25/02/2022
BERTOLERANSI DALAM HAL KRITIK YANG DISAMPAIKAN DEMI MENUJU PERBAIKAN
Penulis : Andi Salim
Banyak yang menyangsikan betapa toleransi itu menggerus eksistensi keagamaan, kenapa demikian. Bukankah pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain, serta tidak memaksakan orang lain untuk menganut agama yang kita yakini, dan tidak pula merendahkan atau mencela, apalagi menghina agama lain dengan alasan apapun.
Pentingnya seseorang dalam hal memahami toleransi secara utuh itu didasari fakta bahwa keberagaman yang ada telah menjadi simbol persatuan yang dikemas dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, kita harus menjaganya agar tetap utuh dan harmonis. Namun, belakangan ini Indonesia masyarakat kerap mengalami krisis toleransi. Perbedaan yang ada justru dipicu untuk menimbulkan perpecahan. Sehingga sikap bertoleransi itu disurutkan pada dimensi tertentu untuk menutup sosial kemanusiaan antar sesama.
Padahal, pemahaman serta sikap bertoleransi itu menjadi sangat penting karena akan memunculkan suatu kerukunan antar umat beragama dan bangsa yang kemudian dapat mencegah permusuhan antara satu daerah dan daerah lainnya, serta menangkal tindakan rasisme di suatu wilayah atau negara, khususnya di Indonesia yang sangat luas ini dari ancaman keamanan dan ketertiban yang dilakukan oleh segelintir orang atau kelompok tertentu. Termasuk dari naiknya konservatisme agama, dan fanatisme ekstreem kanan jauh yang cenderung tajam dan mengkhawatirkan banyak pihak.
Kebaikan penerapan sikap toleransi tersebut justru bermanfaat untuk menekan konflik dan perpecahan antar individu dan golongan. Hal itu penting untuk diperhatikan mengingat karakteristik bangsa kita yang beragam. Namun tidak hanya sampai disitu, toleransi pun terkait dengan prilaku dan etika dalam pergaulan seseorang pula. Sikap toleransi patut dijaga demi menjaga keutuhan persaudaraan, tanpa memandang perbedaan apapun, termasuk dalam hal seni menyampaikan pendapat untuk menahan diri agar tidak saling melukai perasaan orang lain.
Kekhawatiran akan penerapan sikap bertoleransi tidak saja datang dari aspek keyakinan yang diyakini akan mempengaruhi keimanan akibat pergaulan lintas agama, apalagi dipersepsikan berakibat menurunkan kadar keimanan seseorang pula untuk selanjutnya dikaitkan dengan fanatisme yang bersifat ektreem. Walau sifat fanatisme itu tetap penting, namun dosis penerapannya pun harus diketahui dengan jelas apa dan dimana batasnya. Sebab jika tidak, tentu akan berdampak pada tergerusnya moralitas seseorang dalam pergaulan yang semestinya saling menghormati dan saling menghargai.
Maka tak heran jika isu SARA menjadi salah satu isu yang terus berkembang dan menjadi subur di sekitar kita. Kata Suku, Agama, Ras dan Antar golongan telah menjadi salah satu pokok konflik sosial yang rupanya sangat sensitif bagi sebagian besar masyarakat. Salah satu alasannya adalah karena multikulturalisme yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dimana isu tersebut mengakibatkan terkikisnya sikap bertoleransi yang seharusnya disikapi oleh diri seseorang maupun lingkungan disekitarnya.
Sensitifnya kaitan terhadap isu SARA ini menjadi batasan bagi seseorang untuk tidak lagi mengembangkan kreasi berfikir dari hal positif yang semestinya dimunculkan demi menimbulkan gagasan baru, sebab kritik yang diarahkan kepada label SARA tersebut akan langsung disudutkan pada kata penistaan, penghinaan baik secara verbal mau pun berupa tulisan yang terkait dengan hal itu. Sehingga seni menyampaikan pendapat dari sikap seseorang akan langsung dikaitkan dari mana dan apa yang menjadi latar belakang orang tersebut.
Keadaan semacam ini tentu saja akan menjadi larangan tak tertulis bagi siapapun untuk mengomentari dari statusnya yang dianggap melompati pagar SARA tersebut, jika yang bersangkutan ternyata bukan dari golongan kemana arah kritik itu ditujukan. Sebab jangankan hal semacam itu datangnya dari masyarakat, bahkan aparat sekalipun dibuat gamang untuk menyentuh wilayah itu serta sering didapati pada posisi cari aman demi melindungi agar lembaganya tidak ikut terseret yang pada akhirnya malah menjadi persoalan pribadi untuk dipertanggung jawabkan secara hukum.
Semestinya kebebasan berbicara dan berpendapat itu menjadi kesepahaman kita semua, bahwa undang-undang menyatakan kepastiannya untuk melindungi siapapun dalam menyampaikan pandangannya, sehingga anggapan kritik itu sebagai wujud sumbangsih dari seseorang atau kelompok lain, semestinya diartikan dalam koridor demi kebaikan bangsa dan negara. Pernyataan yang disampaikan oleh Ahok dan Fachri Hamzah beberapa waktu yang lalu, sesungguhnya tidak berakibat musibah bagi diri mereka, namun faktanya terlihat berbeda, dan inilah pelajaran bangsa yang harus mendapat perbaikan terutama dari sisi hukum.
Jika saat ini kita sering berkomentar bahwa hukum tajam kebawah dan tumpul keatas, maka penulis ingin mengatakan bahwa hukum kita pun semakin cepat kepada minoritas dan terasa lambat kepada mayoritas, atau dengan kata lain, hukum kita pun tegas kepada individu namun gamang terhadap kelompok yang terlihat intoleransi ditengah masyarakat saat ini. Oleh karenanya, posisi hukum kita semestinya mendapat kepastian pada penegakan SARA yang seadil-adilnya jika memang tidak ingin dianggap pilih kasih dan tak pandang bulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar