Rabu, 18 Januari 2023

MENGAPA SEBAGIAN KADER PDIP JUSTRU TIDAK MEMAHAMI STRATEGI POLITIK KETUMNYA


 25/10/2022

MENGAPA SEBAGIAN KADER PDIP JUSTRU TIDAK MEMAHAMI STRATEGI POLITIK KETUMNYA
Penulis : Andi Salim

Fenomena ditahannya deklarasi capres PDIP menjadi anomali politik sebagian orang, bahkan sebagai peluang bagi mereka yang bergaya oportunis dalam menyampaikan niatnya yang akan menggeser pilihan politiknya jika Rekomendasi capres PDIP tidak memilih Ganjar Pranowo. Hal Ini tentu saja menjadi tidak tepat dan kurang pas dari ukuran kesehatan sebuah mekanisme demokrasi. Pola berpikir semacam ini sebaiknya tidak boleh diteruskan. Apalagi menggalang ajakan untuk menggeser dan menggusur terhadap eksistensi sesama kader partai guna menciptakan keretakan dari dinamika internal partainya. Sebab dalam berpolitik, tidak sepenuhnya keinginan dan harapan yang melandasi sebuah pencapaian target politik itu terpenuhi.

Banyak yang kurang memahami dan terlihat kesal akibanya menjadi tidak sabar pada sisi kebijakan dan kehati-hatian serta gaya berpikir Megawati yang khas semacam ini. Sehingga kader PDI Perjuangan itu tidak memahami seutuhnya atas bagaimana beliau melandasi tindakannya tanpa melanggar aturan KPU serta mengisyaratkan pengumuman Capres dan Cawapres bulan juni tahun 2023 nanti. Walau dibalik hal itu, banyak dari partai-partai lain yang berusaha mendeklarasikan capresnya lebih awal untuk sekedar mencuri perhatian masyarakat. Dimana pengumuman yang mereka sampaikan belum memenuhi ambang batas atas syarat Presidential Threshold untuk mengusung Capres dan Cawapresnya yang malah terkesan memaksakan diri.

Anggapan jika PDIP membunuh kadernya sendiri menjadi tiupan politik yang kurang pas, apalagi dibalik citra kebijakan politik last minute yang sebenarnya lebih merespon perkembangan dan kehati-hatian terhadap ketepatan serta kecermatan dalam memilih seorang pemimpin yang berskala nasional. Kesadaran akan lawan politik yang begitu kuat, culas dan curang, dibalik amunisinya yang besar bukanlah sekedar dongeng. Informasi itu bisa diakses melalui media sosial saat ini, dimana kelompok pemain diluar politik pun turut mempengaruhi konstelasi kekuatan atas mekanisme penggalangan suara rakyat. Termasuk strategi politik identitas sebagaimana kenyataan yang muncul pada pilgub DKI Jakarta dan Pilpres 2014 serta 2019 yang lalu.

Pengalaman Megawati yang lebih dari 35 tahun dalam menggeluti bidang politik tentu bukanlah waktu yang sekejap. Berbagai pengkhianatan telah dirasakannya, bahkan ancaman atas keselamatan jiwanya pun telah diatasinya dengan segala cara. Termasuk para oknum penjilat yang menjadikannya batu loncatan demi memperoleh akses politik pun tidak sedikit menjeratnya. Walau dibalik kebijakannya itu masyarakat belum memperoleh akses kesejahteraan yang secara langsung dari sisi kelembagaan partai yang dipimpinnya, akan tetapi semestinya masyarakat dan para kadernya melihat buah perjuangan PDIP atas kemenangan Jokowi di dua pertarungan Pilpres 2014 dan 2019 yang lalu. Artinya melalui program Pemerintah saat ini mau tidak mau harus diakui bahwa hal itu merupakan buah perjuangan dari kebesaran jiwanya.

Masyarakat semestinya belajar dari pilpres 2004 silam, dimana SBY mendapat banyak simpatik masyarakat akibat dari perseteruannya dengan taufik Kiemas dan menghantarkannya ke kursi Presiden yang justru menjadikan PDIP diluar kekuasaan. Maka, tidak ada salahnya kita mencoba jalan yang sedikit memutar agar tekanan ke pihak Ganjar Pranowo saat ini justru diharapkan menjadi buah elektabilitas yang baik sebagaimana yang disampaikan oleh banyak kalangan bahwa jika popularitas dan elektabilitas Ganjar Pranowo akan semakin meningkat jika dirinya mendapat tekanan. Bagaimana pun, politik harus diperankan melalui cara dan gaya politik pula. Sebab tidak selamanya pemikiran yang linier itu mendatangkan kalkulasi kemenangan, dan jangan pula berasumsi bahwa Megawati seorang politikus baperan.

Keinginan sebagian kader PDIP terhadap pencalonan GP tidak semestinya menutup keinginan pihak lain untuk mencalonkan Puan Maharani sebagai kader PDIP lainnya, dan tidak pula diartikan adanya pemaksaan kehendak dari Ketum PDIP terhadap sosok Puan yang merupakan anak kandungnya. Itu artinya masyarakat mengkaitkannya kepada hal-hal pribadi untuk menuding Megawati sebagai sosok yang emosional dalam berpolitik. Siapa pun punya kesempatan yang sama, terlebih Puan Maharani bukanlah kader yang memiliki rekam jejak sesaat dalam berkiprah di PDIP sebagai sebuah organisasi politik. Beliau bahkan didapuk menjadi Ketua DPR-RI justru dari partai ini pula. Ganjar Pranowo dan Puan Maharani adalah kader yang sama peluangnya dalam mengambil kesempatan. Bahwa diri mereka harus siap pada penugasan partai dalam posisi apapun.

Mengapa kader PDIP tidak aneh ketika partai Nasdem bahkan memunculkan 3 kandidat yang mereka umumkan sebagai Amanat Rakernas dengan memutuskan dan menetapkan rekomendasi nama bakal capres Partai NasDem di Pemilu 2024 yang akan datang, dimana tiga nama tersebut yakni, Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo, sebagaimana yang disampaikan Surya Paloh di lokasi Rakernas NasDem, JCC Senayan, Jakarta, Jumat, 17 Juni 2022 lalu. Walau pada akhirnya mereka secepat kilat mereka secara resmi menetapkan untuk mengusung Anies Baswedan maju sebagai capres pada Pemilu 2024. Pengumuman itu disampaikan langsung oleh Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Senin tanggal 3/10/2022. Sehingga banyak mengejutkan publik yang mempertanyakan konsistensi sikap nasionalisme partai ini.

Alangkah banyaknya dari kader partai Nasdem yang semula mengkritik habis Anis Baswedan selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, kini seakan-akan menampar muka mereka sendiri. Belum lagi berbagai orasi Surya Paloh yang tampil disetiap panggung politik untuk menyuarakan Restorasi Indonesia yang kini malah menyebutkan jika politik identitas dikatakannya tidak selalu negatif. Bahkan banyak publik mengartikan sebutan sembrono dalam pidato Presiden pada HUT Partai Golkar ke 58 lalu, sebagai sindiran yang ditujukan kepadanya. Apakah kita masih melihat adanya kesesuaian antara pikiran, ucapan dan tindakannya. Lalu, tidakkah kader PDIP melihat bahwa konsistensi Ketumnya tentu jauh lebih baik, sekalipun penulis bukanlah kader PDIP yang sepatutnya membela sikap dan perjuangan partai ini.

Jika kepesertaan partai Nasdem pada dua pemilu yaitu tahun 2014 dan 2019 hingga memperoleh simpatik masyarakat yang diwujudkan melalui kepesertaan pada pemilu perdananya di tahun 2014 dimana partai ini memperoleh suara sebanyak 8.402.812 atau setara 6,72 persen, dan memperoleh 35 kursi di DPR-RI, serta pada pemilu 2019 Partai Nasdem pun mengalami peningkatan menjadi 9,05%, dengan jumlah perolehan suara 12.661.792 atau setara 9,05 persen, dan keterwakilan mereka di senayan sebanyak 59 kursi. Artinya, strategy politik jitu mereka berbuahkan hasil yang manis. Namun Restorasi Indonesia yang mereka usung pun harus kita sandingkan dengan sikap politik mereka saat ini, dimana publik meragukan rekam jejaknya yang diduga merupakan wacana pragmatis dalam memperoleh kekuasaan semata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...