Penulis : Andi Salim
Begitu banyaknya putra-putri bangsa ini yang memiliki kemampuan bahkan melebihi dari bangsa lain didunia sekalipun, termasuk bila dibandingkan dengan bangsa yahudi yang diagung-agungkan dengan kecerdasannya yang luar biasa. Bahkan tak jarang prestasi bangsa kita pun sering menaklukkan pemikiran dunia. Sebut saja Habibie yang diakui sebagai sosok yang jenius disamping para ahli bidang-bidang tertentu yang telah sohor sebelumnya. Konon dugaan bahwa pernah ada sebuah kota kaya raya dengan peradaban canggih dan modern yang lenyap karena suatu bencana sebagai kota yang hilang sebagai sebuah kota legendaris yang pertama kali disebut oleh Plato dalam bukunya yang berjudul “Timaeus” dan “Kritias”. Buku ini ditulis sekitar 360 SM.
Bahkan ilmuwan asal Brasil, Arysio Nunes dos Santos, dalam bukunya 'Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato's Lost Civilization' membandingkan beberapa negara dengan ciri-ciri Benua Atlantis, mulai dari luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi hingga cara bercocok tanam. Tak tanggung-tanggung, penelitiannya untuk buku tersebut menghabiskan waktu hingga 30 tahun. Dimana beliau pada akhirnya menyimpulkan jika Indonesia adalah Benua Atlantis yang dimaksudkan. Para ilmuwan lain pun sepakat bahwa ada benua yang tenggelam di Indonesia yang mereka sebut Sundaland. Benua yang tenggelam ini adalah wilayah laut dangkal antara Sumatera dan Kalimantan. Hal ini menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa inferior, apalagi dianggap bangsa kaleng-kaleng.
Seakan kurang percaya dengan kemampuan bangsanya sendiri, partai Nasdem malah memilih capres yang notabenenya sebagai sosok naturalisasi dibalik bertaburnya sosok bangsa indonesia yang jenius dan mempesona dunia. Bahkan saat ini saja, kemampuan Jokowi dirasakan menghipnotis para pemimpin dunia untuk keluar dari kebuntuan sebuah pemikiran guna menerobos kekakuan dan ego Chauvinisme sebagai paham yang mengagung agungkan bangsa atau negaranya sendiri dengan memandang rendah bangsa lain. Paham Chauvinisme ini pada akhirnya mengakibatkan penjajahan dari satu bangsa ke bangsa lain. Disinilah bangsa kita pernah didudukkan kepada level terendah selaku bangsa terendah oleh para penjajah tersebut.
Sejarah berdirinya partai nasdem begitu diharapkan guna merubah tatanan politik di Indonesia. Sebab melalui Restorasi indonesia yang penuh harapan itu, tentu sepantasnya diwujudkan guna menata ulang tujuan yang lebih tajam akan kepesertaan partai politik sebagai instrumen berdemokrasi di tanah air. Apalagi terdapat berbagai kasus korupsi dan penyimpangan penerapan kebijakan dari munculnya politik uang / money politik yang semakin masif dan terstruktur disetiap parpol. Tentu hal ini harus dihentikan sebagai strategi politik kotor yang sarat dengan manipulasi cara-cara berdemokrasi. Maka tak heran dari kepesertaan perdananya pada pemilu 2014, partai ini mampu meraup 8,42 juta suara atau 6,25% yang setara dengan 35 kursi DPR-RI.
Lalu pada kepesertaan keduanya di 2019, partai ini mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu 10,26 atau setara 59 kursi DPR-RI, sekaligus mendudukkan 3 menterinya di kabinet Jokowi hingga saat ini. Bahkan kepesertaanya mengusung calon kepala daerah di pilkada 2020, NasDem berhasil memenangkan calonnya di 4 provinsi dan 128 kabupaten/kota. Artinya, partai ini mau tidak mau harus diakui bahwa hadirnya mereka menjadi momentum berubahnya selera masyarakat atas citra buruk partai-partai lama yang korup dan hanya menampakkan eksklusifitas formal semata, hingga banyak yang berpindah sekaligus ditinggalkan oleh para konstituennya. Apalagi partai ini pulalah yang menghilangkan sistem mahar politik yang telah lama diberlakukan hampir di semua partai yang ada.
Namun, entah pengaruh apa yang melandasi pemikiran pragmatisme partai ini yang belakangan justru menghentakkan publik pada keputusannya mendeklarasikan capres yang berasal dari keturunan Yaman tersebut. Padahal publik Indonesia menyadari benar bahwa Yaman merupakan kreasi kegagalan sebuah bangsa yang hingga kini masih sulit bangkit dari keterpurukannya. Apalagi pemberitaan dari BBC news Indonesia tertanggal 25/10/2016 menyebutkan bahwa Setidaknya 14 juta warga Yaman, atau separuh populasi negeri itu terancam 'kondisi ambang kelaparan,' demikian peringatan yang disampaikan PBB waktu itu. Walau bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, bangsa Yaman dikenal sebagai negerinya para habib dan sayyid karena dianggap sebagai keturunan Nabi Muhammad tersebut.
Melirik perolehan suara oposisi 2014 dan 2019 yang nyaris tetap di kisaran 45%, tentu saja hal ini menggelitik partai Nasdem untuk mendulang suara dari rivalnya yang dianggap bukan partai besar. Sebut saja PKS dan Demokrat sekiranya ke tiga partai ini berhasil tergabung dalam satu koalisi. Apalagi sulitnya memuncaki pertarungan politik melawan partai-partai besar memang dirasakan oleh semua partai dilevel kelas menengah. Selain logistik, jaringan mereka pun telah terbangun secara luas. Tak heran pula jika suara oposisi yang berseberangan dengan pemerintah itu hanya akan diperebutkan oleh tiga partai ini. Namun, walau Demokrat akan tetap mengalami trend penurunan, akan tetapi PKS bukanlah lawan yang mudah untuk dikalahkan. Sebab mereka konsisten di jalur tarbiyahnya yang kokoh merasuki kampus-kampus dan lembaga pemerintahan saat ini.
Sebagai partai nasionalis sebaiknya Nasdem tidak memasukkan racun kedalam makanan basi dengan menghadirkan capres berbau naturalisasi dalam proses kewarganegaraannya. Walau setiap partai memang harus menguasai perolehan masa yang signifikan, namun tidakkah mereka melihat potensi yang dimiliki putra-putri bangsa ini, sehingga begitu sulit menemukan sosok yang tepat untuk didudukan sebagai capresnya. Apalagi keberadaan kelompok konservatif di Indonesia merupakan kekuatan politik yang signifikan. Kelompok ini terdiri dari tiga aliran yang cukup kokoh. Pertama adalah mereka memiliki kecenderungan relijius yang sangat kuat, sehingga intoleransi pun semakin mudah berkembang. Kelompok Kedua adalah mereka yang memiliki sikap nasionalisme yang tinggi, yaitu sikap yang dimiliki setiap warga negara Indonesia dalam mencintai tanah airnya. Sedangkan komponen Ketiga merupakan gabungan antara kekuatan nasionalisme dan agamis.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Bahkan ilmuwan asal Brasil, Arysio Nunes dos Santos, dalam bukunya 'Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato's Lost Civilization' membandingkan beberapa negara dengan ciri-ciri Benua Atlantis, mulai dari luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi hingga cara bercocok tanam. Tak tanggung-tanggung, penelitiannya untuk buku tersebut menghabiskan waktu hingga 30 tahun. Dimana beliau pada akhirnya menyimpulkan jika Indonesia adalah Benua Atlantis yang dimaksudkan. Para ilmuwan lain pun sepakat bahwa ada benua yang tenggelam di Indonesia yang mereka sebut Sundaland. Benua yang tenggelam ini adalah wilayah laut dangkal antara Sumatera dan Kalimantan. Hal ini menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa inferior, apalagi dianggap bangsa kaleng-kaleng.
Seakan kurang percaya dengan kemampuan bangsanya sendiri, partai Nasdem malah memilih capres yang notabenenya sebagai sosok naturalisasi dibalik bertaburnya sosok bangsa indonesia yang jenius dan mempesona dunia. Bahkan saat ini saja, kemampuan Jokowi dirasakan menghipnotis para pemimpin dunia untuk keluar dari kebuntuan sebuah pemikiran guna menerobos kekakuan dan ego Chauvinisme sebagai paham yang mengagung agungkan bangsa atau negaranya sendiri dengan memandang rendah bangsa lain. Paham Chauvinisme ini pada akhirnya mengakibatkan penjajahan dari satu bangsa ke bangsa lain. Disinilah bangsa kita pernah didudukkan kepada level terendah selaku bangsa terendah oleh para penjajah tersebut.
Sejarah berdirinya partai nasdem begitu diharapkan guna merubah tatanan politik di Indonesia. Sebab melalui Restorasi indonesia yang penuh harapan itu, tentu sepantasnya diwujudkan guna menata ulang tujuan yang lebih tajam akan kepesertaan partai politik sebagai instrumen berdemokrasi di tanah air. Apalagi terdapat berbagai kasus korupsi dan penyimpangan penerapan kebijakan dari munculnya politik uang / money politik yang semakin masif dan terstruktur disetiap parpol. Tentu hal ini harus dihentikan sebagai strategi politik kotor yang sarat dengan manipulasi cara-cara berdemokrasi. Maka tak heran dari kepesertaan perdananya pada pemilu 2014, partai ini mampu meraup 8,42 juta suara atau 6,25% yang setara dengan 35 kursi DPR-RI.
Lalu pada kepesertaan keduanya di 2019, partai ini mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu 10,26 atau setara 59 kursi DPR-RI, sekaligus mendudukkan 3 menterinya di kabinet Jokowi hingga saat ini. Bahkan kepesertaanya mengusung calon kepala daerah di pilkada 2020, NasDem berhasil memenangkan calonnya di 4 provinsi dan 128 kabupaten/kota. Artinya, partai ini mau tidak mau harus diakui bahwa hadirnya mereka menjadi momentum berubahnya selera masyarakat atas citra buruk partai-partai lama yang korup dan hanya menampakkan eksklusifitas formal semata, hingga banyak yang berpindah sekaligus ditinggalkan oleh para konstituennya. Apalagi partai ini pulalah yang menghilangkan sistem mahar politik yang telah lama diberlakukan hampir di semua partai yang ada.
Namun, entah pengaruh apa yang melandasi pemikiran pragmatisme partai ini yang belakangan justru menghentakkan publik pada keputusannya mendeklarasikan capres yang berasal dari keturunan Yaman tersebut. Padahal publik Indonesia menyadari benar bahwa Yaman merupakan kreasi kegagalan sebuah bangsa yang hingga kini masih sulit bangkit dari keterpurukannya. Apalagi pemberitaan dari BBC news Indonesia tertanggal 25/10/2016 menyebutkan bahwa Setidaknya 14 juta warga Yaman, atau separuh populasi negeri itu terancam 'kondisi ambang kelaparan,' demikian peringatan yang disampaikan PBB waktu itu. Walau bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, bangsa Yaman dikenal sebagai negerinya para habib dan sayyid karena dianggap sebagai keturunan Nabi Muhammad tersebut.
Melirik perolehan suara oposisi 2014 dan 2019 yang nyaris tetap di kisaran 45%, tentu saja hal ini menggelitik partai Nasdem untuk mendulang suara dari rivalnya yang dianggap bukan partai besar. Sebut saja PKS dan Demokrat sekiranya ke tiga partai ini berhasil tergabung dalam satu koalisi. Apalagi sulitnya memuncaki pertarungan politik melawan partai-partai besar memang dirasakan oleh semua partai dilevel kelas menengah. Selain logistik, jaringan mereka pun telah terbangun secara luas. Tak heran pula jika suara oposisi yang berseberangan dengan pemerintah itu hanya akan diperebutkan oleh tiga partai ini. Namun, walau Demokrat akan tetap mengalami trend penurunan, akan tetapi PKS bukanlah lawan yang mudah untuk dikalahkan. Sebab mereka konsisten di jalur tarbiyahnya yang kokoh merasuki kampus-kampus dan lembaga pemerintahan saat ini.
Sebagai partai nasionalis sebaiknya Nasdem tidak memasukkan racun kedalam makanan basi dengan menghadirkan capres berbau naturalisasi dalam proses kewarganegaraannya. Walau setiap partai memang harus menguasai perolehan masa yang signifikan, namun tidakkah mereka melihat potensi yang dimiliki putra-putri bangsa ini, sehingga begitu sulit menemukan sosok yang tepat untuk didudukan sebagai capresnya. Apalagi keberadaan kelompok konservatif di Indonesia merupakan kekuatan politik yang signifikan. Kelompok ini terdiri dari tiga aliran yang cukup kokoh. Pertama adalah mereka memiliki kecenderungan relijius yang sangat kuat, sehingga intoleransi pun semakin mudah berkembang. Kelompok Kedua adalah mereka yang memiliki sikap nasionalisme yang tinggi, yaitu sikap yang dimiliki setiap warga negara Indonesia dalam mencintai tanah airnya. Sedangkan komponen Ketiga merupakan gabungan antara kekuatan nasionalisme dan agamis.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar