27/12/2022
SEPERLU APAKAH KATA HALAL ITU DISEMATKAN DIBERBAGAI DAERAH
Penulis : Andi SalimNarasi berasal dari kata Latin narre, yang artinya memberi tahu. Narasi berhubungan dengan usaha untuk memberitahu sesuatu atau peristiwa. Narasi adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Fungsi pengembangan narasi semestinya bertujuan pada ajakan positif, sebab Presiden Joko Widodo berpesan agar pembangunan karakter bangsa, budi pekerti, sopan santun, nilai-nilai etika, dan agama harus menjadi perhatian dunia pendidikan ke depan. Dari wacana ini, maka tentu saja dibutuhkan narasi-narasi yang selaras dengan tujuan tersebut
Walau pada umumnya sering kita temukan bahwa karangan atau teks narasi diciptakan dengan tujuan menghibur pembacanya dengan pengalaman estetis melalui kisah dan cerita, baik fiksi maupun nonfiksi. Sebab buku fiksi biasanya berisikan karangan yang mengisahkan hal-hal yang bersifat khayal atau imajinasi. Sedangkan buku-buku nonfiksi berisi banyak ilmu pengetahuan yang dapat membuka wawasan kita. Maka dengan membaca fiksi dan nonfiksi, secara tidak sadar, cara berpikir seseorang pun akan berubah menjadi lebih baik. Sebab hanya dengan membacalah wawasan dan pengetahuan seseorang itu akan bertambah dalam memahami sesuatu hal.
Buku nonfiksi biasanya mengajak kita untuk berpikir realistis, Sebab karangannya yang mengisahkan hal-hal yang nyata, berdasarkan pengalaman atau pengamatan, baik sejarah, biografi seseorang, atau autobiografi kisah dari pengarangnya. Sedangkan Narasi fiksi, yaitu karangan yang mengisahkan hal-hal yang bersifat khayal atau imajinasi. Namun masuk akal dan mengandung kebenaran tentang hubungan antar manusia. Walaupun berupa khayalan, sering dari seorang pengarang menulis cerita fiksi berdasarkan penghayatan akan kemanusiaan serta interaksinya dengan sesama. Pada akhirnya banyaknya karangan fiksi dan nonfiksi tersebut berdampak pada kecerdasan bangsa.
Indonesia tentu memerlukan lebih banyak lagi tentang narasi wawasan kebangsaan yang merupakan cara pandang bangsa Indonesia untuk mengenali diri dan lingkungannya, serta mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Saat ini saja, di tengah munculnya Politik Identitas yang mengarah pada kontra ideologi bangsa, segenap masyarakat Indonesia diharapkan mampu melakukan penyegaran kembali, untuk mengenali dan memahami landasan ideologi bangsa yang akhir-akhir ini terasa mulai luntur, dan bahkan cenderung kehilangan makna.
Namun tujuan itu sering dipatahkan oleh berbagai narasi-narasi yang cenderung mengajak pada perpecahan dan naiknya atmosfer saling berhadapan antara mereka yang mencintai NKRI ini dengan kelompok fanatisme beragama yang cenderung semakin radikal bahkan bertindak ekstrim. Apalagi tekanan kearah ruang-ruang yang semula merupakan ruang publik, kini berkecenderungan untuk disematkan kata halal yang disinyalir masyarakat mengambil istilah dari agama tertentu, tentu saja hal ini mendapatkan fakta dari sikap Pro dan Kontra pada kebijakan pemerintah daerah yang mensetujui hal-hal semacam ini. Apa lagi wilayah publik yang semestinya merupakan wilayah non agama semakin tertekan dan tergerus keberadaannya.
Kecintaan seseorang terhadap agama sering diwujudkan dalam bentuk fanatisme beragama, namun apresiasi akan hal itu semestinya hanya ditampakkan pada ruang-ruang privat dan ruang-ruang keagamaan sehingga tidak membawanya kepada etalase berbangsa dan bernegara untuk diketahui secara publik, sehingga legitimasi agama bukan sesuatu hal yang perlu ditonjol-tonjolkan dari seseorang atau pihak lain yang mesti diketahui publik secara umum. Sebab kecenderungan menonjolkan hal itu justru dianggap sebagai sikap keangkuhan dan kesombongan yang menjadi kontra produktif bagi upaya suatu agama sebagai buah hasil atas pemahaman yang secara legitimasi mewakili agamanya.
Sehingga kehadiran seseorang akan terlihat bahwa pengaruh agama yang diyakininya tersebut akan terlihat begitu kuat pada diri pribadi seseorang, yang secara tidak langsung ikut berkontestasi untuk memperlihatkan diri dari golongan dan atas umat mana yang memperlihatkan moralitas yang baik sebagai wujud dukungan terhadap sikap berbangsa dan bernegara itu sendiri. Sebab bagaimana pun pendalaman atas pengertian dari apa yang disebut perintah dan larangan itu semestinya akan ditampakkan melalui aktifitas sosial dari seseorang yang berasal dari pendalaman pengetahuan agama sehingga melekat pada diri seseorang sebagai tindakan atau prilaku sosial yang baik.
Kesimpulan, pada akhirnya pada diri seseorang itu terlihat sebagai cermin atau reflektur nilai-nilai keagamaan, baik dari kehadirannya pada ruang-ruang publik yang secara tidak langsung merupakan arena pertarungan kebaikan atau kontestasi pada nilai-nilai luhur dan budi pekerti serta ketinggian akhlaq dari dan oleh golongan mana datangnya kebaikan itu berasal. Hal inilah yang mendasari bahwa tujuan untuk menciptakan perspektif halal itu tidak dimungkinkan demi mempertahankan arena kebaikan bagi segenap bangsa sebagai ruang-ruang umum / publik bagi semua golongan. Semoga tulisan ini dipahami, walau masih terdapat kekurangan untuk menyempurnakannya.
Dari tulisan ini pun semestinya jelas, bahwa kita tidak sedang untuk mencari-cari agama mana yang lebih benar atau ditonjol-tonjolkan sebagai mayoritas dan minoritas, sebab kata itu hanya melegitimasi siapa yang lebih kuat, namun dibalik itu kita sedang mencermati output sebuah agama pada peran serta dari segenap golongan dan umat-umat beragama yang mana, demi melihat dari mana mereka berasal, sehingga upaya menarik-narik pihak lain untuk melihat agama mana yang lebih baik bukanlah cara terbaik, akan tetapi justru kepada yang mampu mencontohkan secara baik itulah yang dibutuhkan bangsa dan negara ini tentunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar