APAKAH SALAH KETIKA GANJAR DISEBUT SEBAGAI PETUGAS PARTAI
30/05/2023
Membangun partai politik bukanlah hal yang mudah dan murah, apalagi ditengah era digitalisasi saat ini. Namun sayang, kita masih belum melihat adanya partai yang menerapkan penyesuaian terhadap tuntutan zaman dari serba modernnya fasilitas yang tersedia. Cara-cara yang dipakai masih saja menerapkan langkah-langkah konvensional baik dalam pola-pola rekruitmen mau pun sosialisasi program serta visi dan misi partai yang tidak dilengkapi dengan langkah-langkah taktis dalam menyambut gegap gempitanya era kemajuan jaman yang hampir sepenuhnya mengisi ruang publik, yang tidak saja di tanah air, namun telah menjangkau ke setiap jengkal tanah di bumi ini. Lantas, mengapa partai politik sekarang terkesan kurang merespon hal ini sekalipun jaman telah berubah hampir 180 derajat. Apakah mereka tidak paham atau malah sengaja tidak ingin menerapkannya.
Banyak partai yang sedikit menginspirasi partainya untuk mengurangi rapat-rapat pertemuan tatap muka dengan cara mengalihkannya kepada zoom meeting agar lebih efisien dan cepat tanpa mengganggu aktifitas apa yang sedang dilakukan oleh pesertanya. Atau para peserta tersebut bisa saja pada kondisi yang tidak berada dalam satu wilayah namun tetap bisa ikut dalam acara pertemuan zoom meeting tersebut. Tapi hal itu masih sebatas pemanfaatan yang itu-itu saja, selain pertukaran informasi berupa berita, gambar, tayangan video penting atau dokumen-dokumen serta hal-hal lain yang sering diakses melalui media sosial saat ini. Padahal dibalik itu, masih banyak lagi yang bisa dimanfaatkan dari terbukanya fasilitas media digital yang sarat akan technologi modern bila dibandingkan dengan sistem lama yang dianggap kuno serta serba lambat tersebut.
Sedikitnya terdapat beberapa point yang penulis ingin utarakan dalam melakukan penyesuaian terhadap partai politik yang saat ini ingin mengubah dari serba manual menuju era digital yang saat ini diperlukan. Tentu saja media penulisan ini terasa begitu sempit dan hanya sedikit ilustrasi yang dapat digambarkan melalui penulisan ini, atau malah dibahas sebatas hal-hal penting yang penulis rasakan menjadi hal yang layak untuk disesuaikan dengan keadaan saat ini. Pertama, sejauh mana sebuah partai politik melakukan rekruitmen keanggotaan yang tidak lagi mengandalkan kartu keanggotaan kecuali didasari pada sistem coding yang merujuk pada wilayah Provinsi, Kabupaten / Kota, Kecamatan hingga kelurahan bahkan lebih spesifik lagi dengan menambahkan 4 digit angka dibelakang KTP mereka. Sehingga keanggotaan sebuah organisasi tidak lagi membutuhkan kartu keanggotaan yang saat ini berlaku konvensional.
Dari coding number ini, maka sudah barang tentu data base setiap anggota partai akan dimuat dalam tabulasi data base baik yang terdapat di tingkat DPC, DPD mau pun tabulasi induk yang terdapat di kantor pusat yang memuat rekam jejak anggota, baik curriculum vitae, masa waktu keanggotaannya, serta spesifikasi kemampuan yang dimiliki, atau hal-hal penting lainnya. Hal ini demi berdampak pada the right man on the right place pada setiap posisi penempatannya. Termasuk aspek penilaian terhadap yang bersangkutan demi jenjang karir politik terhadap kiprahnya yang ikut membesarkan partai sebagai pihak yang sepantasnya mendapat prioritas. Atau sebaliknya, menjatuhkan sanksi bersifat administrasi dari lemahnya kontribusi yang bersangkutan terhadap upaya pencapaian target minimum yang dihasilkannya. Hal ini berdasarkan atas berlakunya sistem reward and punishment serta kesesuaian atas penempatan seseorang dalam mengisi posisi dari setiap anggota yang sering terkait dengan the right man on the right place pada akhirnya.
Kedua, kemampuan digitalisasi pun dapat melihat sejauh mana partisipasi masyarakat terhadap efektifitas kerja-kerja politik serta program-program lainnya guna melihat setinggi apa daya serap partai terhadap kebutuhan apa yang dianggap riil untuk diangkat menjadi isu kedaerahan, hingga jika diperlukan menjadi isu nasional dalam konteks keikutsertaan partai guna memperbaiki kondisi bangsa ini. Termasuk meregistrasi sumber-sumber daya yang tersedia, sekaligus bagaimana sumber daya tersebut memperoleh solusi yang komprehensif di tingkat daerah hingga mendatangkan manfaat secara nasional. Sehingga aliran informasi yang sedemikian cepat tersebut dapat dijadikan arus informasi balik sebagai feedback dari daerah ke pusat, sehingga tidak sekedar instruksi searah dari pusat ke daerah semata. Dari cara inilah sebuah partai politik akan terlihat memiliki kematangan yang menguasai beragam persoalan daerah hingga layak menjadi rivalitas pemerintah dalam menjalankan fungsi legislasi yang diperankannya.
Ketiga, partai politik pun harus memanfaatkan digitalisasi dalam konteks memberikan dampak edukasi yang memadai terhadap budaya bangsa, bahkan secara spesifik lagi menciptakan dorongan bagi terbangunnya etik dan etos sebagai budaya partai yang sengaja dibangun untuk membedakan ciri khas dan kultur internal agar partainya tumbuh dengan perbedaan meskipun dalam koridor demokrasi yang terbuka. Cara yang dapat dilakukan dari peluang ini adalah menghadirkan orang-orang yang handal dalam menyampaikan pesan-pesan baik berupa tulisan, video konten, podcast dan lain sebagainya guna membangun narasi dan literasi yang bertujuan untuk mendapatkan antusias dan perhatian masyarakat, sehingga mendatangkan kritik dan masukkan yang lebih banyak sebagai sebuah gagasan, termasuk persoalan apa yang dapat di akomodasi, dievaluasi yang pada akhirnya menarik kesimpulan apa yang menjadi solusi terbaik bagi pengentasan persoalan tersebut.
Jika selama ini, partai politik lebih mementingkan perolehan elektoral mereka dari suara rakyat yang sebesar-besarnya dapat diraih, maka menjadi tak heran segala di upayakan oleh para kandidat legislator mereka, termasuk para calon kepala daerah yang menggunakan serangan fajar yang dilarang oleh Komisi Pemilihan umum, termasuk janji-janji kampanye yang sulit dibuktikan pembuktiannya. Maka melalui strategi diatas hal itu dapat dilakukan secara terbuka hingga masyarakat dapat mengikuti perkembangan atas dibawanya permasalahan mereka, baik di tingkat legislasi maupun informasi yang bisa diakses terhadap upaya untuk mewujudkan harapan mereka tersebut. Termasuk melihat kendala apa yang terjadi terhadap pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan mereka hingga berdampak pada viralnya suatu persoalan itu diangkat masyarakat ke publik. Inilah bentuk transparansi yang selayaknya dibangun demi mekanisme terhadap upaya kesejahteraan rakyat.
Pada akhirnya cara ini memberikan pengertian bahwa siapapun yang dipilih rakyat, sesungguhnya mereka bukanlah petugas partai semata, sebagaimana yang saat ini viral di telinga publik atas sebutan Megawati beberapa saat yang lalu, dimana sebenarnya kita perlu terlalu baper apalagi mengkritik hal itu secara mendalam. Sebab sebagai kader partai, memang sebutan itu layak disebut demikian kepada Ganjar Pranowo selaku kader partainya, namun disisi yang berbeda, kepercayaan masyarakat terhadap dirinya pun sama berlakunya pula. Bahwa legislator, kepala daerah, bahkan kepala negara sekalipun adalah petugas rakyat pula tentunya. Oleh karenanya, kita jangan terjebak pada pemahaman bahasa yang dangkal / sempit hingga secara terus-menerus mencurigai serta menjadikannya sebagai isu negatif demi menyudutkan pihak-pihak tertentu. Spelling atau artikuslasi bahasa hanya dapat dipahami dari perspektif apa atas ucapan itu sengaja dilontarkan, namun upaya tabayun guna memahami atas maksud dan tujuannya dibalik ungkapan itu, tentu harus pula dilakukan agar tidak terjebak kedalam fitnah yang merugikan siapapun.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Membangun partai politik bukanlah hal yang mudah dan murah, apalagi ditengah era digitalisasi saat ini. Namun sayang, kita masih belum melihat adanya partai yang menerapkan penyesuaian terhadap tuntutan zaman dari serba modernnya fasilitas yang tersedia. Cara-cara yang dipakai masih saja menerapkan langkah-langkah konvensional baik dalam pola-pola rekruitmen mau pun sosialisasi program serta visi dan misi partai yang tidak dilengkapi dengan langkah-langkah taktis dalam menyambut gegap gempitanya era kemajuan jaman yang hampir sepenuhnya mengisi ruang publik, yang tidak saja di tanah air, namun telah menjangkau ke setiap jengkal tanah di bumi ini. Lantas, mengapa partai politik sekarang terkesan kurang merespon hal ini sekalipun jaman telah berubah hampir 180 derajat. Apakah mereka tidak paham atau malah sengaja tidak ingin menerapkannya.
Banyak partai yang sedikit menginspirasi partainya untuk mengurangi rapat-rapat pertemuan tatap muka dengan cara mengalihkannya kepada zoom meeting agar lebih efisien dan cepat tanpa mengganggu aktifitas apa yang sedang dilakukan oleh pesertanya. Atau para peserta tersebut bisa saja pada kondisi yang tidak berada dalam satu wilayah namun tetap bisa ikut dalam acara pertemuan zoom meeting tersebut. Tapi hal itu masih sebatas pemanfaatan yang itu-itu saja, selain pertukaran informasi berupa berita, gambar, tayangan video penting atau dokumen-dokumen serta hal-hal lain yang sering diakses melalui media sosial saat ini. Padahal dibalik itu, masih banyak lagi yang bisa dimanfaatkan dari terbukanya fasilitas media digital yang sarat akan technologi modern bila dibandingkan dengan sistem lama yang dianggap kuno serta serba lambat tersebut.
Sedikitnya terdapat beberapa point yang penulis ingin utarakan dalam melakukan penyesuaian terhadap partai politik yang saat ini ingin mengubah dari serba manual menuju era digital yang saat ini diperlukan. Tentu saja media penulisan ini terasa begitu sempit dan hanya sedikit ilustrasi yang dapat digambarkan melalui penulisan ini, atau malah dibahas sebatas hal-hal penting yang penulis rasakan menjadi hal yang layak untuk disesuaikan dengan keadaan saat ini. Pertama, sejauh mana sebuah partai politik melakukan rekruitmen keanggotaan yang tidak lagi mengandalkan kartu keanggotaan kecuali didasari pada sistem coding yang merujuk pada wilayah Provinsi, Kabupaten / Kota, Kecamatan hingga kelurahan bahkan lebih spesifik lagi dengan menambahkan 4 digit angka dibelakang KTP mereka. Sehingga keanggotaan sebuah organisasi tidak lagi membutuhkan kartu keanggotaan yang saat ini berlaku konvensional.
Dari coding number ini, maka sudah barang tentu data base setiap anggota partai akan dimuat dalam tabulasi data base baik yang terdapat di tingkat DPC, DPD mau pun tabulasi induk yang terdapat di kantor pusat yang memuat rekam jejak anggota, baik curriculum vitae, masa waktu keanggotaannya, serta spesifikasi kemampuan yang dimiliki, atau hal-hal penting lainnya. Hal ini demi berdampak pada the right man on the right place pada setiap posisi penempatannya. Termasuk aspek penilaian terhadap yang bersangkutan demi jenjang karir politik terhadap kiprahnya yang ikut membesarkan partai sebagai pihak yang sepantasnya mendapat prioritas. Atau sebaliknya, menjatuhkan sanksi bersifat administrasi dari lemahnya kontribusi yang bersangkutan terhadap upaya pencapaian target minimum yang dihasilkannya. Hal ini berdasarkan atas berlakunya sistem reward and punishment serta kesesuaian atas penempatan seseorang dalam mengisi posisi dari setiap anggota yang sering terkait dengan the right man on the right place pada akhirnya.
Kedua, kemampuan digitalisasi pun dapat melihat sejauh mana partisipasi masyarakat terhadap efektifitas kerja-kerja politik serta program-program lainnya guna melihat setinggi apa daya serap partai terhadap kebutuhan apa yang dianggap riil untuk diangkat menjadi isu kedaerahan, hingga jika diperlukan menjadi isu nasional dalam konteks keikutsertaan partai guna memperbaiki kondisi bangsa ini. Termasuk meregistrasi sumber-sumber daya yang tersedia, sekaligus bagaimana sumber daya tersebut memperoleh solusi yang komprehensif di tingkat daerah hingga mendatangkan manfaat secara nasional. Sehingga aliran informasi yang sedemikian cepat tersebut dapat dijadikan arus informasi balik sebagai feedback dari daerah ke pusat, sehingga tidak sekedar instruksi searah dari pusat ke daerah semata. Dari cara inilah sebuah partai politik akan terlihat memiliki kematangan yang menguasai beragam persoalan daerah hingga layak menjadi rivalitas pemerintah dalam menjalankan fungsi legislasi yang diperankannya.
Ketiga, partai politik pun harus memanfaatkan digitalisasi dalam konteks memberikan dampak edukasi yang memadai terhadap budaya bangsa, bahkan secara spesifik lagi menciptakan dorongan bagi terbangunnya etik dan etos sebagai budaya partai yang sengaja dibangun untuk membedakan ciri khas dan kultur internal agar partainya tumbuh dengan perbedaan meskipun dalam koridor demokrasi yang terbuka. Cara yang dapat dilakukan dari peluang ini adalah menghadirkan orang-orang yang handal dalam menyampaikan pesan-pesan baik berupa tulisan, video konten, podcast dan lain sebagainya guna membangun narasi dan literasi yang bertujuan untuk mendapatkan antusias dan perhatian masyarakat, sehingga mendatangkan kritik dan masukkan yang lebih banyak sebagai sebuah gagasan, termasuk persoalan apa yang dapat di akomodasi, dievaluasi yang pada akhirnya menarik kesimpulan apa yang menjadi solusi terbaik bagi pengentasan persoalan tersebut.
Jika selama ini, partai politik lebih mementingkan perolehan elektoral mereka dari suara rakyat yang sebesar-besarnya dapat diraih, maka menjadi tak heran segala di upayakan oleh para kandidat legislator mereka, termasuk para calon kepala daerah yang menggunakan serangan fajar yang dilarang oleh Komisi Pemilihan umum, termasuk janji-janji kampanye yang sulit dibuktikan pembuktiannya. Maka melalui strategi diatas hal itu dapat dilakukan secara terbuka hingga masyarakat dapat mengikuti perkembangan atas dibawanya permasalahan mereka, baik di tingkat legislasi maupun informasi yang bisa diakses terhadap upaya untuk mewujudkan harapan mereka tersebut. Termasuk melihat kendala apa yang terjadi terhadap pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan mereka hingga berdampak pada viralnya suatu persoalan itu diangkat masyarakat ke publik. Inilah bentuk transparansi yang selayaknya dibangun demi mekanisme terhadap upaya kesejahteraan rakyat.
Pada akhirnya cara ini memberikan pengertian bahwa siapapun yang dipilih rakyat, sesungguhnya mereka bukanlah petugas partai semata, sebagaimana yang saat ini viral di telinga publik atas sebutan Megawati beberapa saat yang lalu, dimana sebenarnya kita perlu terlalu baper apalagi mengkritik hal itu secara mendalam. Sebab sebagai kader partai, memang sebutan itu layak disebut demikian kepada Ganjar Pranowo selaku kader partainya, namun disisi yang berbeda, kepercayaan masyarakat terhadap dirinya pun sama berlakunya pula. Bahwa legislator, kepala daerah, bahkan kepala negara sekalipun adalah petugas rakyat pula tentunya. Oleh karenanya, kita jangan terjebak pada pemahaman bahasa yang dangkal / sempit hingga secara terus-menerus mencurigai serta menjadikannya sebagai isu negatif demi menyudutkan pihak-pihak tertentu. Spelling atau artikuslasi bahasa hanya dapat dipahami dari perspektif apa atas ucapan itu sengaja dilontarkan, namun upaya tabayun guna memahami atas maksud dan tujuannya dibalik ungkapan itu, tentu harus pula dilakukan agar tidak terjebak kedalam fitnah yang merugikan siapapun.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar