Penulis : Andi Salim
Indonesia menjadi bangsa yang terbuka disebabkan oleh beberapa faktor penyebabnya, diantaranya keragaman budaya dan suku bangsa Indonesia yang mempengaruhinya. Termasuk pengaruh kebudayaan yang datangnya dari luar. Hal itu bisa dilihat dari besarnya pengaruh asing yang membentuk keberagaman masyarakat di wilayah Indonesia. Contoh pengaruh asing yang membentuk keberagaman budaya dan bangsa Indonesia adalah masuknya masyarakat dari berbagai bangsa, seperti Tiongkok, India, Arab, dan Eropa yang datang untuk berdagang maupun kedatangan para penjajah yang pernah bercokol sedemikian lama di Indonesia. Kedatangan mereka tentu saja membekas yang tidak saja dalam sejarah bangsa, namun merasuk kepada tradisi yang kemudian mempengaruhi kebudayaan yang ada di Indonesia.
Sifat fanatisme beragama yang disandingkan dengan sikap eksklusivitas kelompok tentu mendatangkan polemik tersendiri dibalik tujuannya dalam menanamkan Ukhwah islamiyah bagi penduduk muslim yang merupakan penganut mayoritas di Indonesia. Rangkaian persaudaraan sesama islam diartikan sebagai kekuatan sebagai belt habitat for humanity untuk melegalkan jihad, walau memerangi persaudaraan sebangsa dan sesama muslim sekalipun. Sehingga dibangunnya radikalisme politik yang pada akhirnya mengorbankan umatnya untuk memperoleh kekuasaan dan menciptakan perpecahan ditengah ikatan sebangsa dan setanah air sebagaimana yang telah dibangun oleh pendiri bangsa ini berdasarkan pemikiran dan perjuangan para tokoh-tokoh islam nasionalismenya.
Pergeseran paradigma jihad yang semestinya gugur sebagai mujahid atas perjuangan umat demi penegakan agama, kini berubah kepada tujuan kekuasaan dan perebutan kewenangan yang direkayasa oleh persekongkolan oknum politik dan agama dalam menyemarakkan politik identitas yang sarat akan fitnah, kebohongan dan pengkerdilan islam itu sendiri. Upaya membangun militansi yang berlebihan melalui sikap fanatisme beragama dengan menyisipkan radikalisme kedalam gerakan mereka tentu saja menciptakan nuansa perpecahan dan saling berhadapannya kepentingan ditengah internal islam dan kelompok non muslim yang merupakan persaudaraan dari unsur sebangsa dan setanah air.
Membangun sisi inklusif adalah upaya untuk menempatkan diri ke dalam cara pandang orang lain yang bertujuan untuk melihat atau memahami masalah ditengah dinamika persoalan internal islam, tentu menjadi solusi yang arif. Sifat Inklusivitas yang bertujuan agar mengajak atau mengikutsertakan pihak luar guna mendapatkan penilaian objektif dalam menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan fakta internal mengimplikasikan bahwa sikap semacam ini sangat diperlukan bagi tatanan lingkungan dan pergaulan islam dimasa yang akan datang. Sebab bagaimana pun, jika diumpamakan kemampuan seseorang dalam menyembuhkan penyakit yang dideritanya, tentu saja sifatnya menjadi terbatas, sekalipun yang menjadi pasiennya berstatus sebagai seorang dokter pula.
Pembaharuan di era digitalisasi saat ini membutuhkan kelembagaan yang mampu mempersiapkan sumber daya manusia yang adaptif terhadap kemajuan untuk berakselerasi sekaligus menjawab tantangan hidup yang relevan terhadap semua uma. Setiap individu tidak dapat dipisahkan pada sikap toleransi yang menampakkan ketinggian moralitas bagi penyesuaian adab dan prilaku menuju harmonisasi keseimbangan pergaulan dunia. Oleh karenanya mau tidak mau, dunia islam harus mampu berdiri pada pilar terdepan agar tidak tertinggal dari gelombang persaingan kemuliaan akhlaq dari out put agama-agama lain yang menjadi mitra keagamaannya. Sebab pada akhirnya masyarakat dunia hanya melihat agama sebagai sebuah kelembagaan informal yang memproduksi orang-orang dengan ketinggian akhlaq dan kemuliaan moralitas dari tempaan ajaran dan ajakan yang dimilikinya.
Berbagai pengalaman yang didapatinya selama proses tempaan dipusat-pusat pendidikan yang dimilikinya itu, tentu akan menjadikan SDM yang kuat dan berdaya saing tinggi ditengah kecepatan serta kapabilitas yang responsif dari setiap umatnya. Hasutan dan ajakan atas pengaruh politik identitas ditengah minimnya wawasan dan pengetahuan umat hanya akan menimbulkan korban yang lebih banyak dan lebih besar atas upaya segelintir pihak yang sengaja menyeretnya kedalam konflik kekuasaan yang terjadi. Gerakan intoleransi yang dipertahankan saat ini hanya akan menampar masyarakat pada fakta keterbelakangan dunia islam yang terkungkung oleh dogma untuk menutup diri dari persaingan terhadap bangsa lain ditengah era digitalisasi yang serba terbuka sekarang ini.
Banyak masyarakat dunia yang menyebutkan bahwa perang bukanlah penyelesaian sebuah konflik, bahkan sekedar menampakkan marah saja disinyalir tidak akan menyelesaikan masalah sama sekali. Artinya, jika politik identitas lebih menampilkan wujudnya kepada ajakan perpecahan umat dengan berbagai alasan dan sikap permusuhan terhadap golongan lain demi tujuan politik kekuasaan bagi kepentingan segelintir orang agar masyarakat bercerai-berai serta memporak-porandakan wajah islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin, maka diperlukan pengertian yang elok untuk mengajak segenap masyarakat kepada pilihan politik Integritas yang mengedepankan sisi kearifan atas kecintaan terhadap tanah air melalui Hubbul Wathon Minal Iman kedalam konsekwensi persatuan dan persatuan bernegara.
Gejala tentang kebangkitan konservatisme Islam Indonesia juga telah menjadi kajian di kalangan intelektual muslim Indonesia, sebagian dari mereka menyebutnya dengan istilah CONSERVATIVE TURN atau kembali menjadi konservatif yang dikaitkan dengan dinamika politik identitas yang semarak dibeberapa kawasan Indonesia. Sifat konservatisme agama yang menolak pemahaman, penafsiran, serta pembaruan pemikiran dan praktek agama yang berlandaskan perkembangan modern tertentu, maka dengan pandangan ini, para pendukung konservatisme agama meyakini untuk menolak perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang berdampak terhadap surutnya keimanan, sebab hanya dengan kembali kepada praktek agama yang konservatif, menjadi satu-satunya cara dalam menjalani perintah agama yang khidmat.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Sifat fanatisme beragama yang disandingkan dengan sikap eksklusivitas kelompok tentu mendatangkan polemik tersendiri dibalik tujuannya dalam menanamkan Ukhwah islamiyah bagi penduduk muslim yang merupakan penganut mayoritas di Indonesia. Rangkaian persaudaraan sesama islam diartikan sebagai kekuatan sebagai belt habitat for humanity untuk melegalkan jihad, walau memerangi persaudaraan sebangsa dan sesama muslim sekalipun. Sehingga dibangunnya radikalisme politik yang pada akhirnya mengorbankan umatnya untuk memperoleh kekuasaan dan menciptakan perpecahan ditengah ikatan sebangsa dan setanah air sebagaimana yang telah dibangun oleh pendiri bangsa ini berdasarkan pemikiran dan perjuangan para tokoh-tokoh islam nasionalismenya.
Pergeseran paradigma jihad yang semestinya gugur sebagai mujahid atas perjuangan umat demi penegakan agama, kini berubah kepada tujuan kekuasaan dan perebutan kewenangan yang direkayasa oleh persekongkolan oknum politik dan agama dalam menyemarakkan politik identitas yang sarat akan fitnah, kebohongan dan pengkerdilan islam itu sendiri. Upaya membangun militansi yang berlebihan melalui sikap fanatisme beragama dengan menyisipkan radikalisme kedalam gerakan mereka tentu saja menciptakan nuansa perpecahan dan saling berhadapannya kepentingan ditengah internal islam dan kelompok non muslim yang merupakan persaudaraan dari unsur sebangsa dan setanah air.
Membangun sisi inklusif adalah upaya untuk menempatkan diri ke dalam cara pandang orang lain yang bertujuan untuk melihat atau memahami masalah ditengah dinamika persoalan internal islam, tentu menjadi solusi yang arif. Sifat Inklusivitas yang bertujuan agar mengajak atau mengikutsertakan pihak luar guna mendapatkan penilaian objektif dalam menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan fakta internal mengimplikasikan bahwa sikap semacam ini sangat diperlukan bagi tatanan lingkungan dan pergaulan islam dimasa yang akan datang. Sebab bagaimana pun, jika diumpamakan kemampuan seseorang dalam menyembuhkan penyakit yang dideritanya, tentu saja sifatnya menjadi terbatas, sekalipun yang menjadi pasiennya berstatus sebagai seorang dokter pula.
Pembaharuan di era digitalisasi saat ini membutuhkan kelembagaan yang mampu mempersiapkan sumber daya manusia yang adaptif terhadap kemajuan untuk berakselerasi sekaligus menjawab tantangan hidup yang relevan terhadap semua uma. Setiap individu tidak dapat dipisahkan pada sikap toleransi yang menampakkan ketinggian moralitas bagi penyesuaian adab dan prilaku menuju harmonisasi keseimbangan pergaulan dunia. Oleh karenanya mau tidak mau, dunia islam harus mampu berdiri pada pilar terdepan agar tidak tertinggal dari gelombang persaingan kemuliaan akhlaq dari out put agama-agama lain yang menjadi mitra keagamaannya. Sebab pada akhirnya masyarakat dunia hanya melihat agama sebagai sebuah kelembagaan informal yang memproduksi orang-orang dengan ketinggian akhlaq dan kemuliaan moralitas dari tempaan ajaran dan ajakan yang dimilikinya.
Berbagai pengalaman yang didapatinya selama proses tempaan dipusat-pusat pendidikan yang dimilikinya itu, tentu akan menjadikan SDM yang kuat dan berdaya saing tinggi ditengah kecepatan serta kapabilitas yang responsif dari setiap umatnya. Hasutan dan ajakan atas pengaruh politik identitas ditengah minimnya wawasan dan pengetahuan umat hanya akan menimbulkan korban yang lebih banyak dan lebih besar atas upaya segelintir pihak yang sengaja menyeretnya kedalam konflik kekuasaan yang terjadi. Gerakan intoleransi yang dipertahankan saat ini hanya akan menampar masyarakat pada fakta keterbelakangan dunia islam yang terkungkung oleh dogma untuk menutup diri dari persaingan terhadap bangsa lain ditengah era digitalisasi yang serba terbuka sekarang ini.
Banyak masyarakat dunia yang menyebutkan bahwa perang bukanlah penyelesaian sebuah konflik, bahkan sekedar menampakkan marah saja disinyalir tidak akan menyelesaikan masalah sama sekali. Artinya, jika politik identitas lebih menampilkan wujudnya kepada ajakan perpecahan umat dengan berbagai alasan dan sikap permusuhan terhadap golongan lain demi tujuan politik kekuasaan bagi kepentingan segelintir orang agar masyarakat bercerai-berai serta memporak-porandakan wajah islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin, maka diperlukan pengertian yang elok untuk mengajak segenap masyarakat kepada pilihan politik Integritas yang mengedepankan sisi kearifan atas kecintaan terhadap tanah air melalui Hubbul Wathon Minal Iman kedalam konsekwensi persatuan dan persatuan bernegara.
Gejala tentang kebangkitan konservatisme Islam Indonesia juga telah menjadi kajian di kalangan intelektual muslim Indonesia, sebagian dari mereka menyebutnya dengan istilah CONSERVATIVE TURN atau kembali menjadi konservatif yang dikaitkan dengan dinamika politik identitas yang semarak dibeberapa kawasan Indonesia. Sifat konservatisme agama yang menolak pemahaman, penafsiran, serta pembaruan pemikiran dan praktek agama yang berlandaskan perkembangan modern tertentu, maka dengan pandangan ini, para pendukung konservatisme agama meyakini untuk menolak perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang berdampak terhadap surutnya keimanan, sebab hanya dengan kembali kepada praktek agama yang konservatif, menjadi satu-satunya cara dalam menjalani perintah agama yang khidmat.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar