Penulis : Andi Salim
Kelompok Nasionalisme jangan pernah menganggap enteng eksistensi politik identitas. Hal itu pernah mereka buktikan setidaknya pada pilkada DKI Jakarta disampai beberapa kemenangan pilkada daerah lainnya yang saat ini pun masih dikuasai oleh mereka. Apalagi gabungan 3 partai politik yang disinyalir akan memperkuat barisan itu, dimana mereka memiliki jaringan yang sangat luas dan bersifat masif hingga pada dua musim pemilu belakangan ini mereka berhasil mengantongi di kisaran 45% dari jumlah pemilih suara, walau pada pemilu 2019 angka pemilih mengalami kepesertaan tertinggi sejak era reformasi yang menembus sekitar 80,76% suara pemilih dengan menyisakan 19,24% sebagai golputnya. Wilayah penyebarannya pun dapat dilihat dari perolehan mereka pada 2014 dan 2019 lalu, sebagaimana informasi KPU pusat.
Perlu penulis sampaikan bahwa kemenangan Jokowi pada pemilu 2014 bukanlah dominasi atas koalisi partai politik. Sehingga ketergantungan pada partai politik tidak bisa menjamin kemenangan seorang capres, sekalipun mereka bergerak secara serentak diberbagai daerah. Hal itu dapat dilihat dari angkat peraihan suara partai politik yang cenderung tidak mengalami perubahan dari posisi peraihan suara mereka pada pemilu waktu itu. Sebab Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Jokowi-JK saat itu hanya terdiri dari 5 partai dengan perolehan suara mereka seperti Partai Nasdem 8.402.812, Partai PKB 11.298.957, PDI Perjuangan 23.681.471, Partai Hanura 6.579.498, Partai PKPI 1.143.094. Dimana total suara partai yang berhasil dihimpun hanya berkisar 51.105.832 suara saja.
Sedangkan berdasarkan informasi Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai peraih suara terbanyak pada Pemilu Presiden 2014 dengan meraih suara sebanyak 70.997.833 suara atau 53,15 persen. Dengan selisih suara sebanyak 8.421.389 suara dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang meraih 62.576.444 suara atau 46,85 persen. Adanya selisih sebanyak 19.892.001 suara dari perolehan 5 partai terhadap suara pilpres yang diperoleh Jokowi-JK menampakkan bahwa jumlah tersebut merupakan keikutsertaan masyarakat yang mendukung dirinya melalui ormas dan partisipasi kelompok tertentu diluar gerakan partai politik tersebut. Tentu saja citra politik semacam ini menampakkan bahwa animo pilpres menjadi daya tarik tersendiri diluar infrastruktur partai yang tersedia.
Pemandangan sebaliknya pun mencerminkan bahwa Koalisi Merah Putih sebagai kelompok partai yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dimana pembentukannya terdiri dari Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar, dan merupakan partai penguasa jumlah kursi di DPR-RI waktu itu, tidak mampu berbuat banyak untuk memenangkan pilpres pada 2014 tersebut. Artinya, kemampuan partai mutlak bukanlah pemain tunggal dalam memenangkan seorang capres dan cawapres yang mereka inginkan. Sehingga basis pertarungan diluar instrumen partai politik merupakan faktor penentu kemenangan bagi masing-masing pihak. Disinilah politik identitas akan dimainkan dan pada sisi lain animo nasionalis kebangsaan pun di dongkrak sedemikian rupa guna menyadarkan masyarakat atas pentingnya memenangkan capres Indonesia ke depan.
Masyarakat harus menyadari bahwa terdapat wilayah-wilayah yang memiliki kepadatan penduduk khususnya wilayah pulau jawa dan beberapa kawasan perkotaan padat lainnya. Namun di bagian lain nyatanya masih sulit terjangkau oleh pendistribusian surat dan kotak suara yang jauh dari tangan-tangan kekuasaan dan kewenangan daerah guna melakukan kecurangannya. Sehingga faktor kecurangan pemilu pun bukan sesuatu yang nihil dari setiap KPPS yang tersebar disetiap penjuru tanah air, oleh karena kurangnya ketersediaan saksi-saksi dari setiap partai politik dalam memastikan pelaksanaan azas jurdil bebas dan rahasia. Walau angka golput yang terus turun dari pemilu 2004 berkisar 23,30% dan pada pemilu 2009 27,45%, atau pada pemilu 2014 sekitar 30,42% hingga pemilu 2019 menjadi 19,24%, namun bukan berarti tidak terjadi kecurangan sama sekali.
Pada pemilu 2019 saja, dari padatnya penduduk jawa yang terdiri dari 5 Provinsi selain Jogja, jokowi hanya memenangkan pilpresnya pada 2 Provinsi saja yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Sedangkan 3 Provinsi lainnya dimenangkan oleh Prabowo Subianto yaitu Provinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Ada pun untuk wilayah sumatera nyaris sepenuhnya dimenangkan oleh Prabowo kecuali Provinsi Sumatera Utara, Riau dan Lampung. Sedangkan dominasi jokowi pada daerah lain seperti Papua merupakan daerah dengan jumlah suara sah 3.333.065, dimana Jokowi meraih suara 3.021.713 yang nyaris 10 kali lipat dari perolehan Prabowo yang hanya 311.352 suara saja. Termasuk dominasi beliau di pulau Kalimantan yang nyaris sepenuhnya dimenangkan olehnya kecuali Provinsi Kalimantan Selatan yang dimenangkan oleh lawannya.
Kelompok Nasionalis jangan terlalu yakin bahwa pilpres 2014 nanti sudah pasti akan dimenangkan oleh kubu ini, jika melihat perolehan masing-masing kubu hanya terpaut antara kisaran 45% dan 55% saja. Artinya jika mereka berhasil memperoleh kebaikan 5~6% dari jumlah pilpres 2014 dan 2019 lalu, tidak mustahil hal ini akan mencengangkan kita semua. Pundi-pundi suara pemilih yang berasal dari pulau Jawa mempunyai dominasi atas eskalasi kemenangan pilpres nanti, artinya siapa yang menguasai jawa, maka dialah yang diprediksi akan memenangkan kontestasi pada pertarungan tersebut. Walau pemilih diluar jawa menjadi elemen penting untuk dikuasai manakala selisih angka pemilih terhadap dua pasangan capres itu sama-sama mendekati 50% pada akhirnya.
Apalagi ilustrasi angka dari total suara pemilih atas keseluruhan pulau Sumatera yang jika digabungkan untuk selanjutnya di bandingkan dengan provinsi jawa timur, nyaris memiliki selisih hanya dikisaran 1 juta suara saja. Hal ini menampakkan bahwa pemusatan kekuatan bagi pendukung para capres akan tertuju pada bagaimana agar pulau Jawa dijadikan sasaran wilayah kemenangannya. Melalui peranan politik identitas yang dipompakan atas penduduk Indonesia yang mayoritas beragama islam, tentu akan berdampak signifikan terhadap naiknya dukungan kearah mereka, disamping kerusakan habitat sosial kultural yang mengalami ketegangan ditengah masyarakat pula tentunya. Oleh karenanya, kelompok nasionalisme harus pandai-pandai berikhtiar agar bangsa ini tetap dimenangkan oleh barisan kebhinnekaan yang merajut pada kesatuan di dalam wadah NKRI seutuhnya.
Jika dimasa kepemimoinan Jokowi ada banyak partai dan ormas yang bersedia meletakkan kepentingan mereka diatas kepentingan bangsa dan negara saat ini, walau tidak 100% namun setidaknya dukungan itu terlihat dari menguat dan menyatunya mereka yang mengambil bagian ke dalam instrumen pemerintahannya. Sebab bagaimana pun, masuknya mereka ke dalam instrumen pemerintahan tidak boleh diartikan hanya mengambil kewenangan atas kekuasaan semata, akan tetapi sifat partisipatif mereka pun merupakan peran positif yang harus pula kita apresiasi bersama. Sehingga, apakah hal yang sama akan terjadi, manakala fanatisme beragama itu ditiupkan untuk diperankan oleh pelaku politik identitas yang pada akhirnya memiliki kecenderungan bersikap intoleransi guna menjauhkan kelompok yang berbeda atas golongan mereka.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Perlu penulis sampaikan bahwa kemenangan Jokowi pada pemilu 2014 bukanlah dominasi atas koalisi partai politik. Sehingga ketergantungan pada partai politik tidak bisa menjamin kemenangan seorang capres, sekalipun mereka bergerak secara serentak diberbagai daerah. Hal itu dapat dilihat dari angkat peraihan suara partai politik yang cenderung tidak mengalami perubahan dari posisi peraihan suara mereka pada pemilu waktu itu. Sebab Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Jokowi-JK saat itu hanya terdiri dari 5 partai dengan perolehan suara mereka seperti Partai Nasdem 8.402.812, Partai PKB 11.298.957, PDI Perjuangan 23.681.471, Partai Hanura 6.579.498, Partai PKPI 1.143.094. Dimana total suara partai yang berhasil dihimpun hanya berkisar 51.105.832 suara saja.
Sedangkan berdasarkan informasi Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai peraih suara terbanyak pada Pemilu Presiden 2014 dengan meraih suara sebanyak 70.997.833 suara atau 53,15 persen. Dengan selisih suara sebanyak 8.421.389 suara dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang meraih 62.576.444 suara atau 46,85 persen. Adanya selisih sebanyak 19.892.001 suara dari perolehan 5 partai terhadap suara pilpres yang diperoleh Jokowi-JK menampakkan bahwa jumlah tersebut merupakan keikutsertaan masyarakat yang mendukung dirinya melalui ormas dan partisipasi kelompok tertentu diluar gerakan partai politik tersebut. Tentu saja citra politik semacam ini menampakkan bahwa animo pilpres menjadi daya tarik tersendiri diluar infrastruktur partai yang tersedia.
Pemandangan sebaliknya pun mencerminkan bahwa Koalisi Merah Putih sebagai kelompok partai yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dimana pembentukannya terdiri dari Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar, dan merupakan partai penguasa jumlah kursi di DPR-RI waktu itu, tidak mampu berbuat banyak untuk memenangkan pilpres pada 2014 tersebut. Artinya, kemampuan partai mutlak bukanlah pemain tunggal dalam memenangkan seorang capres dan cawapres yang mereka inginkan. Sehingga basis pertarungan diluar instrumen partai politik merupakan faktor penentu kemenangan bagi masing-masing pihak. Disinilah politik identitas akan dimainkan dan pada sisi lain animo nasionalis kebangsaan pun di dongkrak sedemikian rupa guna menyadarkan masyarakat atas pentingnya memenangkan capres Indonesia ke depan.
Masyarakat harus menyadari bahwa terdapat wilayah-wilayah yang memiliki kepadatan penduduk khususnya wilayah pulau jawa dan beberapa kawasan perkotaan padat lainnya. Namun di bagian lain nyatanya masih sulit terjangkau oleh pendistribusian surat dan kotak suara yang jauh dari tangan-tangan kekuasaan dan kewenangan daerah guna melakukan kecurangannya. Sehingga faktor kecurangan pemilu pun bukan sesuatu yang nihil dari setiap KPPS yang tersebar disetiap penjuru tanah air, oleh karena kurangnya ketersediaan saksi-saksi dari setiap partai politik dalam memastikan pelaksanaan azas jurdil bebas dan rahasia. Walau angka golput yang terus turun dari pemilu 2004 berkisar 23,30% dan pada pemilu 2009 27,45%, atau pada pemilu 2014 sekitar 30,42% hingga pemilu 2019 menjadi 19,24%, namun bukan berarti tidak terjadi kecurangan sama sekali.
Pada pemilu 2019 saja, dari padatnya penduduk jawa yang terdiri dari 5 Provinsi selain Jogja, jokowi hanya memenangkan pilpresnya pada 2 Provinsi saja yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Sedangkan 3 Provinsi lainnya dimenangkan oleh Prabowo Subianto yaitu Provinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Ada pun untuk wilayah sumatera nyaris sepenuhnya dimenangkan oleh Prabowo kecuali Provinsi Sumatera Utara, Riau dan Lampung. Sedangkan dominasi jokowi pada daerah lain seperti Papua merupakan daerah dengan jumlah suara sah 3.333.065, dimana Jokowi meraih suara 3.021.713 yang nyaris 10 kali lipat dari perolehan Prabowo yang hanya 311.352 suara saja. Termasuk dominasi beliau di pulau Kalimantan yang nyaris sepenuhnya dimenangkan olehnya kecuali Provinsi Kalimantan Selatan yang dimenangkan oleh lawannya.
Kelompok Nasionalis jangan terlalu yakin bahwa pilpres 2014 nanti sudah pasti akan dimenangkan oleh kubu ini, jika melihat perolehan masing-masing kubu hanya terpaut antara kisaran 45% dan 55% saja. Artinya jika mereka berhasil memperoleh kebaikan 5~6% dari jumlah pilpres 2014 dan 2019 lalu, tidak mustahil hal ini akan mencengangkan kita semua. Pundi-pundi suara pemilih yang berasal dari pulau Jawa mempunyai dominasi atas eskalasi kemenangan pilpres nanti, artinya siapa yang menguasai jawa, maka dialah yang diprediksi akan memenangkan kontestasi pada pertarungan tersebut. Walau pemilih diluar jawa menjadi elemen penting untuk dikuasai manakala selisih angka pemilih terhadap dua pasangan capres itu sama-sama mendekati 50% pada akhirnya.
Apalagi ilustrasi angka dari total suara pemilih atas keseluruhan pulau Sumatera yang jika digabungkan untuk selanjutnya di bandingkan dengan provinsi jawa timur, nyaris memiliki selisih hanya dikisaran 1 juta suara saja. Hal ini menampakkan bahwa pemusatan kekuatan bagi pendukung para capres akan tertuju pada bagaimana agar pulau Jawa dijadikan sasaran wilayah kemenangannya. Melalui peranan politik identitas yang dipompakan atas penduduk Indonesia yang mayoritas beragama islam, tentu akan berdampak signifikan terhadap naiknya dukungan kearah mereka, disamping kerusakan habitat sosial kultural yang mengalami ketegangan ditengah masyarakat pula tentunya. Oleh karenanya, kelompok nasionalisme harus pandai-pandai berikhtiar agar bangsa ini tetap dimenangkan oleh barisan kebhinnekaan yang merajut pada kesatuan di dalam wadah NKRI seutuhnya.
Jika dimasa kepemimoinan Jokowi ada banyak partai dan ormas yang bersedia meletakkan kepentingan mereka diatas kepentingan bangsa dan negara saat ini, walau tidak 100% namun setidaknya dukungan itu terlihat dari menguat dan menyatunya mereka yang mengambil bagian ke dalam instrumen pemerintahannya. Sebab bagaimana pun, masuknya mereka ke dalam instrumen pemerintahan tidak boleh diartikan hanya mengambil kewenangan atas kekuasaan semata, akan tetapi sifat partisipatif mereka pun merupakan peran positif yang harus pula kita apresiasi bersama. Sehingga, apakah hal yang sama akan terjadi, manakala fanatisme beragama itu ditiupkan untuk diperankan oleh pelaku politik identitas yang pada akhirnya memiliki kecenderungan bersikap intoleransi guna menjauhkan kelompok yang berbeda atas golongan mereka.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar