FAKTA PEMBANGUNAN DIBALIK KRITIK DAN SARAN KEMAJUANNYA
Penulis : Andi Salim
Apakah kita masih ragu terhadap situasi ekonomi Indonesia dimasa Jokowi yang kaitannya terhadap kemampuan pembayaran utang pemerintah saat ini menembus angka 7.733 trilyun hingga mencapai 39,57 persen terhadap PDB pada tahun 2022 ini. Jawaban dari mereka yang berani menyandingkan fakta-fakta terhadap data-data lain yang menunjang pembayarannya, tentu saja tidak. Fakta tersebut bisa terlihat atas kenaikan perolehan laba BUMN yang menunjukan lompatan peningkatan dari Rapat Dengar Pendapat dengan DPR pada 7 juni 2022 lalu sebagaimana yang disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir menyebutkan bahwa laba BUMN pada 2021 mencapai Rp.126 triliun, dimana nilai itu meningkat dari laba tahun 2020 yang senilai Rp.13 triliun. Hingga pada 2022 kemaren menorehkan prestasinya sebesar 303,7 trilyun. Inilah fakta bahwa angka-angka ini merupakan realisasi kebanggaan kita menuju kejayaan NKRI kedepan.
Apalagi potensi hilirisasi kekayaan tambang kita yang diatur melalui UU minerba serta pengetatannya melalui Perpres guna menghambat eksport bahan mentah untuk dijadikan produk konsentrasi yang kaya akan mineral berharga sebagai hasil pemisahan dari pengolahan mineral bijih. Bahkan semakin optimis ketika pembangunan Smelter telah direalisasikan sejak 2021 lalu hingga Indonesia memiliki 21 smelter, dan direncanakan akan bertambah 7 smelter pada tahun 2022 kemaren, hingga ditargetkan pada tahun2024 nanti, dimana Indonesia akan memiliki 53 Smelter yang tersebar diberbagai daerah. Belum lagi menyimak dari apa yang disampaikan kementerian ESDM yang menyampaikan catatannya bahwa total cadangan minyak Indonesia sebesar 3,95 miliar barel pada 2021. Jumlah itu terdiri dari cadangan terbukti sebanyak 2,25 miliar barel dan cadangan potensial 1,7 miliar barel. Besarnya cadangan tersebut menyiratkan betapa kayanya bangsa dan negara kita sesungguhnya.
Praktis, hanya mereka yang buta aksara saja pesimis terhadap ULN oleh karena mereka sering menutup mata dan menyumpal telinganya hingga semakin teguh pada pendapatnya yang sengaja menutup informasi semacam itu. Sebab bagaimana pun, kekhawatiran akan Utang Luar Negeri harus disandingkan dengan kemampuan bayarnya. Apalagi dibalik fakta yang begitu terasa saat ini, bahwa krisis ekonomi yang melanda beberapa negara didunia dirasakan tidak mempengaruhi situasi ekonomi di Indonesia. Meskipun saat ini terjadi kontraksi kenaikan harga kebutuhan pokok, namun hal itu biasa terjadi khususnya pada momentum menjelang lebaran sebagaimana rutinitas pada setiap tahunnya. Bahkan inflasi Indonesia per Juli 2022 lalu sebesar 4,94 persen (yoy), sebelum kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi yang membebani APBN hingga Rp 502 triliun.
Berbagai kemajuan pun mau tidak mau harus kita akui bahwa Indonesia saat ini memang mengalami peningkatan diberbagai sektor ekonominya, meski kita tidak tutup mata bahwa masih terdapat banyak kelemahan terutama pola efisiensi dan optimalisasi kinerja daerah yang dinilai masih lamban. Sebab, tidak semua pembangunan daerah tertuju pada pengembangan sektor ekonomi dan keuangan, bahkan ada beberapa daerah yang malah didapati masih menahan realisasi anggaran dari transfer pemerintah pusat ke daerah yang semestinya melakukan penerapan serapan anggaran hingga 30 September 2022 lalu, dimana dana yang sudah tersalur dari pusat sebesar Rp 552,6 triliun nyatanya masih tertahan di kas daerah sehingga menghambat kemajuan masyarakat yang semestinya berpengaruh pada iklim usaha rakyat, atau paling tidak hal itu berdampak pada sirkulasi uang yang beredar dari aktifitas ekonomi yang akan bertumbuh.
Belum lagi realisasi dana KUR yang dikucurkan pun tidak merata bagi setiap peserta UMKM guna memanfaatkan fasilitas ini sebagai sarana pengembangan usaha rakyat, akibat lemahnya kerjasama antara pemerintah daerah dengan cabang-cabang perbankan di kawasannya. Pola integritas yang terpatah-patah ini disebabkan kemampuan rendahnya manajerial dari kepemimpinan eksekutif daerah yang berbasis birokrasi semata. Sehingga tidak tampak kecepatan kerjanya yang setara pada jargon "time is money" sebagaimana yang biasa didengungkan oleh kalangan usahawan swasta. Maka tak heran jika berbagai sistem pelayanan publik yang semakin antri dan berderet panjang, mereka timpali dengan kekakuan prosedur pelayanannya. Artinya, bukankah aparatur dinas terkait yang semestinya melakukan pengembangan pelayanan dengan menambah loket atau jam kerjanya.
Namun faktanya justru masyarakatlah yang harus mendaftarkan diri sejak subuh hari demi memperoleh nomor antrian kesehatan mereka. Hal ini menampakkan bahwa masyarakat harus paham bahwa waktu para PNS itu lebih berharga daripada waktu rakyat jelata yang terbuang akibat pembatasan nomor antrian, termasuk mendapatkan nomor antrian yang dibutuhkannya. Padahal, jika RSUD dan Puskesmas itu dioperasionalkan oleh pihak swasta dengan harga komersil, tentu mereka akan mengembangkan sistem pelayanannya agar lebih banyak menampung pasien dan memperpanjang jam kerjanya hingga 24 jam tanpa henti. Akan tetapi, oleh karena Puskesmas dan RSUD itu berstatus penyelenggaraan pelayanan pemerintah yang harus murah dibalik pembiayaannya yang berasal dari kontribusi pajak rakyat, maka pelayanan yang timbul pun dengan semaunya dijalankan tanpa melihat kepentingan rakyat kecil yang membutuhkannya.
Banyaknya pemberlakuan pembatasan jam pelayanan yang memaksa rakyat harus antri sejak waktu subuh itu begitu sangat mengganggu terutama kalangan ibu-ibu dan para lansia yang harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga mereka guna mempersiapkan segala sesuatunya dirumah. Dimana pada jam-jam tersebut justru mereka acapkali sibuk untuk mempersiapkan putra-putri mereka yang harus berangkat sekolah, serta suami-suami mereka yang akan berangkat bekerja. Baru setelah segalanya diselesaikan, mereka akan mengurus dirinya sendiri guna memperoleh kesehatannya yang tentu saja mereka memang sesuai selaku pasien puskesmas dan RSUD yang diperuntukkan bagi kalangan penderita penyakit ringan seperti pasien yang mengalami gangguan penyakit gigi, bisul, batuk pilek, demam ringan, iritasi kulit dan lain sebagainya yang tidak membutuhkan operasi serta penanganan kedaruratan medis.
Segelintir persoalan yang sangat melekat dan dibutuhkan masyarakat itu seakan sulit diselesaikan dengan prestasi yang memuaskan, bahkan tak jarang sering pula menjadi banjakan bagi mereka yang haus serta serakah akan kekuasaan, sehingga acapkali masalah stabilitas harga bahan pangan, fasilitas Kesehatan dan sarana pendidikan ini dijadikan permainan politik kotor dari mereka yang miskin gagasan itu hingga menjadikannya komoditas politik pula pada akhirnya. Pasokan negarawan yang minim itu dialami oleh beberapa daerah baik pada level jabatan Gubernur, Walikota dan Bupati, apalagi golongan legislatif layaknya Kebo Nyonyor yang siap mengikuti kemana arah tuan pengembalanya menarik kendali. Sehingga pola desentralisasi kekuasaan atau biasa kita kenal dengan sebutan Otonomi daerah menjadi fakta yang mengkhawatirkan terhadap kebocoran anggaran disana sini, sekalipun Presiden yang kita dapati saat ini telah konsisten berintegritas tinggi dan memiliki kejujuran yang baik sebagaimana yang kita harapkan.
Naiknya fitnah, pemberitaan hoaks dan pertentangan argumentasi dangkal pun menyeruak disana sini dibalik lemahnya transparansi yang sengaja dimainkan oleh penguasa kebijakan diberbagai daerah hingga menyuburkan perpecahan diberbagai wilayah. Belum lagi isu politisasi agama yang menyebarkan semerbak intoleransi yang tidak saja bagi kalangan agama yang berbeda, namun telah pula merambah dikalangan umat islam sendiri melalui perbedaan aliran serta mazhabnya, termasuk tajamnya sasaran gerakan ideologi transnasional yang merasuki Indonesia dalam membaca kelemahan bangsa ini untuk menciptakan efek domino bagi surutnya pertahanan budaya hingga penghilangan sejarah bangsa demi meruntuhkan ketahanan nasionalisme yang selama ini membungkus kebhinnekaan dalam wadah ideologi tunggalnya yaitu Pancasila. Inilah sesungguhnya wujud keprihatinan bagi kita semua tentunya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar