Jumat, 20 Januari 2023

DEMOKRASI JUAL BELI DIBALIK KEMISKINAN RAKYAT YANG BERKARAT


 20/09/2022

DEMOKRASI JUAL BELI DIBALIK KEMISKINAN RAKYAT YANG BERKARAT
Penulis : Andi Salim

Jika saat ini anda sering kehabisan uang, hal itu wajar oleh karena sumber pendapatannya terbatas dan hanya berasal dari gaji, upah atau hasil dagangan yang berskala kecil sebagai sumber mata pencaharian sehari-hari. Namun tahukah anda bahwa seorang kepala daerah dimana pun mereka menduduki kursinya, mereka tidak sedetik pun pernah kehabisan uangnya, oleh karena sumber pemasukkannya yang sedemikian banyak dan bertumpuk-tumpuk kedalam deretan antrian. Tentu saja sumbernya tak lain dari kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada jabatannya hingga dengan berbagai cara bisa mereka tukarkan dengan uang sepanjang tak terpantau hukum.

Pendapatan pemerintah dewasa ini semakin meningkat, tidak saja pada APBN sebagai kas induk, namun juga terhadap APBD daerah, hal itu terlihat dari sisi PAD yang terus merangkak naik dari tahun ke tahun. Setelah terbukanya arus barang dan jasa dari kawasan yang selama ini terisolir, dimana sekarang sudah memperoleh dampak keuntungan dibalik pembangunan sarana jalan, waduk, pelabuhan, airport, dan Infrastruktur lain yang menunjang pengembangan program UMKM dan pemberdayaan ekonomi lainnya. Maka tak heran, fasilitas seperti kendaraan dan kantor-kantor pemerintahan pun terkesan lebih mentereng, termasuk gaji ASN yang saat ini diatas rata-rata UMR serta masa pansiun mereka yang menjadi tanggungan negara pula.

Minat masyarakat pun naik untuk ikut berpartisipasi guna memperebutkan kursi jabatan kepala daerah, mereka tidak saja hadir dari kalangan pengusaha, artis, birokrat, akademisi, bahkan dari kalangan agama yang selama ini merasakan sulitnya menambah pundi-pundi kas pribadinya, sementara ada jabatan yang tersedia untuk diperebutkan siapapun dengan cara dan modal yang murah. Sebab dengan hanya mempersiapkan 1% dari total pendapatan APBD selama 5 tahun, anda akan duduk sebagai pejabat, oleh karena semuanya dapat dibeli dengan uang. Termasuk masyarakat pemilih sekalipun yang dengan mudahnya menjual hak suaranya hanya demi memperoleh uang, dibalik kemiskinannya yang berkarat.

Pemberitaan Detiknews tertanggal 18 mei 2021 memberitakan, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, yang mengatakan ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang terjerat kasus korupsi dari jumlah pejabat Indonesia yang hanya memiliki walikota dan bupati sebanyak 514 pejabat, serta Gubernur yang tersebar di 34 provinsi. Sehingga yang tersisa praktis hanya segelintir pejabat saja yang jujur. Berdasarkan temuan perkaranya terdapat 4 jenis yang acapkali dilakukan oleh kepala daerah, diantaranya, kasus pengadaan barang/jasa yang dibiayai APBN/APBD, penyalahgunaan anggaran, perijinan sumber daya alam yang tidak sesuai dengan ketentuan, serta kasus suap yang tentu saja mendominasi.

Namun, apakah peserta pilkada ini akan surut dan cenderung menurun, tentu tidak. Walau ada beberapa daerah dimana peserta Pilkadanya melawan kotak kosong, hal itu disebabkan semakin kokohnya politik dinasty yang berkembang untuk mengangkangi kekuasaan itu agar tidak diperebutkan oleh pihak diluar kelompoknya. Maka tak heran politik intimidasi dan simbol-simbol oligarki pun merebak dikawasan tersebut. Hingga tak jarang basis politiknya mengakar tidak saja pada Camat dan Lurah / atau Kepala Desa, tapi bahkan turun hingga ke RT / RW yang dikuasai oleh kelompoknya. Kondisi inilah yang menggeser sistem demokrasi politik murni, kepada politik demokrasi jual beli / politik transaksi.

Aksi tangkap tangan KPK yang menampakkan kualitas mental pejabat yang rendah, serta di imbangi oleh gairah partisipasi politik yang semu dibalik kompensasi aksi dukung mendukung semakin meramaikan jagad transaksi jual beli jabatan yang digunakan sebagai peluang pengembalian modal investasi politik yang terlanjur ditanamkan. Semua ini menjadi dinamika atas surutnya perhatian pemerintah daerah yang semestinya fokus dalam memberantas jumlah masyarakat miskin. Apalagi mereka di dukung oleh tokoh-tokoh daerah sebagai kekuatan mitra politik dinasty. Mereka tidak saja memakan anggaran yang tersedia, namun tidak segan-segan pula menelan apa yang semestinya diterima rakyat jelata.

Buntut dari fakta tersebut, Penegakan Hukum pun terseret kedalam arus pergeseran kepentingan yang semakin menajamkan arah pemberlakuan hukum kepada rakyat kecil yang pada akhirnya akan membiarkan praktek pungli dan prosedur pelayanan berbiaya tinggi. Sehingga kenyataan itu tak lagi terlihat sebagai kejahatan. Bahkan hadirnya kalangan tokoh agama ke dalam pusaran politik semakin memperparah keadaan, dimana tanpa malu-malu lagi, golongan agama tersebut ikut mengendorse gerakan politik dinasty, termasuk menyediakan sarana dan fasilitas ibadahnya untuk dijadikan ruang-ruang kampanye yang ditujukan memenangkan calon yang mereka usung.

Hadirnya Rektor dan pimpinan Perguruan Tinggi se-yogjakarta dalam menyampaikan seruan dan keprihatinannya yang diwujudkan sebagai bentuk doa bersama. Dimana seruan moral itu ditujukan demi memperbaiki tatanan demokrasi yang bangsa ini miliki agar suri tauladan serta kejujuran itu dikembalikan sebagai wujud dasar pengabdian terhadap fungsi jabatan publik yang diemban oleh siapapun. 30 rektor Perguruan tinggi tersebut menyatakan harapannya agar pelaksanaan pemilu yang berkualitas dan demokrasi bermartabat. Tentu saja hal ini melihat dari kenyataan terbelahnya masyarakat atas berbagai persoalan yang mengemuka dan semakin sulit diurai.

Ditetapkannya lembaga-lembaga independen yang semestinya menajamkan integritas dan arah tujuan demokrasi bangsa ini, justru tidak sesuai harapan, bahkan lembaga-lembaga itu semakin menampakkan sisi perbedaan dan semakin terkotak-kotak dalam menentukan kemana dan bagaimana idealnya sistem demokrasi kita. KPU, Panwaslu, Mahkamah Konstitusi, serta lembaga pemerintah pun tidak menampakkan kepastian pada legal state yang semestinya dianut. Apalagi pertentangan suara partai dan hiruk pikuk relawan, termasuk pertentangan antara pemerintah dengan kelompok budaya dan kelompok agama.

Atas ketidakpastian semacam itu, maka tak jarang gagalnya pelaksanaan demokrasi Indonesia pun diarahkan kepada pemerintah yang semestinya bukan bagian dari kewenangannya, termasuk pada sisi penegakan hukum yang sesungguhnya merupakan wilayah independen dari lembaga masing-masing. Maka pembagian kekuasaan dan kewenangan dari pemisahan lembaga independen itu terkesan sia-sia oleh karena kelemahan mereka tetap diarahkan pada pemerintah juga pada akhirnya. Sehingga pasal-pasal dalam UUD45 pun dapat diartikan secara sepihak dengan alasan bahwa ada bagian yang dianggap multi tafsir sebagai ruang perdebatannya.

Semoga tulisan ini bermanfaat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...