Penulis : Andi Salim
Siapa yang tidak mengenal Prabowo Subianto, mantan Pangkostrad pecatan yang dituding sebagai dalang kerusuhan 1998 yang acapkali kalah dalam pertarungan Pilpres 2014 dan 2019. Walau kepesertaan sebelumnya, beliau pernah digadang-gadang sebagai wapres yang berpasangan dengan Megawati Soekarno Putri pada tahun 2009 silam. Nasib peruntungan memang belum berpihak kepadanya, namun rekam jejak nasionalismenya begitu kental terasa. Bahkan hiruk pikuk suara miring masih nyaris terdengar tatkala dirinya dicalonkan pada setiap kontestasi pilpres yang diikutinya. Tentu saja terpaan miring menjadi tak ketinggalan dibalik isu penculikan dan label mantan menantu cendana pun sarat membebani setiap langkah dan geraknya. Pemberitaannya sering menjadi viral dari sikap publik yang pro dan kontra terhadap dirinya.
Jangankan dirinya, penulis saja terasa muak ketika ada pihak yang mengkait-kaitkannya pada isu-isu negatif yang tak pernah terbukti secara hukum, apalagi menudingnya sebagai antek-antek asing yang seolah-olah begitu menyiratkan sikap pengkhianatan terhadap bangsanya sendiri. Akan tetapi isu tersebut tetap saja tak pernah berakhir dari batasan waktu yang entah sampai kapan. Layaknya keadaan jakarta, begitu datang musim hujan pembahasan tentang banjir pun riuh dibicarakan. Maka Respon PS pun masih sama, beliau tidak pernah menanggapi hal itu, sebab selain tak berguna, bangsa kita pun bukan pihak yang senang mendapatkan klarifikasi dan sukanya hanya menuduh saja. Sehingga menyumpal mulut yang bicara akan semakin menguras energi dari pada membiarkannya sampai masanya akan lelah sendiri.
Banyak yang menarik tentang dirinya, selain bobotnya yang tegas oleh karena guratan didikan yang diperolehnya selaku personil TNI, namun kematangan mental pun terlihat seiring bertambah pula usianya saat ini. Sosoknya yang tak asing serta begitu paham akan seluk beluk resources alam dan sumber daya ekonomi Indonesia tentu menjadi landasan dirinya untuk membuktikan bahwa dia sesungguhnya mampu membawa kesejahteraan pada bangsa ini. Apalagi bayang-bayang nama besar Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo selaku ayahnya merupakan seorang pakar ekonomi yang pada masanya masih sangat sulit mencari lawan tandingannya dinegeri yang mayoritas masih terbelakang pendidikannya kala itu.
Karakteristiknya yang bersikap blak-blakan banyak disukai lawan mau pun kawan. Walau tak sedikit pula yang anti pati pada dirinya yang sarat dengan kedekatannya terhadap orde baru. Maklum saja, hal itu memang sulit dihindarkan apalagi dengan posisinya selaku menantu waktu itu. Akan tetapi, hanya mereka yang menutup mata saja jika tidak melihat fakta, bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang mencintainya, terbukti angka keterpilihannya sangat tinggi dan hanya selisih tipis dari 2 kali pertarungannya dengan Jokowi. Partainya yang di dirikannya pun masih bertengger di 3 besar hingga saat ini. Bahkan posisi partai Gerindra pada pemilu 2019 berhasil meraih urutan kedua setelah PDI Perjuangan dengan menggusur partai Golkar yang pada pemilu 2014 berada pada posisi runner up.
Jika kita acapkali melihat cara kerja Jokowi yang terjun kelapangan dalam kunjungannya keberbagai daerah, namun hal itu sedikit berbeda dengan karakter kerja dirinya yang mampu mengendalikan personil sekalipun hanya di belakang meja saja, sebab leadership dirinya mampu menangkap berbagai persoalan serta tingkat penyelesaian yang presisi dengan target dan harapannya. Sosoknya yang kurang suka akan pujian, membuat siapa pun akan sulit mendapati kelemahannya, apalagi beliau selalu mengambil keputusannya yang bersifat realistis serta taktis terhadap situasi dari keadaan atas berbagai permasalahan yang menyelimutinya. Ketegarannya pun sangat teruji ketika dirinya diterpa berkali-kali kekalahan dari kepesertaannya pada kontestasi pilpres yang lalu.
Pengakuannya yang tulus atas kepemimpinan Jokowi bahkan tidak segan-segan menyebutkan dirinya selaku "anak buah" rivalnya itu sungguh menampakkan sisi loyalitas dan pengabdian yang tinggi. Sebab hal itu mengkonfirmasi bahwa dirinya bukanlah sosok yang pongah untuk bermain pada tatanan politik dua kaki yang sering menerapkan politik manuver terhadap kawan maupun lawan politiknya. Sikap sportifitas yang demikian menjadi kekaguman tersendiri bagi siapa pun yang dekat dengannya, termasuk kedekatannya terhadap Jokowi dan Megawati sekalipun. Bahkan tak segan-segan, Gusdur menyebut dirinya sebagai sosok yang ikhlas dalam berpolitik. Kata ikhlas dalam sebutan itu, tentu saja bisa kita maknai bahwa dirinya bukanlah pihak yang mentransaksikan politik demi jabatan dan uang.
Pembuktian ketulusan dan keikhlasan itu begitu tampak tatkala beliau diminta JK untuk mengusung Anis Baswedan sekaligus mendanai pencalonan Gubernurnya pada pilkada 2017 silam. Segala pujian pun dicurahkan kepadanya, namun hingga berakhir masa jabatan Anis di DKI Jakarta tersebut, layaknya orang yang berjasa terhadap seseorang, Anis tak kunjung mendatanginya walau sekedar mengucapkan terima kasih sekalipun. Hal itu sebagaimana kekesalan yang diungkapkan oleh Fachri Hamzah dalam acara talk show karni ilyas beberapa saat yang lalu. Bagi PS resiko dikhianati adalah makanan sehari-hari atas menu politik yang selalu pahit untuk ditelan, sehingga mengumbar pelampiasan kata-kata bukanlah cara untuk mendapatkan kembali atas jasa-jasa yang pernah dilakukannya.
Kali ini sebagian publik menginginkan Ganjar Pranowo sebagai Presiden, namun sebagian lagi menginginkannya kembali mencalonkan diri. Bahkan Jokowi terkesan merestui keduanya untuk mencalonkan dirinya, termasuk jika bergabung ke dalam satu paket selaku Presiden dan Wakil Presiden. Namun jangan menerka jika dirinya pongah dan sulit diajak kompromi, sebab pembuktian kearah itu dan pengakuan keikhlasan berpolitik sebagaimana ungkapan Gusdur merupakan prinsipnya yang sering diartikan keliru oleh lawan-lawannya. Tak ada salahnya kita mendukung paket kedua sosok nasionalis ini untuk bergabung sekaligus memenangkan pilpres 2024 nanti, agar intoleransi benar-benar hengkang dari bumi pertiwi ini. Semoga Tuhan merestuinya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Jangankan dirinya, penulis saja terasa muak ketika ada pihak yang mengkait-kaitkannya pada isu-isu negatif yang tak pernah terbukti secara hukum, apalagi menudingnya sebagai antek-antek asing yang seolah-olah begitu menyiratkan sikap pengkhianatan terhadap bangsanya sendiri. Akan tetapi isu tersebut tetap saja tak pernah berakhir dari batasan waktu yang entah sampai kapan. Layaknya keadaan jakarta, begitu datang musim hujan pembahasan tentang banjir pun riuh dibicarakan. Maka Respon PS pun masih sama, beliau tidak pernah menanggapi hal itu, sebab selain tak berguna, bangsa kita pun bukan pihak yang senang mendapatkan klarifikasi dan sukanya hanya menuduh saja. Sehingga menyumpal mulut yang bicara akan semakin menguras energi dari pada membiarkannya sampai masanya akan lelah sendiri.
Banyak yang menarik tentang dirinya, selain bobotnya yang tegas oleh karena guratan didikan yang diperolehnya selaku personil TNI, namun kematangan mental pun terlihat seiring bertambah pula usianya saat ini. Sosoknya yang tak asing serta begitu paham akan seluk beluk resources alam dan sumber daya ekonomi Indonesia tentu menjadi landasan dirinya untuk membuktikan bahwa dia sesungguhnya mampu membawa kesejahteraan pada bangsa ini. Apalagi bayang-bayang nama besar Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo selaku ayahnya merupakan seorang pakar ekonomi yang pada masanya masih sangat sulit mencari lawan tandingannya dinegeri yang mayoritas masih terbelakang pendidikannya kala itu.
Karakteristiknya yang bersikap blak-blakan banyak disukai lawan mau pun kawan. Walau tak sedikit pula yang anti pati pada dirinya yang sarat dengan kedekatannya terhadap orde baru. Maklum saja, hal itu memang sulit dihindarkan apalagi dengan posisinya selaku menantu waktu itu. Akan tetapi, hanya mereka yang menutup mata saja jika tidak melihat fakta, bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang mencintainya, terbukti angka keterpilihannya sangat tinggi dan hanya selisih tipis dari 2 kali pertarungannya dengan Jokowi. Partainya yang di dirikannya pun masih bertengger di 3 besar hingga saat ini. Bahkan posisi partai Gerindra pada pemilu 2019 berhasil meraih urutan kedua setelah PDI Perjuangan dengan menggusur partai Golkar yang pada pemilu 2014 berada pada posisi runner up.
Jika kita acapkali melihat cara kerja Jokowi yang terjun kelapangan dalam kunjungannya keberbagai daerah, namun hal itu sedikit berbeda dengan karakter kerja dirinya yang mampu mengendalikan personil sekalipun hanya di belakang meja saja, sebab leadership dirinya mampu menangkap berbagai persoalan serta tingkat penyelesaian yang presisi dengan target dan harapannya. Sosoknya yang kurang suka akan pujian, membuat siapa pun akan sulit mendapati kelemahannya, apalagi beliau selalu mengambil keputusannya yang bersifat realistis serta taktis terhadap situasi dari keadaan atas berbagai permasalahan yang menyelimutinya. Ketegarannya pun sangat teruji ketika dirinya diterpa berkali-kali kekalahan dari kepesertaannya pada kontestasi pilpres yang lalu.
Pengakuannya yang tulus atas kepemimpinan Jokowi bahkan tidak segan-segan menyebutkan dirinya selaku "anak buah" rivalnya itu sungguh menampakkan sisi loyalitas dan pengabdian yang tinggi. Sebab hal itu mengkonfirmasi bahwa dirinya bukanlah sosok yang pongah untuk bermain pada tatanan politik dua kaki yang sering menerapkan politik manuver terhadap kawan maupun lawan politiknya. Sikap sportifitas yang demikian menjadi kekaguman tersendiri bagi siapa pun yang dekat dengannya, termasuk kedekatannya terhadap Jokowi dan Megawati sekalipun. Bahkan tak segan-segan, Gusdur menyebut dirinya sebagai sosok yang ikhlas dalam berpolitik. Kata ikhlas dalam sebutan itu, tentu saja bisa kita maknai bahwa dirinya bukanlah pihak yang mentransaksikan politik demi jabatan dan uang.
Pembuktian ketulusan dan keikhlasan itu begitu tampak tatkala beliau diminta JK untuk mengusung Anis Baswedan sekaligus mendanai pencalonan Gubernurnya pada pilkada 2017 silam. Segala pujian pun dicurahkan kepadanya, namun hingga berakhir masa jabatan Anis di DKI Jakarta tersebut, layaknya orang yang berjasa terhadap seseorang, Anis tak kunjung mendatanginya walau sekedar mengucapkan terima kasih sekalipun. Hal itu sebagaimana kekesalan yang diungkapkan oleh Fachri Hamzah dalam acara talk show karni ilyas beberapa saat yang lalu. Bagi PS resiko dikhianati adalah makanan sehari-hari atas menu politik yang selalu pahit untuk ditelan, sehingga mengumbar pelampiasan kata-kata bukanlah cara untuk mendapatkan kembali atas jasa-jasa yang pernah dilakukannya.
Kali ini sebagian publik menginginkan Ganjar Pranowo sebagai Presiden, namun sebagian lagi menginginkannya kembali mencalonkan diri. Bahkan Jokowi terkesan merestui keduanya untuk mencalonkan dirinya, termasuk jika bergabung ke dalam satu paket selaku Presiden dan Wakil Presiden. Namun jangan menerka jika dirinya pongah dan sulit diajak kompromi, sebab pembuktian kearah itu dan pengakuan keikhlasan berpolitik sebagaimana ungkapan Gusdur merupakan prinsipnya yang sering diartikan keliru oleh lawan-lawannya. Tak ada salahnya kita mendukung paket kedua sosok nasionalis ini untuk bergabung sekaligus memenangkan pilpres 2024 nanti, agar intoleransi benar-benar hengkang dari bumi pertiwi ini. Semoga Tuhan merestuinya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar