Penulis : Andi Salim
Ketika nilai-nilai sportifitas tergerus oleh pembenaran dari perspektif cara berpikir yang dangkal, maka seseorang dengan mudahnya menyalah-nyalahi orang lain ketika terjadi pandangan yang berbeda. Tak terkecuali pada hal-hal yang prinsip sekalipun. Parameter berpikir yang semestinya mendahulukan rumusan terhadap pokok-pokok permasalahan, mengungkap sisi fakta yang terjadi, memilih dan mengemukakan argumen yang logis dan rasional, memprediksi serta menangkap sudut pandang dari pendapat yang berbeda. Sehingga pada gilirannya menarik kesimpulan terhadap inti permasalahan, tidak lagi di pijak oleh sebagian orang kecuali ngotot dan memaksakan pembenaran atas pendapatnya sendiri.
Cara-cara semacam ini tentu saja akan merusak tatanan berpikir orang lain untuk menirukannya kepada siapa pun sebagai reason problem yang keliru. Kata "pokoknya" selalu menjadi alasan yang seolah-olah memaksakan kehendak pribadi yang tak terbantahkan dari sebagian figur congkak namun dirasakan bodoh dalam mengemukakan alasan berpikir mereka. Apalagi berbagai alasan yang dipijaknya pun sering menggunakan dalil-dalil yang labil atau bahkan keluar dari pokok masalah yang semestinya. Seperti ketika menyampaikan pandangan agama, tentu saja harus menggunakan dalil agama pula. Sementara ketika membahas sisi kenegaraan, maka UUD45 sebagai hukum konstitusi merupakan rujukan yang semestinya dijadikan pijakannya.
Namun faktanya, kedudukan berpikir semacam ini sering dikesampingkan, atau malah mencampur adukkan dalil-dalil pemikiran itu yang menjadi semakin tidak searah, dimana pada intensitas tertentu hal itu akan menjadi bias. Sehingga apa yang dikemukakan sebagai sebuah ketentuan menjadi tidak sportif dan terkesan memaksakan kehendaknya secara sepihak. Demikian pula penetapan pada sebuah kebijakan. Tentu saja landasan yang digunakan harus berkaitan pada sebab akibat dari untuk apa, bagaimana serta pada tujuan apa, sebuah kebijakan itu dibutuhkan. Alih-alih ingin mendatangkan solusi sebagai problem solving terhadap suatu persoalan, seorang pemimpin akan dinilai tidak konsisten dari prinsip-prinsip dasarnya sebagai seorang pimpinan.
Menjadi seorang pemimpin, apalagi sebagai kepala daerah setingkat Bupati atau Walikota, merupakan refleksi hadirnya kewenangan negara dalam menegakkan aturan-aturan serta perundang-undangan yang berlaku. Apalagi terkait dengan konstitusi negara, dimana cakupannya yang lebih luas dari pada sekedar UUD. Sebab Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis akan tetapi juga sosiologis dan politis. Sehingga penegakan hukum dan pemberlakuan keadilan secara merata, merupakan bagian pokok dari segala penerapan kebijakannya. Oleh karenanya, hukum tidak boleh terkesan menjadi diskriminatif dan menjadi berpihak terhadap satu atau dua golongan saja. Maka, seorang pemimpin harus berdiri diatas sikap netralitasnya meskipun langit akan terbelah sekalipun.
Disadari bahwa setiap kepala daerah menggunakan mekanisme demokrasi yang memang dipilih langsung oleh masyarakatnya. Namun demikian, pada jabatannya pun melekat sistem konstitusi yang terikat pula. Artinya, sekalipun masyarakat yang dipimpinnya secara aklamasi ingin melepaskan diri dari NKRI, hal itu tidak dapat dibenarkan dan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap negara sebagaimana Pasal 106 KUHP yang mengandung unsur Makar dengan maksud menaklukkan daerah atau negara, seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan asing, atau dengan maksud memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lainnya. Sehingga seorang kepala daerah mutlak harus mematuhi rambu-rambu konstitusi negara sekalipun sebagian rakyatnya menginginkan hal yang berbeda.
Saat ini semakin marak sikap kepala daerah yang terkesan diskriminatif dengan golongan agama lain dibalik pengakuan negara terhadap eksistensi agama-agama tersebut, sebagaimana di sebutkan di dalam Pasal 1 UU PNPS No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang menyatakan bahwa "Agama- agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)". inilah yang menjadi dasar pengakuan keberadaan agama di Indonesia. Tentu saja negara semestinya hadir untuk memberikan pembinaan sekaligus perlindungan bagi keberagaman agama itu kedalam nuansa kebhinekaan demi merajut persatuan dan kesatuan bangsa.
Faktanya beberapa kepala daerah di tanah air, justru menjadi pendorong sekaligus penyebab timbulnya penerapan sikap intoleransi yang diperparah oleh aturan-aturan serta ketentuan yang mereka berlakukan terhadap golongan non muslim ini kedalam kebijakannya yang diskriminatif. Bukannya membangun pada penerapan sikap bertoleransi yang baik, mereka malah terkesan ikut menekan dan mempersulit eksistensi agama lain dalam membangun sarana ibadah yang semestinya bertolak belakang dengan sila pertama dalam bunyi Pancasila yaitu "Berketuhanan Yang Maha Esa". Dimana sila pertama ini mengisyaratkan pentingnya setiap warga negara menjalankan ketaatan terhadap keimanannya sesuai dengan agama dan keyakinannya.
Dari kenyataan ini, sebenarnya mereka benar-benar tidak memahami fungsi dan kedudukannya sebagai pejabat negara yang harus melindungi serta mewajibkan setiap warganya untuk taat dalam menjalankan peribadatannya. Sehingga dari golongan mana dan agama apapun yang dianut oleh setiap warganya harus menyempatkan diri untuk berdoa dibalik ikhtiar dunia yang dilakukannya. Semestinya seorang kepala daerah tidak masuk kedalam opsi ketidaknetralan terhadap agama apapun sekalipun dengan keyakinan terhadap apa yang dianutnya, Atau kepala daerah tersebut terpaksa harus mengikuti Test Wawasan Kebangsaan guna meluruskan persoalan ini, sebelum berkembangnya intoleransi ini yang menjadi semakin parah nantinya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Cara-cara semacam ini tentu saja akan merusak tatanan berpikir orang lain untuk menirukannya kepada siapa pun sebagai reason problem yang keliru. Kata "pokoknya" selalu menjadi alasan yang seolah-olah memaksakan kehendak pribadi yang tak terbantahkan dari sebagian figur congkak namun dirasakan bodoh dalam mengemukakan alasan berpikir mereka. Apalagi berbagai alasan yang dipijaknya pun sering menggunakan dalil-dalil yang labil atau bahkan keluar dari pokok masalah yang semestinya. Seperti ketika menyampaikan pandangan agama, tentu saja harus menggunakan dalil agama pula. Sementara ketika membahas sisi kenegaraan, maka UUD45 sebagai hukum konstitusi merupakan rujukan yang semestinya dijadikan pijakannya.
Namun faktanya, kedudukan berpikir semacam ini sering dikesampingkan, atau malah mencampur adukkan dalil-dalil pemikiran itu yang menjadi semakin tidak searah, dimana pada intensitas tertentu hal itu akan menjadi bias. Sehingga apa yang dikemukakan sebagai sebuah ketentuan menjadi tidak sportif dan terkesan memaksakan kehendaknya secara sepihak. Demikian pula penetapan pada sebuah kebijakan. Tentu saja landasan yang digunakan harus berkaitan pada sebab akibat dari untuk apa, bagaimana serta pada tujuan apa, sebuah kebijakan itu dibutuhkan. Alih-alih ingin mendatangkan solusi sebagai problem solving terhadap suatu persoalan, seorang pemimpin akan dinilai tidak konsisten dari prinsip-prinsip dasarnya sebagai seorang pimpinan.
Menjadi seorang pemimpin, apalagi sebagai kepala daerah setingkat Bupati atau Walikota, merupakan refleksi hadirnya kewenangan negara dalam menegakkan aturan-aturan serta perundang-undangan yang berlaku. Apalagi terkait dengan konstitusi negara, dimana cakupannya yang lebih luas dari pada sekedar UUD. Sebab Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis akan tetapi juga sosiologis dan politis. Sehingga penegakan hukum dan pemberlakuan keadilan secara merata, merupakan bagian pokok dari segala penerapan kebijakannya. Oleh karenanya, hukum tidak boleh terkesan menjadi diskriminatif dan menjadi berpihak terhadap satu atau dua golongan saja. Maka, seorang pemimpin harus berdiri diatas sikap netralitasnya meskipun langit akan terbelah sekalipun.
Disadari bahwa setiap kepala daerah menggunakan mekanisme demokrasi yang memang dipilih langsung oleh masyarakatnya. Namun demikian, pada jabatannya pun melekat sistem konstitusi yang terikat pula. Artinya, sekalipun masyarakat yang dipimpinnya secara aklamasi ingin melepaskan diri dari NKRI, hal itu tidak dapat dibenarkan dan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap negara sebagaimana Pasal 106 KUHP yang mengandung unsur Makar dengan maksud menaklukkan daerah atau negara, seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan asing, atau dengan maksud memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lainnya. Sehingga seorang kepala daerah mutlak harus mematuhi rambu-rambu konstitusi negara sekalipun sebagian rakyatnya menginginkan hal yang berbeda.
Saat ini semakin marak sikap kepala daerah yang terkesan diskriminatif dengan golongan agama lain dibalik pengakuan negara terhadap eksistensi agama-agama tersebut, sebagaimana di sebutkan di dalam Pasal 1 UU PNPS No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang menyatakan bahwa "Agama- agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)". inilah yang menjadi dasar pengakuan keberadaan agama di Indonesia. Tentu saja negara semestinya hadir untuk memberikan pembinaan sekaligus perlindungan bagi keberagaman agama itu kedalam nuansa kebhinekaan demi merajut persatuan dan kesatuan bangsa.
Faktanya beberapa kepala daerah di tanah air, justru menjadi pendorong sekaligus penyebab timbulnya penerapan sikap intoleransi yang diperparah oleh aturan-aturan serta ketentuan yang mereka berlakukan terhadap golongan non muslim ini kedalam kebijakannya yang diskriminatif. Bukannya membangun pada penerapan sikap bertoleransi yang baik, mereka malah terkesan ikut menekan dan mempersulit eksistensi agama lain dalam membangun sarana ibadah yang semestinya bertolak belakang dengan sila pertama dalam bunyi Pancasila yaitu "Berketuhanan Yang Maha Esa". Dimana sila pertama ini mengisyaratkan pentingnya setiap warga negara menjalankan ketaatan terhadap keimanannya sesuai dengan agama dan keyakinannya.
Dari kenyataan ini, sebenarnya mereka benar-benar tidak memahami fungsi dan kedudukannya sebagai pejabat negara yang harus melindungi serta mewajibkan setiap warganya untuk taat dalam menjalankan peribadatannya. Sehingga dari golongan mana dan agama apapun yang dianut oleh setiap warganya harus menyempatkan diri untuk berdoa dibalik ikhtiar dunia yang dilakukannya. Semestinya seorang kepala daerah tidak masuk kedalam opsi ketidaknetralan terhadap agama apapun sekalipun dengan keyakinan terhadap apa yang dianutnya, Atau kepala daerah tersebut terpaksa harus mengikuti Test Wawasan Kebangsaan guna meluruskan persoalan ini, sebelum berkembangnya intoleransi ini yang menjadi semakin parah nantinya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar