Penulis : Andi salim
Penerapan ancaman hukuman mati merupakan peringatan bagi koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi terhadap bantuan sosial penanganan bencana seperti COVID-19. Sebab dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku penegak hukum harus lebih berani untuk melakukan penuntutan terhadap kasus dugaan korupsi tersebut dengan pidana mati. Meskipun nantinya dimungkinkan bahwa kasus dugaan korupsi tersebut tidak terbukti di pengadilan, namun KPK diharapkan harus melakukan dakwaan dengan pidana mati sebagai bentuk komitmen terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal ini muncul akibat polemik mengenai penerapan ancaman hukuman mati yang menguat dalam kasus dugaan suap Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Sehingga publik marah dan ikut mendesak agar pelaku korupsi didakwa sebagai pidana mati, apalagi yang menyangkut proyek kemanusiaan berupa bantuan sosial penanggulangan dampak pandemi saat ini, yang dirasakan keterlaluan dan memenggal konsumsi bantuan rakyat miskin.
Aturan hukum yang disebutkan pada Ayat 2, Pasal 2 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dimana ayat itu berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Walau dalam penjelasan pasal tersebut, masih terdapat multi tafsir dari apa yang dimaksud dengan keadaan tertentu, yang semestinya merujuk pada waktu negara dalam keadaan bahaya, atau sesuai dengan makna tunggal yang disebutkan dari pasal lain dalam undang-undang yang berlaku.
Ketentuan masa tunggu eksekusi bagi terpidana mati tidak diatur secara rinci dalam undang-undang, secara yuridis terdapat beberapa faktor untuk menunda eksekusi dengan berbagai pertimbangannya. Di luar faktor-faktor tersebut penundaan eksekusi mati sesungguhnya merupakan perlakuan inskonstitusional. Ketidakpastian hukum terhadap masa tunggu eksekusi merupakan disharmonisasi antara hukum materil dan hukum formil.
Sebab berlakunya masa tunggu tersebut, apalagi ada inisiatif untuk merubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup bagi kejahatan extra ordinary crime yang seakan menjadi angin segar untuk membahagiakan terpidana yang sekaligus akan berdampak tidak tercapainya efek jera / deterrent effect dan tidak tercapainya keadilan serta kemanfaatan penegakan hukum itu sendiri. Ketentuan untuk memberikan kepastian hukum dan berlakunya masa tunggu eksekusi pidana mati yang sangat lama. Bukanlah merupakan solusi terhadap orang-orang terpidana mati hingga memperoleh kesan yang menyamarkannya dengan hukuman seumur hidup.
Tanpa bermaksud melakukan pembelaan terhadap mantan Mensos saudara Juliari Peter Batubara, hukuman mati ini harus dikesankan keadilan bagi semua pihak dan bukan merupakan justifikasi terhadap suatu golongan dan kelompok tertentu sehingga mengarahkannya agar lebih tajam dan memfungsikan hukum ketika pelakunya berasal dari satu golongan tertentu saja, sebab peristiwa kejahatan pada bidang korupsi lain pun sama dampaknya dengan menekan kesejahteraan rakyat bagi seluruh Indonesia.
Ada banyak kelembagaan kita yang seakan-akan diseret demi kepentingan suatu kelompok, maka kita tidak ingin melihat esensi pemberlakuan undang-undang yang juga ikut terseret kepada opini yang diarahkan demi kepentingan politik atau hal lain guna diberlakukan bagi menekan kelompok tertentu sehingga instrumen hukum menjadi alat yang ampuh untuk membramus keberadaan dari setiap perbedaan pandangan atau pendapat yang justru harus disiplin mempertahankan Roh yang suci yang berlandaskan penerapan pada azas keadilan bagi semua elemen dan komponen yang membutuhkannya tegak dan kokoh.
Lagi pula wacana hukuman mati dirasakan masih terlalu muluk dan opini yang seakan meneteskan air ditengah kedahagaan masyarakat, padahal negri ini tidak akan pernah sampai pada tujuan itu. Sebab pemberlakuan untuk menyita seluruh harta kekayaan koruptor beserta aliran dana yang mengalir dari tindak pidana korupsi saja kita tak pernah mampu untuk memberlakukannya. Apalagi lebih dari itu, sehingga penulis berkeyakinan jika hal itu menjadi mustahil dan hanya fatamorgana saja.
Bukankah tindak pidana korupsi sudah dilabeli dengan istilah khusus dan bersifat ekstra ordinary crime, atau kita akan mengangkatnya dengan istilah yang lebih tinggi lagi dengan menambahkan kata super didepan kata ekstra ordinary crime tersebut, untuk apa istilahnya yang dikembangkan, sementara tingkat pelaku korupsi selalu bertambah dan KPK sendiri selalu timpang dalam penyelamatan uang megara bila dibandingkan dengan anggaran yang diserapnya melalui APBN kita.
#Toleransiindonesia #Andisalim #jkwguard
Mari kita suarakan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku penegak hukum harus lebih berani untuk melakukan penuntutan terhadap kasus dugaan korupsi tersebut dengan pidana mati. Meskipun nantinya dimungkinkan bahwa kasus dugaan korupsi tersebut tidak terbukti di pengadilan, namun KPK diharapkan harus melakukan dakwaan dengan pidana mati sebagai bentuk komitmen terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal ini muncul akibat polemik mengenai penerapan ancaman hukuman mati yang menguat dalam kasus dugaan suap Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Sehingga publik marah dan ikut mendesak agar pelaku korupsi didakwa sebagai pidana mati, apalagi yang menyangkut proyek kemanusiaan berupa bantuan sosial penanggulangan dampak pandemi saat ini, yang dirasakan keterlaluan dan memenggal konsumsi bantuan rakyat miskin.
Aturan hukum yang disebutkan pada Ayat 2, Pasal 2 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dimana ayat itu berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Walau dalam penjelasan pasal tersebut, masih terdapat multi tafsir dari apa yang dimaksud dengan keadaan tertentu, yang semestinya merujuk pada waktu negara dalam keadaan bahaya, atau sesuai dengan makna tunggal yang disebutkan dari pasal lain dalam undang-undang yang berlaku.
Ketentuan masa tunggu eksekusi bagi terpidana mati tidak diatur secara rinci dalam undang-undang, secara yuridis terdapat beberapa faktor untuk menunda eksekusi dengan berbagai pertimbangannya. Di luar faktor-faktor tersebut penundaan eksekusi mati sesungguhnya merupakan perlakuan inskonstitusional. Ketidakpastian hukum terhadap masa tunggu eksekusi merupakan disharmonisasi antara hukum materil dan hukum formil.
Sebab berlakunya masa tunggu tersebut, apalagi ada inisiatif untuk merubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup bagi kejahatan extra ordinary crime yang seakan menjadi angin segar untuk membahagiakan terpidana yang sekaligus akan berdampak tidak tercapainya efek jera / deterrent effect dan tidak tercapainya keadilan serta kemanfaatan penegakan hukum itu sendiri. Ketentuan untuk memberikan kepastian hukum dan berlakunya masa tunggu eksekusi pidana mati yang sangat lama. Bukanlah merupakan solusi terhadap orang-orang terpidana mati hingga memperoleh kesan yang menyamarkannya dengan hukuman seumur hidup.
Tanpa bermaksud melakukan pembelaan terhadap mantan Mensos saudara Juliari Peter Batubara, hukuman mati ini harus dikesankan keadilan bagi semua pihak dan bukan merupakan justifikasi terhadap suatu golongan dan kelompok tertentu sehingga mengarahkannya agar lebih tajam dan memfungsikan hukum ketika pelakunya berasal dari satu golongan tertentu saja, sebab peristiwa kejahatan pada bidang korupsi lain pun sama dampaknya dengan menekan kesejahteraan rakyat bagi seluruh Indonesia.
Ada banyak kelembagaan kita yang seakan-akan diseret demi kepentingan suatu kelompok, maka kita tidak ingin melihat esensi pemberlakuan undang-undang yang juga ikut terseret kepada opini yang diarahkan demi kepentingan politik atau hal lain guna diberlakukan bagi menekan kelompok tertentu sehingga instrumen hukum menjadi alat yang ampuh untuk membramus keberadaan dari setiap perbedaan pandangan atau pendapat yang justru harus disiplin mempertahankan Roh yang suci yang berlandaskan penerapan pada azas keadilan bagi semua elemen dan komponen yang membutuhkannya tegak dan kokoh.
Lagi pula wacana hukuman mati dirasakan masih terlalu muluk dan opini yang seakan meneteskan air ditengah kedahagaan masyarakat, padahal negri ini tidak akan pernah sampai pada tujuan itu. Sebab pemberlakuan untuk menyita seluruh harta kekayaan koruptor beserta aliran dana yang mengalir dari tindak pidana korupsi saja kita tak pernah mampu untuk memberlakukannya. Apalagi lebih dari itu, sehingga penulis berkeyakinan jika hal itu menjadi mustahil dan hanya fatamorgana saja.
Bukankah tindak pidana korupsi sudah dilabeli dengan istilah khusus dan bersifat ekstra ordinary crime, atau kita akan mengangkatnya dengan istilah yang lebih tinggi lagi dengan menambahkan kata super didepan kata ekstra ordinary crime tersebut, untuk apa istilahnya yang dikembangkan, sementara tingkat pelaku korupsi selalu bertambah dan KPK sendiri selalu timpang dalam penyelamatan uang megara bila dibandingkan dengan anggaran yang diserapnya melalui APBN kita.
#Toleransiindonesia #Andisalim #jkwguard
Mari kita suarakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar