Penulis : Andi Salim
Bohong adalah pernyataan yang salah dari seseorang dengan tujuan agar pendengarnya percaya. Orang yang sering berbicara bohong dan terutama orang yang mempunyai kebiasaan berbohong disebut pembohong. Menjadi pembohong memang tidaklah mudah sebagaimana dibayangkan, sebab dibutuhkan keterampilan supaya tidak mudah diketahui oleh pendengarnya. Seorang pembohong harus memiliki alasan untuk melakukan kebohongannya. Dengan demikian, orang tersebut akan memiliki batas kebohongannya untuk bisa menghemat ucapan kebohongan yang disampaikannya agar tidak berbenturan dengan cerita kebohongan baru yang akan dibuatnya kemudian.
Orang yang sering berbohong sesungguhnya tidak dapat menahan diri agar menyimpan perbuatannya secara rapat untuk disembunyikan, malah sering didapati mereka justru membocorkan kebohongannya kepada orang lain. Secara umum, kebohongan dipandang sebagai perbuatan negatif, jika seseorang berbohong hal itu disebabkan oleh tidak pandainya mereka dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Kebohongan sering menjadi cara bagi seseorang untuk menutupi kelemahannya. Kebohongan yang dibangun untuk menjatuhkan orang lain yang didasari karena adanya kelemahan pada diri seseorang atau demi kepentingan tertentu akan berakibat buruk bagi para pelakunya.
Banyak yang tertipu oleh kebohongan yang sering diulang-ulang oleh pelakunya hingga terdengar seperti fakta kebenaran, bahkan tak jarang para pembohong ini memasang muka temboknya dengan ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang meyakinkan sebagai tamengnya. Namun pada era digital saat ini, tentu hal itu menjadi mudah diketahui. Apalagi seorang pembohong itu merupakan seorang publik figur atau mantan pejabat sekelas Gubernur oleh karena rekam jejaknya yang dimiliki banyak orang. Namun cerita mengenai kebohongannya selalu menarik perhatian layaknya pengarang sebuah cerita fiksi, banyak yang menelusuri keberadaan figur seorang pembohong ini untuk sekedar mendengar kelanjutan dari berbagai hikayat kebohongan yang di karangnya.
Apakah seorang pembohong akan dibatasi oleh undang-undang untuk tidak memiliki kesempatan menjadi pejabat negara. Faktanya banyak dari pejabat negara yang sering berbohong, terutama yang terkait prihal perolehan anggaran dan penggunaan / penyerapan anggaran yang menjadi kewenangannya. Hal ini semakin sulit dibuktikan, manakala sosok pembohong itu bekerja sama dengan para oknum partai politik dalam proses penggelapan anggaran agar tidak terungkap ke publik serta dilindungi oleh penegak hukum demi merintangi berbagai kasus yang melilitnya. Sehingga sosok pembohong ini semakin melenggang dipanggung politik untuk menaiki tangga kekuasaan terhadap jenjang jabatannya yang lebih tinggi.
Tujuan seseorang berbohong memang terkait dengan keuntungan yang bisa didapat oleh para pelakunya. Baik kebohongan yang datangnya dari seorang pemalas hingga mencari-cari alasan agar dirinya tidak diberhentikan, kebohongan atas mereka yang bodoh agar menutupi tuntutan penyelesaian masalah yang tidak dikuasainya, serta miskin kreatifitas dan inovasi sehingga membiarkan orang disekitarnya melakukan apa yang mereka kehendaki tanpa mampu melakukan pengawasan dan pengendalian dikarenakan kemampuan leadershipnya yang rendah. Resiko atas gagalnya suatu perencanaan kerja tentu akan terjadi manakala pembohong ini memegang peranan penting dalam suatu pengambilan keputusan.
Seorang pembohong cenderung dimanfaatkan oleh orang lain untuk berbagi keuntungan dari caranya yang pandai berkelit terhadap berbagai pertanyaan para wartawan dan penyelidikan yang dilakukan oleh penegak hukum. Tak jarang para bohir proyek-proyek pemerintah mencari sosok pejabat semacam ini yang mereka anggap bodoh dan mudah diajak kompromi sepanjang azas saling menguntungkan. Apalagi kemampuannya leadershipnya yang rendah diketahui oleh bawahannya yang memanfaatkannya sebagai upaya penyimpangan lain untuk memungkinkan hal itu terjadi, termasuk pada sisi pelayanan publik dengan merubah image terselubung mereka "Jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah".
Tentu saja dampak buruk birokrasi semacam ini akan dirasakan masyarakat sebagai kerugian yang bersifat terbuangnya waktu oleh karena harus menunggu sekian lama dalam penerapan daftar antri yang sengaja dijadikan alasan mereka untuk pengurusan dan permohonan ijin usaha dan lainnya, serta pelayanan pendidikan dan kesehatan yang terpaksa harus lebih banyak mengeluarkan uang demi menebus biaya dan syarat yang tidak semestinya diberlakukan sebagai penerapan pungli dan catutan lain, termasuk tenaga yang harus dikeluarkan akibat bolak-balik dan berkali-kalinya masyarakat datang ke loket pelayanan melalui proses penerapan pelayanannya yang berbelit-belit, sehingga semakin tidak efisien, dan sama sekali merugikan negara dan menghambat kemajuan bangsa.
Sebab bagaimana pun, pajak rakyat itu diperuntukkan guna memudahkan pelayanan terhadap masyarakat. Gampang saja menciptakan kemunduran bagi bangsa dan negara ini, bila calon pemimpin yang jujur dan amanah tidak lagi diperlukan, maka serahkan saja kepada para pembohong dan yang tidak amanah itu, niscaya kita akan merasakan kehancuran. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (SAW): "Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya: 'Bagaimana maksud amanah disia-siakan?' Nabi menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (HR Al-Bukhari). Apakah kita semua akan sebodoh itu, sebab Nabi telah mengingatkan hal ini secara tegas pula.
Terima kasih telah bersedia menyempatkan waktu untuk membaca penulisan saya yang sederhana ini. Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Orang yang sering berbohong sesungguhnya tidak dapat menahan diri agar menyimpan perbuatannya secara rapat untuk disembunyikan, malah sering didapati mereka justru membocorkan kebohongannya kepada orang lain. Secara umum, kebohongan dipandang sebagai perbuatan negatif, jika seseorang berbohong hal itu disebabkan oleh tidak pandainya mereka dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Kebohongan sering menjadi cara bagi seseorang untuk menutupi kelemahannya. Kebohongan yang dibangun untuk menjatuhkan orang lain yang didasari karena adanya kelemahan pada diri seseorang atau demi kepentingan tertentu akan berakibat buruk bagi para pelakunya.
Banyak yang tertipu oleh kebohongan yang sering diulang-ulang oleh pelakunya hingga terdengar seperti fakta kebenaran, bahkan tak jarang para pembohong ini memasang muka temboknya dengan ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang meyakinkan sebagai tamengnya. Namun pada era digital saat ini, tentu hal itu menjadi mudah diketahui. Apalagi seorang pembohong itu merupakan seorang publik figur atau mantan pejabat sekelas Gubernur oleh karena rekam jejaknya yang dimiliki banyak orang. Namun cerita mengenai kebohongannya selalu menarik perhatian layaknya pengarang sebuah cerita fiksi, banyak yang menelusuri keberadaan figur seorang pembohong ini untuk sekedar mendengar kelanjutan dari berbagai hikayat kebohongan yang di karangnya.
Apakah seorang pembohong akan dibatasi oleh undang-undang untuk tidak memiliki kesempatan menjadi pejabat negara. Faktanya banyak dari pejabat negara yang sering berbohong, terutama yang terkait prihal perolehan anggaran dan penggunaan / penyerapan anggaran yang menjadi kewenangannya. Hal ini semakin sulit dibuktikan, manakala sosok pembohong itu bekerja sama dengan para oknum partai politik dalam proses penggelapan anggaran agar tidak terungkap ke publik serta dilindungi oleh penegak hukum demi merintangi berbagai kasus yang melilitnya. Sehingga sosok pembohong ini semakin melenggang dipanggung politik untuk menaiki tangga kekuasaan terhadap jenjang jabatannya yang lebih tinggi.
Tujuan seseorang berbohong memang terkait dengan keuntungan yang bisa didapat oleh para pelakunya. Baik kebohongan yang datangnya dari seorang pemalas hingga mencari-cari alasan agar dirinya tidak diberhentikan, kebohongan atas mereka yang bodoh agar menutupi tuntutan penyelesaian masalah yang tidak dikuasainya, serta miskin kreatifitas dan inovasi sehingga membiarkan orang disekitarnya melakukan apa yang mereka kehendaki tanpa mampu melakukan pengawasan dan pengendalian dikarenakan kemampuan leadershipnya yang rendah. Resiko atas gagalnya suatu perencanaan kerja tentu akan terjadi manakala pembohong ini memegang peranan penting dalam suatu pengambilan keputusan.
Seorang pembohong cenderung dimanfaatkan oleh orang lain untuk berbagi keuntungan dari caranya yang pandai berkelit terhadap berbagai pertanyaan para wartawan dan penyelidikan yang dilakukan oleh penegak hukum. Tak jarang para bohir proyek-proyek pemerintah mencari sosok pejabat semacam ini yang mereka anggap bodoh dan mudah diajak kompromi sepanjang azas saling menguntungkan. Apalagi kemampuannya leadershipnya yang rendah diketahui oleh bawahannya yang memanfaatkannya sebagai upaya penyimpangan lain untuk memungkinkan hal itu terjadi, termasuk pada sisi pelayanan publik dengan merubah image terselubung mereka "Jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah".
Tentu saja dampak buruk birokrasi semacam ini akan dirasakan masyarakat sebagai kerugian yang bersifat terbuangnya waktu oleh karena harus menunggu sekian lama dalam penerapan daftar antri yang sengaja dijadikan alasan mereka untuk pengurusan dan permohonan ijin usaha dan lainnya, serta pelayanan pendidikan dan kesehatan yang terpaksa harus lebih banyak mengeluarkan uang demi menebus biaya dan syarat yang tidak semestinya diberlakukan sebagai penerapan pungli dan catutan lain, termasuk tenaga yang harus dikeluarkan akibat bolak-balik dan berkali-kalinya masyarakat datang ke loket pelayanan melalui proses penerapan pelayanannya yang berbelit-belit, sehingga semakin tidak efisien, dan sama sekali merugikan negara dan menghambat kemajuan bangsa.
Sebab bagaimana pun, pajak rakyat itu diperuntukkan guna memudahkan pelayanan terhadap masyarakat. Gampang saja menciptakan kemunduran bagi bangsa dan negara ini, bila calon pemimpin yang jujur dan amanah tidak lagi diperlukan, maka serahkan saja kepada para pembohong dan yang tidak amanah itu, niscaya kita akan merasakan kehancuran. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (SAW): "Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya: 'Bagaimana maksud amanah disia-siakan?' Nabi menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (HR Al-Bukhari). Apakah kita semua akan sebodoh itu, sebab Nabi telah mengingatkan hal ini secara tegas pula.
Terima kasih telah bersedia menyempatkan waktu untuk membaca penulisan saya yang sederhana ini. Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar