Penulis : Andi Salim
Persoalan banjir dijakarta disebabkan oleh sistem drainase yang tidak siap menampung debit air dengan volume yang tinggi dari hulu pada saat musim hujan yang extreem, selain itu pembangunan gedung bertingkat turut berdampak pada penurunan permukaan tanah di samping terdapat beberapa faktor lain yang memengaruhinya.
Penurunan permukaan tanah atau land subsidence akan terus berlangsung dan menjadi faktor penyebab Rob sebagai arus balik. Rob adalah banjir air laut atau naiknya permukaan air laut. Atau bahwa Rob adalah banjir yang diakibatkan oleh air laut yang pasang yang menggenangi daratan, merupakan permasalahan yang terjadi di daerah yang lebih rendah dari muka air laut.
Banjir rob bukan persoalan yang aneh terjadi, bahkan keadaan yang sama sering terjadi di sejumlah wilayah pesisir di Indonesia, khususnya pada musim penghujan. Banjir rob adalah peristiwa meluapnya air laut ke daratan. Meningkatnya permukaan air laut sering dikaitkan dengan isu perubahan iklim. Center of Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan bahwa meningkatnya suhu global merupakan akar dari perubahan iklim yang menyebabkan permukaan air laut meningkat.
Banjir di Jakarta sudah berulang kali terjadi. Perbaikan saluran drainase dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai / DAS pada bagian hulu sudah banyak dilakukan namun banjir tetap saja terjadi. Untuk itu dilakukan analisis kejadian banjir Jakarta tanggal 1 Januari 2020 berbasis DAS. Seperti DAS Ciliwung dan Cisadane. Disamping curah hujan tinggi, penyebab banjir di Jakarta yang utama adalah berkurangnya daerah resapan air.
Luas pemukiman di DAS Ciliwung mencapai 51% dari luas DAS sehingga sebagian besar air hujan langsung menuju permukaan daratan. Kondisi ini diperparah dengan letak Jakarta yang merupakan dataran rendah yang mudah terkena banjir. Sehingga walau curah hujan tidak lebat, namun rendahnya daya serap akan menyebabkan banjir di Jakarta. Oleh karenanya jika curah hujan deras dan berlangsung lama, maka banjir dipastikan menyebar di beberapa wilayah dijakarta.
Debit volume air yang deras tentu tidak dapat mengharapkan sekedar kemampuan pompa semata, pencegahan dari masuknya air laut ke darat pun harus diatasi dan menjadi bagian dalam mengatasi banjir Jakarta tersebut. Maka jawaban dari itu adalah dibangunnya tanggul raksasa atau Giant See Wall. Pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall itu, saat ini sedang memasuki tahap pelaksanaan.
Kementerian PUPR sedang mematangkan kajian pembangunan proyek giant sea wall. Kajian mencakup aspek teknis, lingkungan, sosial, dan pembiayaan. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari situs resmi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), proyek ini ditaksir menelan biaya Rp 200 hingga 600 triliun. Keseluruhan fase proyek tersebut mencakup pembangunan tanggul raksasa di Teluk Jakarta sebagai cara untuk melindungi ibu kota negara dari bencana banjir.
Terkait pembangunan giant sea wall yang saat ini sedang dikerjakan, dan bersifat multi years tersebut memiliki tiga tahap yang harus diselesaikan. Tahap I dilakukan penguatan tanggul dalam waktu jangka pendek jika terjadi abrasi. Tahap II dilakukan pengukuran dan tahap III pembangunan besar tanggul raksasa yang merupakan finalisasi dari proyek ini yang akan rampung pada tahun 2025 namun penyelesaian keseluruhan memakan waktu 10~15 tahun setelahnya. Rencananya tanggul raksasa yang akan dibangun memiliki panjang 32 kilometer. Tentu saja ini menjadi jawaban serius atas penanggulangan banjir Jakarta yang sudah akut dan terbukti dibanyak negara sangat ampuh.
Namun dibalik proyek besar itu, tentu warga Jakarta akan menghadapi Pilgub pada 2022 mendatang, sebelum proyek itu dapat digunakan. Maka harus cermat memilih gubernur yang semestinya bertumpu pada kemampuan managementnya. Lagi pula kita harus tahu siapa pemilik gagasan pembangunan Giant See Wall tersebut dan strategy penanggulangan banjir Jakarta ini, sebab jika anda keliru maka kemungkinan anda salah dalam menyebutkan gubernur mana yang secara cerdas memunculkan proyek ini hingga terealisasi.
#Toleransiindonesia #Andisalim #jkwguard
Mari kita suarakan
Penurunan permukaan tanah atau land subsidence akan terus berlangsung dan menjadi faktor penyebab Rob sebagai arus balik. Rob adalah banjir air laut atau naiknya permukaan air laut. Atau bahwa Rob adalah banjir yang diakibatkan oleh air laut yang pasang yang menggenangi daratan, merupakan permasalahan yang terjadi di daerah yang lebih rendah dari muka air laut.
Banjir rob bukan persoalan yang aneh terjadi, bahkan keadaan yang sama sering terjadi di sejumlah wilayah pesisir di Indonesia, khususnya pada musim penghujan. Banjir rob adalah peristiwa meluapnya air laut ke daratan. Meningkatnya permukaan air laut sering dikaitkan dengan isu perubahan iklim. Center of Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan bahwa meningkatnya suhu global merupakan akar dari perubahan iklim yang menyebabkan permukaan air laut meningkat.
Banjir di Jakarta sudah berulang kali terjadi. Perbaikan saluran drainase dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai / DAS pada bagian hulu sudah banyak dilakukan namun banjir tetap saja terjadi. Untuk itu dilakukan analisis kejadian banjir Jakarta tanggal 1 Januari 2020 berbasis DAS. Seperti DAS Ciliwung dan Cisadane. Disamping curah hujan tinggi, penyebab banjir di Jakarta yang utama adalah berkurangnya daerah resapan air.
Luas pemukiman di DAS Ciliwung mencapai 51% dari luas DAS sehingga sebagian besar air hujan langsung menuju permukaan daratan. Kondisi ini diperparah dengan letak Jakarta yang merupakan dataran rendah yang mudah terkena banjir. Sehingga walau curah hujan tidak lebat, namun rendahnya daya serap akan menyebabkan banjir di Jakarta. Oleh karenanya jika curah hujan deras dan berlangsung lama, maka banjir dipastikan menyebar di beberapa wilayah dijakarta.
Debit volume air yang deras tentu tidak dapat mengharapkan sekedar kemampuan pompa semata, pencegahan dari masuknya air laut ke darat pun harus diatasi dan menjadi bagian dalam mengatasi banjir Jakarta tersebut. Maka jawaban dari itu adalah dibangunnya tanggul raksasa atau Giant See Wall. Pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall itu, saat ini sedang memasuki tahap pelaksanaan.
Kementerian PUPR sedang mematangkan kajian pembangunan proyek giant sea wall. Kajian mencakup aspek teknis, lingkungan, sosial, dan pembiayaan. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari situs resmi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), proyek ini ditaksir menelan biaya Rp 200 hingga 600 triliun. Keseluruhan fase proyek tersebut mencakup pembangunan tanggul raksasa di Teluk Jakarta sebagai cara untuk melindungi ibu kota negara dari bencana banjir.
Terkait pembangunan giant sea wall yang saat ini sedang dikerjakan, dan bersifat multi years tersebut memiliki tiga tahap yang harus diselesaikan. Tahap I dilakukan penguatan tanggul dalam waktu jangka pendek jika terjadi abrasi. Tahap II dilakukan pengukuran dan tahap III pembangunan besar tanggul raksasa yang merupakan finalisasi dari proyek ini yang akan rampung pada tahun 2025 namun penyelesaian keseluruhan memakan waktu 10~15 tahun setelahnya. Rencananya tanggul raksasa yang akan dibangun memiliki panjang 32 kilometer. Tentu saja ini menjadi jawaban serius atas penanggulangan banjir Jakarta yang sudah akut dan terbukti dibanyak negara sangat ampuh.
Namun dibalik proyek besar itu, tentu warga Jakarta akan menghadapi Pilgub pada 2022 mendatang, sebelum proyek itu dapat digunakan. Maka harus cermat memilih gubernur yang semestinya bertumpu pada kemampuan managementnya. Lagi pula kita harus tahu siapa pemilik gagasan pembangunan Giant See Wall tersebut dan strategy penanggulangan banjir Jakarta ini, sebab jika anda keliru maka kemungkinan anda salah dalam menyebutkan gubernur mana yang secara cerdas memunculkan proyek ini hingga terealisasi.
#Toleransiindonesia #Andisalim #jkwguard
Mari kita suarakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar