KALANGAN ISLAM YANG MENOLAK TATA KELOLA SISTEM KHILAFAH
Penulis : Andi Salim
Dunia islam indonesia dihebohkan oleh segelintir orang yang menganggap bahwa sistem khilafah harus ditegakkan di Indonesia, namun ruang pemikiran untuk itu direspon oleh berbagai kalangan, termasuk beberapa tokoh sentral di negeri ini yang menganggapnya tidak wajib, bahkan banyak pendapat ulama yang mengatakan sistem ini memiliki banyak sumber kelemahan hingga tak satu negara pun mengikuti prinsip penegakan sistem ini untuk diterapkan ke dalam tata kelola negaranya, bahkan tak satu pun negara mempertahankan sistem ini, sekaligus meninggalkannya guna memilih sistem demokrasi yang lebih terbuka serta menyerap partisipasi masyarakat kedalam sistem pemerintahan mereka.
Bagi kalangan penganut islam garis keras, sistem ini dianggap memberikan peluang bagi penegakkan syariah islam dengan segenap tata kelolanya yang dianggap sesuai dengan hukum islam. Padahal dibalik itu sesungguhnya hukum ini bukanlah sistem yang menjadi kewajiban untuk diterapkan, apalagi terhadap negara yang memiliki multi etnis dan keyakinan akan pentingnya toleransi serta penerapan ruang publik yang harus dikendalikan negara. Bahkan para kalangan kelompok garis keras yang mengusung gagasan penegakan Khilafah ini mendapat tantangan dari kalangan sesama umat islam itu sendiri, bahkan sikap penolakkannya tersebut sengaja mereka sampaikan melalui mimbar-mimbar keagamaan pula.
Sederet nama yang menentang terhadap gagasan ini, sebut saja salah satunya dari apa yang disampaikan oleh Prof DR Mahfud MD selaku Menko Polhukkam, beliau bahkan meminta para penggagas itu untuk menunjukkan dimana letak ayat dan perintah agama yang mewajibkan sistem Khilafah ini ditegakkan. Termasuk membuktikan dasar penegakkannya melalui ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab Al Qur'an sebagai rujukan penerapan hukum tata kelola negata ditengah komunitas muslim republik ini yang menjamur bahkan disetiap pelosok negeri ini berada. Hal senada pun disampaikan oleh Gusdur selaku negarawan bangsa ini, sekaligus merupakan tokoh islam terkemuka dunia yang merupakan cucu atas pendiri Nahdlatul Ulama sebagai Ormas Islam terbesar hingga saat ini.
Keinginan kalangan garis keras ini sering menciptakan polemik bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara ditengah kita semua. Sifat fanatisme yang radikal memang dimaklumi bagi munculnya halusinasi akan penegakkan syariat islam secara berlebihan. Di satu sisi mereka ingin memurnikan ajaran islam yang sesungguhnya. Namun disisi lain, mereka pun sibuk mengambil imbuhan yang sebenarnya sistem khilafah bukan terjadi pada era Rosul, melainkan pada era kepemimpinan Bani Umayyah sebagai kekhalifahan Islam pertama setelah Khulafaur Rasyidin atau kekhalifahan kedua setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW yang didirikan pada 661 Masehi. Artinya, penerapannya pun tidak berasal dari Nabi Muhammad sebagaimana mereka yakini.
Penegasan dari apa yang disampaikan Mahfud MD pun menjamin bahwa tidak ada sistem negara khilafah dalam Islam, yang ada itu prinsip khilafah, dan itu tertuang dalam Al Quran, tandasnya. Istilah khilafah pun menjadi tenggelam, dan mulai mengemuka kembali setelah ISIS mendeklarasikan kekhalifahan dunia di bawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi pada 2014. Meskipun begitu, eksistensi kekhalifahan Abu Bakar al-Baghdadi tidak mendapat respon oleh kalangan umat Islam di dunia. Sebab banyak yang menyebutkan bahwa ISIS sebagai organisasi teror karena kegiatannya yang menggunakan kekerasan dan pembunuhan dari tangan mereka yang berdarah-darah, termasuk kepada sesama muslim yang dianggap mereka tak sehaluan dengan gerakannya.
Pernyataan KH Ma'ruf Amin menilai paham khilafah tidak bisa diterapkan di Indonesia. Dengan penduduk yang sangat majemuk faham ini akan tertolak secara otomatis. Jika dipaksakan, akan berpotensi terjadi benturan yang berpotensi perang saudara. Melalui NU Online dari Direktur Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) Robi Sugara memaparkan, bahwa Khilafah ditolak di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dari fakta bahwa organisasi pengusung khilafah oleh Hizbut Tahrir ini pun ditolak di dua puluh negara lebih, termasuk Indonesia. Bahkan Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Prof Dr M Atho Mudzhar mengatakan, konsep Khilafah yang diusung oleh kelompok Islam radikal seperti Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) dan Hizbut Tahrir (HT), bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Islam seakan dilombakan terhadap penguasaan politik dari kiprahnya yang semestinya menjaga kerukunan. Para pelakunya tentu tak segan-segan membenturkan berbagai aspek kepentingan termasuk didalam memajukan dunia islam sendiri. Sebab bagi mereka bukan persoalan agamanya yang menjadi inti terhadap perjuangan mereka, namun seberapa besar porsi kekuasaan yang dapat mereka ambil sebagai manfaatnya. Apalagi umat islam yang terseret pun bukan semata-mata dari golongan mereka melainkan ajakan ukhwah islamiyah yang didasarkan kepada sifat fanatisme keagamaan yang melarutkan berbagai golongan yang berbeda untuk meleburkan diri dengan mengatasnamakan pengakuan akan keimanan yang sama.
Lalu pertanyaan yang timbul dibenak kita, untuk siapa perjuangan itu sesungguhnya dibalik kemenangan yang sekiranya diperolehnya nanti. Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa perjuangan Islam sesungguhnya menuju pada muaranya yaitu wasathiyah yang menerapkan sikap adil, toleran, dan moderat yang ditunjukkan oleh seorang muslim sebagai representasi umat pilihan Allah swt. Implementasi kearifan dan keadilan tersebut harus disesuaikan dengan konteks masyarakat yang ada. Pada berbagai hikayat hidupnya, baik Rosul mau pun para khulafaur Rasyidin sekalipun tidak pernah menampakkan diri mereka sebagai sosok yang haus akan kekuasaan. Apalagi dengan sengaja mengambil manfaat dari kekuasaan itu sendiri. Para pengusung khilafah tersebut tidak lain hanya sekelompok orang yang ingin memanfaatkan golongan islam lain yang bersedia mendukung upayanya.
Bagaimana pun masyarakat dunia telah mengetahui bahwa mereka bukanlah dari golongan Aswaja sebagaimana Muktamar Internasional Ahlussunnah di Chechnya, dimana para peserta konferensi itu mengeluarkan fatwa yang secara resmi menegaskan bahwa aliran Wahabi bukan bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Fakta ini membuktikan bahwa apapun tindakan yang mereka lakukan, dalil apapun yang mereka sampaikan tentu banyak yang bertentangan dari dalil-dalil yang dipegang teguh oleh golongan Ahlussunnah Wal Jamaah. Namun sayangnya, masih banyak umat islam yang masih belum memahami perbedaan terhadap hal ini oleh karena pemahamannya terhadap alirannya dan penguasaan mazhab-mazhab sebagai rujukannya yang rendah. Sehingga kelompok ini nyaris sulit dibedakan terhadap golongan / aliran mereka sendiri.
Bagi kalangan penganut islam garis keras, sistem ini dianggap memberikan peluang bagi penegakkan syariah islam dengan segenap tata kelolanya yang dianggap sesuai dengan hukum islam. Padahal dibalik itu sesungguhnya hukum ini bukanlah sistem yang menjadi kewajiban untuk diterapkan, apalagi terhadap negara yang memiliki multi etnis dan keyakinan akan pentingnya toleransi serta penerapan ruang publik yang harus dikendalikan negara. Bahkan para kalangan kelompok garis keras yang mengusung gagasan penegakan Khilafah ini mendapat tantangan dari kalangan sesama umat islam itu sendiri, bahkan sikap penolakkannya tersebut sengaja mereka sampaikan melalui mimbar-mimbar keagamaan pula.
Sederet nama yang menentang terhadap gagasan ini, sebut saja salah satunya dari apa yang disampaikan oleh Prof DR Mahfud MD selaku Menko Polhukkam, beliau bahkan meminta para penggagas itu untuk menunjukkan dimana letak ayat dan perintah agama yang mewajibkan sistem Khilafah ini ditegakkan. Termasuk membuktikan dasar penegakkannya melalui ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab Al Qur'an sebagai rujukan penerapan hukum tata kelola negata ditengah komunitas muslim republik ini yang menjamur bahkan disetiap pelosok negeri ini berada. Hal senada pun disampaikan oleh Gusdur selaku negarawan bangsa ini, sekaligus merupakan tokoh islam terkemuka dunia yang merupakan cucu atas pendiri Nahdlatul Ulama sebagai Ormas Islam terbesar hingga saat ini.
Keinginan kalangan garis keras ini sering menciptakan polemik bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara ditengah kita semua. Sifat fanatisme yang radikal memang dimaklumi bagi munculnya halusinasi akan penegakkan syariat islam secara berlebihan. Di satu sisi mereka ingin memurnikan ajaran islam yang sesungguhnya. Namun disisi lain, mereka pun sibuk mengambil imbuhan yang sebenarnya sistem khilafah bukan terjadi pada era Rosul, melainkan pada era kepemimpinan Bani Umayyah sebagai kekhalifahan Islam pertama setelah Khulafaur Rasyidin atau kekhalifahan kedua setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW yang didirikan pada 661 Masehi. Artinya, penerapannya pun tidak berasal dari Nabi Muhammad sebagaimana mereka yakini.
Penegasan dari apa yang disampaikan Mahfud MD pun menjamin bahwa tidak ada sistem negara khilafah dalam Islam, yang ada itu prinsip khilafah, dan itu tertuang dalam Al Quran, tandasnya. Istilah khilafah pun menjadi tenggelam, dan mulai mengemuka kembali setelah ISIS mendeklarasikan kekhalifahan dunia di bawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi pada 2014. Meskipun begitu, eksistensi kekhalifahan Abu Bakar al-Baghdadi tidak mendapat respon oleh kalangan umat Islam di dunia. Sebab banyak yang menyebutkan bahwa ISIS sebagai organisasi teror karena kegiatannya yang menggunakan kekerasan dan pembunuhan dari tangan mereka yang berdarah-darah, termasuk kepada sesama muslim yang dianggap mereka tak sehaluan dengan gerakannya.
Pernyataan KH Ma'ruf Amin menilai paham khilafah tidak bisa diterapkan di Indonesia. Dengan penduduk yang sangat majemuk faham ini akan tertolak secara otomatis. Jika dipaksakan, akan berpotensi terjadi benturan yang berpotensi perang saudara. Melalui NU Online dari Direktur Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) Robi Sugara memaparkan, bahwa Khilafah ditolak di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dari fakta bahwa organisasi pengusung khilafah oleh Hizbut Tahrir ini pun ditolak di dua puluh negara lebih, termasuk Indonesia. Bahkan Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Prof Dr M Atho Mudzhar mengatakan, konsep Khilafah yang diusung oleh kelompok Islam radikal seperti Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) dan Hizbut Tahrir (HT), bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Islam seakan dilombakan terhadap penguasaan politik dari kiprahnya yang semestinya menjaga kerukunan. Para pelakunya tentu tak segan-segan membenturkan berbagai aspek kepentingan termasuk didalam memajukan dunia islam sendiri. Sebab bagi mereka bukan persoalan agamanya yang menjadi inti terhadap perjuangan mereka, namun seberapa besar porsi kekuasaan yang dapat mereka ambil sebagai manfaatnya. Apalagi umat islam yang terseret pun bukan semata-mata dari golongan mereka melainkan ajakan ukhwah islamiyah yang didasarkan kepada sifat fanatisme keagamaan yang melarutkan berbagai golongan yang berbeda untuk meleburkan diri dengan mengatasnamakan pengakuan akan keimanan yang sama.
Lalu pertanyaan yang timbul dibenak kita, untuk siapa perjuangan itu sesungguhnya dibalik kemenangan yang sekiranya diperolehnya nanti. Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa perjuangan Islam sesungguhnya menuju pada muaranya yaitu wasathiyah yang menerapkan sikap adil, toleran, dan moderat yang ditunjukkan oleh seorang muslim sebagai representasi umat pilihan Allah swt. Implementasi kearifan dan keadilan tersebut harus disesuaikan dengan konteks masyarakat yang ada. Pada berbagai hikayat hidupnya, baik Rosul mau pun para khulafaur Rasyidin sekalipun tidak pernah menampakkan diri mereka sebagai sosok yang haus akan kekuasaan. Apalagi dengan sengaja mengambil manfaat dari kekuasaan itu sendiri. Para pengusung khilafah tersebut tidak lain hanya sekelompok orang yang ingin memanfaatkan golongan islam lain yang bersedia mendukung upayanya.
Bagaimana pun masyarakat dunia telah mengetahui bahwa mereka bukanlah dari golongan Aswaja sebagaimana Muktamar Internasional Ahlussunnah di Chechnya, dimana para peserta konferensi itu mengeluarkan fatwa yang secara resmi menegaskan bahwa aliran Wahabi bukan bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Fakta ini membuktikan bahwa apapun tindakan yang mereka lakukan, dalil apapun yang mereka sampaikan tentu banyak yang bertentangan dari dalil-dalil yang dipegang teguh oleh golongan Ahlussunnah Wal Jamaah. Namun sayangnya, masih banyak umat islam yang masih belum memahami perbedaan terhadap hal ini oleh karena pemahamannya terhadap alirannya dan penguasaan mazhab-mazhab sebagai rujukannya yang rendah. Sehingga kelompok ini nyaris sulit dibedakan terhadap golongan / aliran mereka sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar