Penulis : Andi Salim
Mekanisme politik semestinya memberikan arus balik dalam tatanan perpolitikan tanah air. Namun tanpa edukasi politik yang terarah, masyarakat cenderung terus-menerus dijadikan objek sasaran bagi tujuan kekuasaan. Padahal tatanan politik justru sebaliknya, bahwa dimensi arus balik berupa perbaikan kesejahteraan masyarakat dan sistem pelayanan yang semestinya diperoleh publik pun semestinya sesuai dengan arus dukungannya, apalagi terhadap para pemangku mandat rakyat tersebut. Kesadaran inilah yang sejatinya merubah pola politik elektoral yang mengedepankan perolehan massa, menuju politik gagasan guna mendekati kepentingan masyarakat sesungguhnya.
Fakta yang seharusnya terjadi bahwa semestinya partai yang tidak memiliki sistem kedekatan terhadap rakyat harusnya tidak memiliki basis elektoral dalam mempertahankan keberadaan mereka. Namun nyatanya, partai-partai yang demikian justru terus tetap melenggang dibalik dibalik elektoral semu yang didapatinya dari sikap bodohnya masyarakat dan transaksi politik yang jalankannya. Bahkan tak jarang partai-partai seperti ini sering melacurkan dirinya demi memperoleh sempalan kekuasaan dari cara mereka yang menjadi pendukung salah satu calon kepala daerah, ditambah lagi calon kepala daerah yang diusungnya tidak menguasai kedudukan hukum dan konstitusi negara.
Sehingga cara ini, pada gilirannya akan menggerus kedudukan publik yang tidak saja mengorbankan garis mandat rakyat untuk menjalankan amanat yang sesuai dengan harapan masyarakatnya, namun sekaligus mengorbankan netralitas negara dalam berbagai kepentingan untuk mengatur berlakunya jalannya hukum dan konstitusi yang ideal. Artinya suara masyarakat akan terus ditransaksikan dengan harga yang murah untuk menutup karakter politiknya terhadap hak dan kewajiban yang semestinya mereka tunaikan. Atau setidaknya mendorong keberadaan UU pemilu dibalik sikap legislatif yang mengingkari fungsi dan mandatnya, termasuk kepada seluruh kepala daerah yang notabenenya tidak paham dengan konstitusi negara.
Toh walau bagaimana pun, mereka juga sudah bisa dipastikan tidak menguasai politik anggaran dan batasan kewenangan daerah. Apalagi mempertanggung jawabkan dari apa yang semestinya mereka lakukan, oleh karena mekanismenya tidak dikuasai terhadap apa yang semestinya diterapkan dan sudah barang tentu pula berbeda dengan harapan dari masyarakat yang dipimpinnya. Termasuk pada peranan otonomi daerah yang memiliki integritas terhadap sektor-sektor sebagai instrumen pengendalian pemerintah dalam menjaga kepentingan negara seutuhnya. Jangan sampai dinamika kepentingan partai dan realitas politik picisan yang dilancarkannya, justru merusak arah dan tujuan berbangsa dan bernegara, apalagi mengalahkan kepentingan negara dengan fanatisme agama yang dianutnya.
Negara melalui berbagai kelembagaan yang termaktub kedalam suprastrukturnya memiliki fokus pada peran pengendaliannya sektor hingga menerapkannya ke daerah. Beberapa kepala daerah sepatutnya tidak bertindak mendahului, apalagi berseberangan, atau melakukan penyangkalan terhadap konstelasi kebijakan pusat sebagai induk policy bernegara. Apalagi para pejabat itu sering terkesan mengungkapkan niat baiknya melalui lidah-lidah mereka yang bercabang dengan menggoyang UU dengan menimbulkan pengertian multi tafsir agar menggoyahkan kedudukan hukum konstitusi yang disebutnya kurang tegak dan tidak memiliki penegasan. Padahal hubungan antara pusat dan daerah sama-sama berlandaskan pada pembentukan nasionalisme kebangsaan dari peranan daerah sekalipun memiliki keragaman suku dan agamanya.
Saat ini kita telah beranjak di tahun 2023 yang memasukinya baru beberapa hari saja. Tantangan di tahun ini bukanlah gambaran peluang untuk mendongkrak ekonomi nasional. Sekalipun masih ada harapan untuk menciptakan pertumbuhan di angka 5% sebagaimana yang diungkapkan Jokowi ketika membuka perdagangan pertama di Bursa Efek Indonesia tahun 2023 yang disiarkan virtual, Senin (2/1/2023). Meski berat, namun kita masih memungkinkan untuk mendapatkan celah permintaan keatas krisis energy yang dialami eropa serta negara-negara lain yang terdampak krisis dunia. Tentu saja momentum tersebut belum bersifat pasti dan sebatas peluang dari agregate demand / permintaan agregat pasar dunia, walau sifatnya perlu ditindaklanjuti.
Sebagaimana yang disampaikan menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa dunia telah kehilangan kapitalisasi market sejumlah 30 juta US dollar ditahun 2022. Ditambah lagi apa yang disampaikan oleh M. Qurtubi yang menyebutkan bahwa Dunia akan mengalami kekurangan pasokan minyak sebanyak 5 juta barel untuk tahun 2023 saat ini. Sementara kebutuhan minyak dalam negeri melalui SKK Migas masih belum mampu menutup pasokan sejumlah 800 ribu barel perhari dari kebutuhan BBM dalam negeri. Sudah barang tentu menutupi kecukupan atas kebutuhan BBM tersebut dengan tetap mengimportnya, dibalik gagalnya pembangunan 5 kilang minyak yang hingga saat ini saja sama sekali tidak ditindaklanjuti.
Jika para investor asing tahun ini akan menahan investasinya ke Indonesia, hal itu masih dapat dimaklumi. Sebab pada 2022 saja meraka bukannya Create Value, namun justru malah losing Value alias merugi. Oleh karenanya, partai-partai politik saat ini semestinya melakukan peran politik gagasan guna menyesuaikan atas tekanan global dan menciptakan kerangka program baru demi melakukan akselerasi pada keadaan dunia saat ini. Sebab jika partai politik Indonesia masih terus berkutat pada fokusnya terhadap kenaikan elektoral massa semata, pastinya bangsa ini tidak lagi memiliki pemikir-pemikir atau negarawan yang bersikukuh memajukan ekonomi bangsanya guna mencapai kesejahteraan rakyatnya pula.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Fakta yang seharusnya terjadi bahwa semestinya partai yang tidak memiliki sistem kedekatan terhadap rakyat harusnya tidak memiliki basis elektoral dalam mempertahankan keberadaan mereka. Namun nyatanya, partai-partai yang demikian justru terus tetap melenggang dibalik dibalik elektoral semu yang didapatinya dari sikap bodohnya masyarakat dan transaksi politik yang jalankannya. Bahkan tak jarang partai-partai seperti ini sering melacurkan dirinya demi memperoleh sempalan kekuasaan dari cara mereka yang menjadi pendukung salah satu calon kepala daerah, ditambah lagi calon kepala daerah yang diusungnya tidak menguasai kedudukan hukum dan konstitusi negara.
Sehingga cara ini, pada gilirannya akan menggerus kedudukan publik yang tidak saja mengorbankan garis mandat rakyat untuk menjalankan amanat yang sesuai dengan harapan masyarakatnya, namun sekaligus mengorbankan netralitas negara dalam berbagai kepentingan untuk mengatur berlakunya jalannya hukum dan konstitusi yang ideal. Artinya suara masyarakat akan terus ditransaksikan dengan harga yang murah untuk menutup karakter politiknya terhadap hak dan kewajiban yang semestinya mereka tunaikan. Atau setidaknya mendorong keberadaan UU pemilu dibalik sikap legislatif yang mengingkari fungsi dan mandatnya, termasuk kepada seluruh kepala daerah yang notabenenya tidak paham dengan konstitusi negara.
Toh walau bagaimana pun, mereka juga sudah bisa dipastikan tidak menguasai politik anggaran dan batasan kewenangan daerah. Apalagi mempertanggung jawabkan dari apa yang semestinya mereka lakukan, oleh karena mekanismenya tidak dikuasai terhadap apa yang semestinya diterapkan dan sudah barang tentu pula berbeda dengan harapan dari masyarakat yang dipimpinnya. Termasuk pada peranan otonomi daerah yang memiliki integritas terhadap sektor-sektor sebagai instrumen pengendalian pemerintah dalam menjaga kepentingan negara seutuhnya. Jangan sampai dinamika kepentingan partai dan realitas politik picisan yang dilancarkannya, justru merusak arah dan tujuan berbangsa dan bernegara, apalagi mengalahkan kepentingan negara dengan fanatisme agama yang dianutnya.
Negara melalui berbagai kelembagaan yang termaktub kedalam suprastrukturnya memiliki fokus pada peran pengendaliannya sektor hingga menerapkannya ke daerah. Beberapa kepala daerah sepatutnya tidak bertindak mendahului, apalagi berseberangan, atau melakukan penyangkalan terhadap konstelasi kebijakan pusat sebagai induk policy bernegara. Apalagi para pejabat itu sering terkesan mengungkapkan niat baiknya melalui lidah-lidah mereka yang bercabang dengan menggoyang UU dengan menimbulkan pengertian multi tafsir agar menggoyahkan kedudukan hukum konstitusi yang disebutnya kurang tegak dan tidak memiliki penegasan. Padahal hubungan antara pusat dan daerah sama-sama berlandaskan pada pembentukan nasionalisme kebangsaan dari peranan daerah sekalipun memiliki keragaman suku dan agamanya.
Saat ini kita telah beranjak di tahun 2023 yang memasukinya baru beberapa hari saja. Tantangan di tahun ini bukanlah gambaran peluang untuk mendongkrak ekonomi nasional. Sekalipun masih ada harapan untuk menciptakan pertumbuhan di angka 5% sebagaimana yang diungkapkan Jokowi ketika membuka perdagangan pertama di Bursa Efek Indonesia tahun 2023 yang disiarkan virtual, Senin (2/1/2023). Meski berat, namun kita masih memungkinkan untuk mendapatkan celah permintaan keatas krisis energy yang dialami eropa serta negara-negara lain yang terdampak krisis dunia. Tentu saja momentum tersebut belum bersifat pasti dan sebatas peluang dari agregate demand / permintaan agregat pasar dunia, walau sifatnya perlu ditindaklanjuti.
Sebagaimana yang disampaikan menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa dunia telah kehilangan kapitalisasi market sejumlah 30 juta US dollar ditahun 2022. Ditambah lagi apa yang disampaikan oleh M. Qurtubi yang menyebutkan bahwa Dunia akan mengalami kekurangan pasokan minyak sebanyak 5 juta barel untuk tahun 2023 saat ini. Sementara kebutuhan minyak dalam negeri melalui SKK Migas masih belum mampu menutup pasokan sejumlah 800 ribu barel perhari dari kebutuhan BBM dalam negeri. Sudah barang tentu menutupi kecukupan atas kebutuhan BBM tersebut dengan tetap mengimportnya, dibalik gagalnya pembangunan 5 kilang minyak yang hingga saat ini saja sama sekali tidak ditindaklanjuti.
Jika para investor asing tahun ini akan menahan investasinya ke Indonesia, hal itu masih dapat dimaklumi. Sebab pada 2022 saja meraka bukannya Create Value, namun justru malah losing Value alias merugi. Oleh karenanya, partai-partai politik saat ini semestinya melakukan peran politik gagasan guna menyesuaikan atas tekanan global dan menciptakan kerangka program baru demi melakukan akselerasi pada keadaan dunia saat ini. Sebab jika partai politik Indonesia masih terus berkutat pada fokusnya terhadap kenaikan elektoral massa semata, pastinya bangsa ini tidak lagi memiliki pemikir-pemikir atau negarawan yang bersikukuh memajukan ekonomi bangsanya guna mencapai kesejahteraan rakyatnya pula.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar