Minggu, 19 Februari 2023

MERETAS SIKAP BERNEGARA DIBALIK FANATISME BERAGAMA

26/06/2022

MERETAS SIKAP BERNEGARA DIBALIK FANATISME BERAGAMA
Penulis : Andi Salim

Dalam kesepakatan berbangsa dan bernegara, pernah terdapat friksi yang menampakkan perbedaan pendapat dalam hal sisi tentang azas pendirian dasar negara, apakah berlandaskan pada nasionalisme beragama atau pada nasionalisme sekular sebagaimana yang kita kenal belakangan ini. Para tokoh bangsa kita dengan arifnya melihat bentangan keanekaragaman yang terdapat dari ribuan pulau, adat istiadat serta tradisi yang bangsa ini miliki. Namun keputusan itu tetap saja tercapai melalui perenungan dan kebijaksanaan dari pemikiran besar mereka yang tidak khawatir salah saat mengambil keputusan itu atau di istilahkan dengan sebutan Decidophobia.

Keputusan bijaksana yang disepakati itu semata-mata menyandarkan diri pada fakta dan objektifitas keadaan guna menempatkan nasionalisme sekular diatas kepentingan semua golongan, artinya apapun asal usul masyarakat kita, termasuk pada keberagaman keyakinan dan agama yang kita anut sekalipun, segalanya tertampung ke dalam butir pancasila yang dirasakan mempersatukan serta mengadopsi semua kepentingan dan golongan yang ada. Capaian kesepakatan yang demikian bukan merupakan keputusan sederhana untuk dicapai, terbukti kita semua dapat menyadari dan bersandar pada Pancasila hingga saat ini.

Kalau pun masyarakat saat ini terlihat cuek bebek terhadap eksistensi negara, oleh karena mereka sesungguhnya tidak didekati atau dibimbing kearah bagaimana mencintai bangsanya sendiri dibalik surutnya aktifitas budaya ditengah masyarakat. Seperti kegiatan penataran P-4 dan komunitas seni yang tak lagi hadir ditengah lingkungan mereka. Padahal sikap membela dan mencintai negara ini pun tak kalah pentingnya bagi kelangsungan bernegara kita pada akhirnya. Para pahlawan yang telah memperjuangkan untuk memperoleh kemerdekaan, walau dengan susah payah dan mengorbankan darah dan nyawanya.

Perjuangan itu bukanlah penebusan harga yang murah hingga se-enaknya untuk dilupakan oleh generasi muda Indonesia. Sehingga kedaulatan negara ini begitu mudahnya diserahkan kepada bangsa lain atas ketidaktahuan mereka terhadap perjuangan dari para leluhur bangsa ini sebelumnya. Hal ini yang sepatutnya perlu kita sadarkan, untuk mengingatkan sekaligus memberikan pemahaman dan pendalaman sejarah bangsa agar meresapi makna perjuangan dan kemerdekaan itu yang disimbolkan kepada sikap Nasionalisme sekular yang mampu berdiri diatas semua kepentingan sepanjang tidak merugikan dan mengorbankan negaranya sendiri.

Pemerintah seakan tidak hadir untuk mengajak warga negaranya agar lebih dicintai oleh rakyatnya, padahal disisi yang berbeda aktifitas agama dalam membangun solidaritas sesama penganut seagama, terus digiatkan sebagai sikap persaudaraan seiman dan seagama mereka. Akan tetapi, tidak demikian dengan solidaritas nasional dan wujud toleransi terhadap perbedaan. Apalagi dibalik lemahnya kurikulum pendidikan yang bertujuan membangun sikap nasionalisme berbangsa, tentu berdampak pada pupusnya generasi muda kita terhadap seluk beluk pengetahuan tentang perjuangan dalam menebus kemerdekaan yang dinikmatinya hingga detik ini.

Ketidaktegasan pemerintah dalam memberantas gerakan radikal ekstrem ini hingga ke akar-akarnya tentu dipahami oleh lapisan masyarakat, sebab kemiripan syiar agama yang disampaikan mereka dengan kelompok islam nasionalis pun sulit dibedakan, bahkan terhadap kalangan NU dan Muhammadiyah sekalipun. Tidak adanya identik pembeda dari keduanya menyebabkan penegak hukum semakin ragu-ragu untuk menghentikan pergerakan mereka dan hanya menunggu ketika mereka melanggar hukum tertentu. Padahal ajakan atau himbauan yang ditujukan demi menjegal kedaulatan negara serta memecah belah bangsa tidak bisa disebut sebagai penggunaan pasal 28 E ayat 3.

Hadirnya ideologi transnasional hingga direspon Presiden dalam kesempatan tertentu, tentu hal itu menampakkan bahwa persoalan ini nyata dan terasa keberadaannya. Akan tetapi terjangan guna menuntaskan persoalan ini sebagaimana yang dilakukan oleh Densus-88 dari Kepolisian dan BNPT dibawah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, belum sepenuhnya menyelesaikan masalah. Sebab, sekalipun organisasi penunjangnya telah ditutup, akan tetapi aktifitasnya tidak dapat dicegah dibalik perlindungan hak berkumpul dan berserikat serta kebebasan dalam menyatakan pendapat dimuka umum.

Pasal ini acapkali digunakan bagi mereka yang berseberangan bahkan mereka tidak segan-segan menuding kelompok lain atau pemerintah sekalipun yang dianggapnya menerapkan prilaku ketakutan akan agama tertentu seperti islamophobia. Maka pasal ini menjadi perlindungan bagi gerakan itu yang merupakan salah satu pasal perlindungan HAM yang dijamin oleh UUD 1945. Dimana pasal itu menyebutkan, kebebasan berkumpul dan berserikat yang terdapat dalam Pasal 28 E ayat (3) berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Tulisan ini hanya mengajak kita berpikir, bahwa persoalan bangsa serta penjajahan dalam bentuk apapun akan mudah ditumpas sekiranya mereka nyata dan tidak subhat keberadaannya. Namun berbeda dengan musuh yang datang dari kalangan sendiri, mereka akan terlihat sama dengan kita dan menyerupai apa yang kita lakukan. Politik gerilya semacam ini harus dilawan melalui pelopor dari kalangan islam sendiri untuk berani membedakan dan menciptakan identik perbedaan agar memperjelas, mengurai serta memisahkan diri dari kelompok ideologi transnasional yang mengancam keutuhan bangsa dan negara kita. Hal semacam ini pernah ditampakkan oleh para ulama selaku pejuang kemerdekaan indonesia dulu.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...