihat tidak konsisten dan cenderung berlaku menyimpang. Tidakkah kita terkecoh manakala Ferdy Sambo begitu berapi-api dalam menyampaikan pidatonya semasa menjabat Kadiv Propam Polri, namun faktanya kita malah terbelalak ketika beliau justru membohongi kita semua.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...