Minggu, 19 Februari 2023

PERUBAHAN PETA KOALISI TAK LANGSUNG MENUJU PILPRES 2024

 

17/08/2022

PERUBAHAN PETA KOALISI TAK LANGSUNG MENUJU PILPRES 2024

Penulis : Andi Salim

Pemilu serentak akan dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024 yang akan datang, artinya hari yang tersisa hanya sekitar 1,5 tahun sejak hari ini. Pendaftaran Partai politik pun sudah ditutup KPU dengan pesertanya yang terverifikasi sejumlah 40 parpol yang akan ikut pada perhelatan pesta rakyat tersebut. Namun terdapat 16 parpol yang berkasnya dikembalikan KPU karena tidak melengkapi berkas persyaratan. Penjelasan Presiden mengenai tahapan pemilu untuk tahun 2024 telah on the track sebagaimana yang pernah disampaikan kepada publik terdahulu dan sudah berjalan sesuai yang direncanakan sejak pertengahan bulan Juni 2022 kemarin.

Pada tahapan ini, tentu masih terlihat bahwa semua parpol belum memiliki persiapan yang matang dalam menghadapi gelombang tahapan pemilu yang akan menjadi perhelatan semua parpol tersebut untuk bertarung adu kekuatan dan mencengkram elektabilitasnya disetiap wilayah Indonesia, selain itu terjadi animo masyarakat yang anomali kearah capres tertentu pula. Sehingga tidak sedikit pula dari 40 parpol peserta pemilu yang ikut tersebut, belum memiliki capres mana yang akan diusung atau didukungnya nanti. Walau pendaftaran capres tersebut dari parpol peserta lama yang menjadi pijakan pemenuhan syaratnya.

Namun saat ini, dari beberapa parpol, hanya PDI Perjuangan yang memiliki 128 kursi yang tidak memerlukan koalisi terhadap partai lain, sisanya harus membentuk koalisi sebagaimana disyaratkan oleh KPU RI guna membentuk aliansi dalam mengusung capres dengan persyaratan minimal 115 kursi di DPR RI saat ini. Akan tetapi skemanya koalisi pun sudah sedikit terlihat dari pernyataan-pernyataan para Ketua Umum partai-partai itu. Diantaranya KIB yang terdiri atas Golkar, PAN dan PPP, sedangkan beberapa saat yang lalu terjadi kesepakatan antara Gerindra dengan PKB yang telah membentuk koalisi pula.

Praktis yang tersisa hanya Nasdem, PKS dan Demokrat saja yang belum menentukan sikapnya. Walau pemenuhan syarat pencalonan Presiden harus memenuhi 115 kursi, bukan berarti hal itu menjadi cukup sekalipun parpol yang tidak membutuhkan koalisi sebagaimana PDI Perjuangan itu sekiranya memenangkan pertarungan pilpres tersebut nantinya. Sebab komitmen anggota DPR RI akan menjadi kunci bagi kelancaran eksekutif, dimana dukungan legislatif itu yang salah satunya adalah memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN sebagaimana yang diajukan Presiden. Hal inilah yang mesti dicermati oleh setiap partai politik tentunya.

Kekuatan dukungan dari legislatif itu harus melebihi dari 50 persen atas keanggotaannya. Jika tidak ingin terjebak pada berbagai kesulitan untuk mewujudkan program-program pemerintah yang memerlukan persetujuan pengajuan anggarannya. Bahkan demi kepastian kelangsungan program dan stabilitas kebijakannya, pemerintah Jokowi merangkul berbagai parpol sehingga koalisi yang dibangun terkesan gemuk, apalagi pasca masuknya Gerindra dan PAN, sehingga yang tersisa hanya PKS dan Demokrat saja yang berlaku layaknya oposisi, namun kritik mereka pun sering tertindih oleh tekanan netizen dan relawan yang sering menjadi lawan isu politik yang mereka kembangkan.

Fakta ini membuktikan, selama perhelatan pemilu kita masih mengandalkan sistem multi partai yang dipertahankan, maka sudah barang tentu setiap parpol tidak dapat berdiri sendiri dan menjadi pemenang tunggal atas pertarungan yang digelar sejak era reformasi hingga saat ini. Terbukti pasca runtuhnya rezim ORBA yang lalu, dimana sebelumnya Golkar menjadi langganan pemenang pemilunya, saat ini tidak ada lagi satu pun partai yang pernah mencapai perolehan diatas 50 persen. Sehingga klaim apapun dari setiap partai politik itu, sudah barang tentu layaknya iklan tayang untuk di endorse politikusnya semata agar disuarakan guna mempengaruhi elektabilitas partainya.

Terbatasnya kursi kepengurusan di suatu partai politik, mau tidak mau setiap partai membangun sayapnya agar konstituennya berkembang. Hal itu tidak saja dialami 3 partai besar seperti Golkar, PDI Perjuangan dan PPP sebagai pendahulunya, akan tetapi juga dilakukan oleh partai-partai baru sebagai pengembangan struktur demi membangun perolehan pundi-pundi suara yang menjadi basis dari kekuatan partai induknya. Walau mereka tidak terafiliasi secara langsung, namun hal itu bisa terlihat dari dukungan relawan atau organisasi sayap yang mereka miliki. Maka tak heran jika didalam kepengurusan suatu organisasi terdapat tokoh-tokoh politik yang membidani lahirnya organisasi atau relawan tersebut.

Menyadari akan hal itu, sesungguhnya setiap partai harus cerdas melihat pergerakan organisasi sayapnya, sudah semestinya mereka dirangkul, didekati bahkan dimintakan pendapatnya jika diperlukan. Sebab merekalah yang bersentuhan secara langsung tanpa membawa dampak politik yang kotor hingga masyarakat alergy terhadap nuansa politik yang belakangan ini semakin memuakkan. oleh karena partai politik yang justru dianggap sebagai institusi yang menyandera kemurnian suara rakyat tersebut. Sehingga para akar rumput sering mengistilahkan hal ini dengan sebutan HIT AND RUN, yang dimaknai jika habis momentum pemilu, pendukungnya pun ditinggalkan begitu saja.

Sekedar upaya kritik saja agar tidak diartikan berbeda, coba kita evaluasi dikalangan parpol saat ini, apakah pengurus organisasinya sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, jika belum tentu harus segera benahi. Sebab pengelola organisasi itu harus membawa kepada arus perubahan dan optimalisasi pencapaian sasaran yang diharapkan. Bahwa organisasi politik harus terus bertindak formal dan meluaskan kemapanan jaringannya guna mempengaruhi faktor eksternal dalam berbagai langkah politiknya. Sehingga keberadaan ormas dan relawan tidak diartikan sebagai rivalitas yang menindih kepentingannya sehingga justru menjadi kontra produktif.

Disamping itu, para partai politik tentu harus berpikir ulang mengenai pola koalisi yang selama ini menjadi sulit menentukan besaran porsinya, apakah sharing kekuasaan terhadap mereka itu diperhitungkan dari seberapa besarnya darah dan keringat dalam memenangkan Pilpres tersebut atau hanya dihitung dari besaran kursi yang dimilikinya saat ini. Sebab ada partai sebelum pilpres justru menjadi turun perolehan kursi pasca pilpres terjadi, dan ada pula partai besar yang hanya mengandalkan jumlah kursi namun kurang dalam upaya memenangkan perhelatan Pilpres tersebut, sehingga membiarkan relawan dan ormas itu bergerak sehingga terkesan hanya mendompleng saja.

Semoga tulisan ini bermanfaat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...