Senin, 20 Februari 2023

MAMPUKAH BUMN BERSAING PASCA PERAMPINGAN USAHANYA

12/05/2022

MAMPUKAH BUMN BERSAING PASCA PERAMPINGAN USAHANYA
Penulis : Andi Salim

Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang menyebutkan terdapat saldo minus alias meruginya perusahaan BUMN tahun 2020, yaitu PT Asuransi Jiwasraya Rp 41,5 trilyun, PT Garuda Indonesia Rp 32,85 trilyun, PT Krakatau Steel Rp 29,54 trilyun, PT Dirgantara Indonesia Rp 18,33 trilyun, PT Perkebunan Nusantara III Rp 15,19 trilyun, PT ASABRI Rp 11,53 trilyun, PT. Merpati Nusantara Airlines Rp 8,78 trilyun, Perum Bulog Rp 4,02 trilyun, PT PAL Ind. Rp 3,78 trilyun, dan PT. PANN Rp 3,54 trilyun. Tentu saja angka kerugian perusahaan yang dibawah itu masih banyak lagi, namun tidak dimuat dalam penulisan ini.

Dari fakta itu, Kementerian BUMN menjadi fokus melakukan efisiensi di perusahaan BUMN, salah satunya melalui restrukturisasi. Di mana banyak dilakukan perampingan, baik dari struktur organisasi Kementerian BUMN sendiri yang dipemangkasannya sejumlah deputi hingga tersisa 3 deputi saja. YAkni deputi bidang hukum dan perundang-undangan, deputi bidang SDM, teknologi dan informasi, dan deputi bidang keuangan dan manajemen risiko. Serta melakukan perampingan dari usaha sejenis, dimana pada tahun 2016 perusahaan BUMN kita berjumlah 118, kini pada tahun 2022 hanya berjumlah 41 perusahaan saja.

Tidak diperoleh kejelasan yang terperinci bagaimana cerita dibalik kerugian tersebut, dan apa yang menyebabkan kerugian itu terjadi. Sehingga masyarakat hanya menerima guliran pahit yang tak berkesudahan ditengah naiknya harta kekayaan pejabat pengelola BUMN itu yang sebenarnya dianggap berkorelasi dengan meruginya perusahaan yang mereka pimpin selama ini. Sehingga terkesan mereka dibiarkan untuk boleh tidak bertanggung jawab dan melenggang pergi begitu saja pasca kerugian perusahaan yang dipimpinnya. Padahal mereka bukan lagi menjadi sapi perah sebagaimana di jaman orde baru yang dipaksa memikul kerugian bagi pelayanan terhadap rakyat.

Belum lagi jika kita mengamati 4 perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang konstruksi yang menerbitkan laporan keuangannya untuk tahun buku 2021. Walau terdapat 3 perusahaan yang mencatatkan laba dan hanya satu yang mengalami kerugian. Dimana Laba bersih terbesar dicatatkan sebagai berikut :
PT PP Rp 265,98
PT Wika Rp117,67 miliar
PT Adhi Karya Rp 55,18.
PT Haka rugi Rp 2,45 triliun
PT. Waskita Rp174,4 miliar.
Namun rasio keuntungan relatif sangat kecil, bila dibandingkan dengan aset yang dikuasainya, yaitu :
Aset BUMN karya semester awal tahun 2021
PT. PP 55,39 Trilyun
PT. WIKA 61.82 Trilyun
PT. ADHI KARYA 39.9 Trilyun
PT. HUTAMA KARYA 52.3 Trilyun
PT WASKITA 105.67 Trilyun.

Kabar duka yang ditutupi itu tidak hanya sampai disitu, Bank-bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) pun ikut mempubkikasikan catatannya atas pertumbuhan aset yang cukup signifikan pada 2021. Tercatat ada empat bank anggota Himbara, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Sehingga pada tahun 2021 jumlah aset dari keempat bank tersebut mencapai Rp 4.738 triliun, yang disebutkan tumbuh 7,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp4.403 triliun.

Betapa kita disajikan pada berita-berita yang semakin aneh dari gagalnya aksi profit taking perusahaan BUMN itu semua, namun pola informasi yang disajikan justru lebih bersifat pada kenaikan aset yang bersifat pasif. Jika diwaktu sebelumnya Menteri BUMN Rini M. Soemarno menyatakan bahwa total aset perusahaan 143 BUMN hingga 2018 mencapai Rp 8.000 triliun. Hal yang sama pun disampaikan Erik Thohir selaku Menteri BUMN saat ini, dengan estimasi kurs Rp14.300 per dolar AS, maka disebutkannya jika total aset BUMN senilai US$ 650 miliar, artinya setara dengan Rp9.295 triliun.

Namun sekiranya kita menyimak apa yang diungkapkan Menteri Badan Usaha Milik Negara tersebut, dimana Kementerian BUMN berhasil meningkatkan laba bersih konsolidasi BUMN secara signifikan. Dari hanya sebesar Rp 13 triliun pada akhir tahun 2020, laba bersih konsolidasi hingga triwulan ketiga di tahun 2021 sudah mencapai Rp 61 triliun. Maka dapat disimpulkan bahwa perolehan laba bersih yang dicapai, tidak sampai 1% dari nilai aset secara keseluruhan yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan BUMN tersebut. Sehingga informasi yang sering muncul pun sebatas kenaikan aset layaknya perusahaan yang tanpa kegiatan sama sekali.

Dalam pengertian yang sederhana, perusahaan memiliki fokus dalam melakukan suatu aktivitas atau pekerjaan yang memberikan dampak keuntungan, maka pada pengertian bisnis yaitu suatu organisasi atau badan usaha lain yang bergerak dalam kegiatan komersial dan profesional, atau industri untuk memperoleh profit yang dihasilkan. Sebab itulah suatu investasi digerakkan dengan menyediakan modal untuk pembelian aset ( fixed cost ) dan menyediakan modal perputaran uang ( variable cost ) untuk disirkulasikan sebagai kegiatan usaha. Sehingga dari sirkulasi dan kegiatan itulah keuntungan akan diperolehnya, bukan dari nilai kenaikan aset yang bersifat pasif.

Restrukturisasi, Privatisasi, Akuisisi dan istilah lain yang pernah kita dengar sejak era Menteri BUMN pada masa Kwik Kian Gie dahulu, sebutan itu hanya mengutil dari istilah asing agar mengaburkan pemahaman dan konsentrasi masyarakat atas kerugian negara dari bocornya perusahaan BUMN kita selama ini, sehingga segalanya tidak pernah jelas, bagaimana kerugian perusahaan BUMN terjadi, dan bagaimana kerugian itu tercipta dibalik kebijakan pemerintah yang selalu melindunginya, padahal perusahaan BUMN itu nyaris tanpa adanya pesaing khususnya ditingkat lokal, namun begitu aneh jika mereka selalu merugi, dan jika pun untuk hanya sebatas nilai yang remeh remeh semata.

Semoga tulisan ini bermanfaat.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...