KOALISI AKOMODATIF LEBIH RELEVAN PADA PILPRES 2024
Penulis : Andi Salim
Peserta capres 2024 yang akan datang sepertinya akan di ikuti oleh 2 pasang calon saja, walau kemungkinan lain bisa saja terjadi, namun dari konstelasi kepentingan, hal itu akan sulit dimunculkan mengingat hitung-hitungannya yang realistis dan hampir menemui finalisasi langkah partai untuk mengambil posisi aman dari kemungkinan koalisi yang akan terbentuk. Strategi yang diambil pun terkesan pragmatis, sehingga sasaran utamanya hanya bagaimana memperoleh kursi senayan yang lebih besar dibalik dampak resiko dukungan terhadap calon yang di usung. Penentuan kemenangan akan ditentukan justru bagaimana memanfaatkan momentum buying time promotion agar cepat closing.
Tentu saja waktu untuk itu tidak panjang, apalagi produk dagangannya cenderung sama, dan praktis tidak ada yang berbeda sama sekali. Hanya toko-toko dan penjualnya saja yang berbeda. Sisanya barang yang ditawarkan pun terfokus pada itu-itu juga, sehingga perbedaan harga mudah terdeteksi, maka shopping style masyarakat kita pun tak berubah serta terbiasa untuk mencari barang yang lebih murah terhadap barang yang sama, tanpa perlu menunggu last minute sebagai penutupan waktu promosi yang akan berakhir. Maka bagi pedagang yang ingin mengejar omzetnya, apalagi lebih berani menambah diskon dan buka toko lebih awal, praktis cara itu pasti mendapatkan volume penjualan yang meningkat walau dari keuntungan yang sedikit berkurang.
Strategi Nasdem yang lebih awal membuka tokonya dan mengisi display market place yang terlihat padat dari 3 bakal capresnya yang diumumkan kemarin kiranya menjadi langkah positif terhadap gairah animo pasar yang saat ini sedang lesu. Walau terdapat item yang sama dengan selera publik, namun terdapat juga barang slow moving yang ikut ditawarkannya. Sebagai pesaing, tentu hal ini terlihat secara beragam. Apakah langkah politiknya dianggap jitu dalam melirik selera konsumen atau justru menjadi kelemahan bagi pesaingnya. Akan tetapi, kita harus tetap mengapresiasi kecepatan mereka dalam mempersiapkan diri untuk menyambut keramaian bazar pada 2024 yang akan datang.
Pesta politik memang selalu sulit diterka, namun bukan berarti melalui kecermatan hal itu tidak dapat diraba dan diprediksi bagaimana dan kemana arah perkembangannya. Berbagai lembaga survey pun menuangkan hasil observasinya ditengah gelombang pergerakan para tokoh nasional, serta menarik kesimpulan dari animo masyarakat yang nampak dipermukaan. Kutubnya tak lain pada 2 poros, apakah gelombang kekuatan islam yang dianggap sistemik oleh karena 90 persen masyarakat muslim, atau kekuatan elemen nasionalisme melalui komponen budaya, islam moderat dan non muslim yang akan menguat pada akhirnya. Tentu saja permainan babak tengah menjadi penentu langkah kemenangan bagi salah satu poros diatas.
Pemberitaan pada Merdeka.com tertanggal 16 juni 2022, memberitakan bahwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan jika organisasinya bukan milik sebuah partai politik manapun, termasuk partai yang digadang-gadang dekat dengan NU yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Demikian disampaikan Khatib Syuriah PBNU Abu Yazid. Oleh karenanya, semua partai bisa membangun kompetisi berbasis kreasi dan inovasi yang baik. Artinya sebagai ormas islam terbesar, NU membuka opsi kepada partai lain, sekalipun berbasis nasionalis untuk tidak segan-segan merangkul warganya dalam mencapai kemenangan bagi politik kebangsaan. Sehingga hal itu tidak menjadi kemutlakan bahwa suara masyarakat NU hanya akan memilih partai islam semata.
Sejak lama NU melihat pentingnya mencintai bangsa dan negara sendiri dibalik sikap ukhwah islamiyah sebagai rasa solidaritas sesama muslim. Akan tetapi, NU lebih mengutamakan ajakannya kepada sikap berbangsa dan bernegara itu melalui semboyan Hubbul wathon minal iman, sebagaimana seruan itu yang sering didengungkan mereka, tidak saja terhadap kalangan warganya, namun menggema kepada masyarakat indonesia pada umumnya, hal itu demi menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. Sehingga penegasan itu dapat dilihat dari syair lagu Syubbanul Wathon / Ya Lal Wathon yang diciptakan sejak tahun 1916 merupakan karya KH Abdul Wahab Chasbullah, (salah satu pendiri Nahdlatul Ulama), yang terus didengungkan hingga saat ini.
Dari fakta itu, kita pun menyaksikan rekam sejarah, minimal sejak pasca era reformasi dihembuskan, dimana pengekangan politik yang sebelum era reformasi itu praktis mendapat tekanan dan campur tangan pemerintah era orde baru, namun anehnya, pada era reformasi pun, perolehan partai islam tidak memiliki korelasi garis lurus terhadap pencapaian elektoralnya dari mayoritas umat islam Indonesia yang berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk muslim di Indonesia sebanyak 237,53 juta jiwa atau setara 86.9 persen per 31 Desember 2021. Bahkan pencapaian atas partai Nasionalisme cenderung mengalahkan mereka yang memiliki platform keagamaan.
Realitas itu membuktikan bahwa PPP, PAN dan PKB sesungguhnya telah mengalami kegagalan atas kebangkitannya. Walau PPP dan PKB disinyalir sebagai saluran politik bagi warga NU, dan PAN yang lebih identik sebagai aspirasi warga Muhammadiyah, hal itu tidak serta merta menunjukkan korelasi pada semua warganya untuk memilih saluran politik yang disediakan organisasi besar tersebut. Malah, keberadaan partai PKS yang justru hadir pasca era reformasi Indonesia yang berdiri pada tanggal 20 April 1998 dimana mereka mengawali gerakan aktivitas dakwahnya sejak 1980-an lebih menjadi aspirasi umat islam Indonesia. Hal itu berdasarkan pencapaian hasil pemilu 2019 dimana PKB memperoleh 9,6%, PKS 8,2%, PAN 6,8% dan PPP 4,5%.
Suara.com tertanggal 24 mei 2022 memberitakan, Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf meminta parpol tidak mengeksploitasi Nahdlatul Ulama demi kepentingan politik identitas. Permintaan itupun ditanggapi positif oleh elite Partai Kebangkitan Bangsa, yakni Waketum Jazilul Fawaid. Tentu saja gejala fenomena itu terlihat pada pilkada DKI pada 2017 silam, dimana hal itu memprihatinkan banyak pihak, betapa wajah islam menjadi tercoreng oleh nafsu kekuasaan yang menyelimutinya. Sehingga pada pilpres 2024, keadaan semacam itu tidak boleh terulang kembali tentunya. Berbagai antisipasi pun dilakukan demi gelombang demokrasi yang berbudaya dan beradab. Mari kita tunggu saja hasilnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
ini blog khusus untuk tulisan-tulisan dari Bapak Andi Salim, seorang tokoh toleransi di wilayah Gunung Sindur Rawa Kalong Bogor, sangat bagus untuk bacaan-bacaan opini dari beliau
Minggu, 19 Februari 2023
KOALISI AKOMODATIF LEBIH RELEVAN PADA PILPRES 2024
19/06/2022
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH
TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...
-
15/10/2022 BENTURAN KEPENTINGAN MENCIPTAKAN PERBEDAAN Penulis : Andi Salim Siapa yang tidak ingin sama dalam segala hal, terutama bagi pasa...
-
13/08/2022 INDONESIA DITENGAH PUSARAN KRISIS GLOBAL YANG MENGHANTUI DUNIA Penulis : Andi Salim Jika ingin menguasai suatu negara, cara yang ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar