Senin, 16 Januari 2023

REVOLUSI TOLERANSI DITENGAH SEMUNYA MORALITAS DUNIA


18/11/2022

REVOLUSI TOLERANSI DITENGAH SEMUNYA MORALITAS DUNIA

Penulis : Andi Salim

Tanpa disadari pemanfaatan sumber daya alam sedemikian menguras keseimbangan bumi yang kita pijak selama ini. Resources bumi yang mulai mengalami devisit ketersediaan guna memenuhi kebutuhan umat hidup manusia seakan mengalami turbulensi yang hebat dari berbagai perubahan iklim yang kian tidak stabil dan harmoni lagi. Pembangunan kawasan baru serta berkembangnya kebutuhan manusia untuk mencukupi pertumbuhannya yang saat ini mencapai 8 milyar dari total penduduk Bumi sebagaimana yang di umumkan PBB pada tanggal 15 November 2022 kemarin, semakin memperparah kondisi lingkungan yang tidak saja mengganggu habitat manusia, namun berpengaruh pula bagi ekosistem keseluruhan makhluk hidup lainnya.

Sasarannya pun tak lain adalah bagaimana melakukan eksploitasi alam sebagai suatu upaya mengeruk sumber dayanya secara terus menerus dan semakin berlebihan agar bisa memperoleh manfaat guna mencukupi kebutuhan umat manusia. Hal itu diakibatkan krisis kesejahteraan yang menampakkan ketimpangan sosial dan kompetisi nilai indeks kebahagiaan ditengah persaingan berbagai negara yang dipacu dari padatnya penduduk dunia. Maka indeks Pembangunan Manusia pun dibangkitkan guna mengukur pencapaian kontribusi manusia yang berbasis sejumlah komponen dasar dari kualitas hidup sebagai ukuran pendekatannya pada tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan keadaan hidup yang layak.

Perubahan iklim global / Global Climate Change yang terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer yang menyebabkan efek gas rumah kaca. Hal ini memicu perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Pergeseran ini akibat aktivitas manusia yang telah menjadi pendorong utama perubahan iklim tersebut, terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas) yang menghasilkan gas yang terperangkap sehingga menciptakan suhu yang panas. Maka tak heran jika saat ini diberbagai belahan dunia saat ini sedang mengahadapi gugusan bencana yang membutuhkan kerjasama guna memperkuat aksi toleransi dari semua pihak demi upaya penyelamatan umat manusia di setiap negara.

Perlunya revolusi sikap bertoleransi atas ketimpangan iklim dunia sebagai upaya kebangkitan bersama menuju aksi nyata dalam membangun humanities policy yang mencakup berbagai hal dimana di dalamnya terdapat seni memperbaiki dedikasi, disiplin terhadap diri sendiri, dan pertanggungjawaban keberlangsungan masa depan anak, bahkan aspek spiritualistik baru yang lebih mengajak kepada perbaikan alam. Agar setiap peran kemanusiaan yang diharapkan tidak sekedar menjajakan himbauan semata guna mengatasi situasi semacam ini, akan tetapi lebih memastikan kontribusi peranan bangsa-bangsa yang dapat merealisasikan bentuk kongkrit dalam memastikan wujud kemajuan terhadap perubahan perbaikan iklim serta keberlangsungan alam yang dicanangkan.

Kutub yang terus mencair dan mengakibatkan tingginya permukaan laut sehingga menyebabkan musibah banjir, serta penggundulan alam dan efek rumah kaca yang menyebabkan tingginya curah hujan dan cuaca ekstrim adalah fakta bahwa bumi sudah mulai tergoyahkan dari siklus kenormalannya. Kerusakan hutan yang disebabkan oleh eksploitasi terhadap hutan Indonesia bukanlah hal yang baru. Eksploitasi hutan terjadi jauh sebelum negara ini merdeka. Bahkan sejak Indonesia masih berbentuk kerajaan pun eksploitasi terhadap hutan sudah terjadi, lalu memasuki masa penjajahan oleh para kolonialisme yang datang ke Indonesia, eksploitasi hutan semakin besar skalanya. Ditambah lagi pada era orde baru secara besar-besaran memberikan HPH kepada pihak swasta yang semakin memperburuk keadaan hutan Indonesia.

Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 % di periode tahun 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha. Data ini dirilis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK). Biaya penanggulangannya tentu saja tidak sedikit, jika di Indonesia saja pemerintah Jokowi begitu ketat dalam upaya semacam ini, apakah hal yang sama berlaku di dunia internasional. Indeks kerusakan lingkungan termasuk meminimalisir deforestasi harus dilakukan secara bersama-sama. Negara maju sebagai pihak yang terimbas pada keberhasilan program ini sepatutnya dipaksa berkontribusi demi kelangsungan bumi yang secara tidak langsung berakibat terhadap global climate change yang menghantam mereka pula.

Baru sebatas perang Ukraina dan Rusia saja, banyak negara yang terdampak krisis pangan dan ekonomi dunia sehingga menjadi momok yang menakutkan bahkan mengalami kesuraman hingga 2023 nanti. Wilayah yang merasakan dampak signifikan adalah kawasan Afrika, mengingat ketergantungan negara-negara Afrika pada Ukraina sebagai pemasok bahan pangan di negaranya. Disamping itu, negara-negara Eropa pun mengalami krisis energi yang parah akibat ditahannya pasokan gas dari Rusia. Padahal jika dilihat dari sisi daratan Rusia yang seluas 17.098.246 Km dan Ukraina yang hanya seluas 603.500 Km, tentu merupakan skala kecil bila dibandingkan dengan luas Bumi yang berjumlah 510.072.000 Km. Ditambah lagi bencana banjir yang melanda hampir terjadi disetiap negara menjadi fakta bahwa diperlukannya kerjasama dalam penyelamatan umat manusia secara keseluruhan.

Mengutuk perang memang merupakan kewajaran bagi penyelamatan umat manusia, namun melakukan embargo atas sanksi ekonomi termasuk pembekuan aset luar negeri Rusia pun dianggap memicu hadirnya keterlibatan pihak ketiga yang memperkeruh keadaan. Semestinya negara-negara di dunia mengakhiri hegemoni kekuasaan sebab disanalah sumber penyebab dari aksi saling tekan menekan hingga memicu laju pertahanan negara masing-masing termasuk pembuatan senjata nuklir sebagai alat pertahanan sebuah negara. Belum lagi permainan pinjam meminjam dana yang dibutuhkan sebagai utang luar negeri negara miskin yang memaksa negara tersebut menguras sumber daya alamnya guna mengembalikan pinjaman kepada IMF dan Bank Dunia.

Jika sudah demikian, maka para pemberi peminjam dana itu akan mengalami kesulitan jika pengembalian pinjamannya terhambat yang berakibat krisis keuangan mereka sendiri dari fasilitas pinjaman yang berkali-kali lipat terhadap PDB yang dimilikinya. Sedangkan jika pun negara miskin itu membayar dari pengerusakan alam dan lingkungannya, tentu akan berdampak kepada negara peminjam itu pula sebagai perubahan cuaca ekstrim yang saat ini menjadi bencana dunia. Artinya, kondisi ini harus dipahami secara bijaksana bahwa mereka tidak boleh menggunakan cara-cara lama yang mengandalkan persekongkolan antar mereka selaku pemberi pinjaman dan membentuk superioritas atas negara lain, melainkan melayani dan membantu negara miskin itu demi normalisasi Bumi agar tidak semakin parah dalam mengalami kerusakannya.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...