Penulis: Andi Salim
Pembicaraan mengenai sesuatu hal yang penting sering kali kandas, apalagi scope pembahasannya terkait pada hal-hal yang bersifat prinsip serta berujung pada apa dan bagaimana serta kemana arah pembicaraan itu akan di konklusikan. Sekalipun terdapat pijakan keadilan dan kesejajaran dalam mengambil keputusan, namun diplomasi yang demikian bukanlah satu-satunya yang menjadi cara formal untuk dipraktekkan secara langsung dalam mencapai apa yang di inginkan oleh seseorang atau kelompok. Sebab masih ada plan A dan Plan B dari cara formal itu yang masih bisa dijalankan sepanjang media kearah sana tersedia dan bisa diwujudkan sebagai second strategic guna menuntaskan hal tersebut.
Namun jika cara formal tersebut masih gagal, maka banyak pula yang menerapkan cara lain yang dianggap jitu untuk mendapatkan kesepakatan dari pihak yang dianggap sulit mendapatkan persetujuan dari beberapa dialog formal yang telah ditempuh. Maka tak jarang sebagian orang / pihak yang berkepentingan akan mengambil jalan informal itu sebagai solusi efektif diluar kekakuan hubungan yang terjadi. Bahkan hampir sebagian orang terkadang menyukai cara ini dengan menerapkannya justru sebelum media formal itu dijajakinya. Sehingga pada dialog informal semacam itu, segalanya bahkan terasa lebih cair serta lebih mudah mendapatkan persetujuan dari apa yang diharapkan seseorang.
Jika kita menelaah lebih dalam, khususnya terkait pembahasan pada kepentingan bangsa dan negara, tentu saja akan melihat pada dimensi berbagai faktor yang menyelimutinya. Termasuk ruang-ruang eksternal dan internal yang terikat dan mengikat berbagai elemen suatu bangsa itu untuk bisa bangkit dan meraih masa kejayaannya. Apalagi tak jarang yang membicarakan hal semacam ini pada perspektif yang terlalu sempit atau malah terlalu luas pula bila disandingkan dengan kondisi ideal bagi pencapaian dari tujuan berbangsa dan bernegara tersebut. Faktor inilah yang harus dicermati, bahwa harapan terhadap kinerja sebuah pencapaian suatu bangsa akan tergantung dari siapa dan bagaimana cara pandang seseorang sekaligus pada harapan yang di inginkannya.
Artinya, gambaran mengenai harapan terhadap pencapaian sebuah negara tentu semakin beragam oleh karena terkait dengan siapa yang bicara dan apa yang di inginkannya. Belum lagi jika hal itu dipengaruhi faktor lain seperti jenis kelamin, faktor usia, tingkat pendidikan dan disparitas sosial yang ikut melandasi cara pandang dan pemikiran seseorang pula. Pada dimensi inilah wujud suatu pembahasan itu akan tampak sebagai keinginan seluruh warga bangsa yang harus diperhatikan meski sudah barang tentu tidak akan mungkin memuaskan seluruh pihak. Sebab bukan saja jumlah penduduk Indonesia yang saat ini mencapai lebih dari 275 juta jiwa, namun penyebaran wilayahnya pun terdiri lebih dari 17 ribu pulau yang terangkum kedalam 38 Provinsi dan 514 Kabupaten / Kota.
Apalagi sekedar berpegangan pada kendali agama, suku, ras dan tradisi yang melatar belakangi ikatan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Bahkan bukan tidak mungkin banyak dari masyarakat yang tidak pernah menjejakkan kakinya di semua provinsi yang ada, apalagi menyusurinya lebih dalam untuk mengetahui keadaan lingkungan serta tradisi yang mereka miliki dari banyaknya jumlah kabupaten / kota, termasuk mencermati keberagaman sifat kekhususan dari mereka yang berada diwilayah pelosok pedalaman yang hingga saat ini pun masih ada yang belum terjamah oleh kehadiran negara sekalipun. Jangankan memperhatikan secara detail dari hajat hidup warga negaranya yang bermobilitas tinggi, bahkan mengamankan pulau-pulau terluarnya sebagai aset yang tak bergerak pun belum sepenuhnya bisa dilakukan.
Hingga saat ini, masih saja ada pulau yang belum memiliki nama dan belum pula tercatat sebagai aset bangsa Indonesia yang terdaftar di PBB. Hal itu tentu saja dianggap rentan atas penyerobotan wilayah Indonesia oleh negara lain sebagaimana pulau sepadan, ligitan, dan gugusan pulau pasir NTT yang sebenarnya bisa kita kuasai sepenuhnya. Disinilah ketinggian dan keluasan cara pandang dari setiap warga negara itu akan teruji. Termasuk pada kondisi geopolitik dan geoekonomi global yang berimplikasi cukup serius terhadap peranan Indonesia bagi negara-negara di Asia Tenggara, dan persaingan Indonesia terhadap mitra negara-negara baratnya, serta sentuhannya yang berbeda dengan negara-negara kawasan timur seperti Rusia, China dan yang lainnya. Sehingga skema politiknya pun harus di konstruksikan secara berimbang demi mendapatkan peluang bagi kemajuan bangsa dan negara ini.
Perbedaan tingkat usia mempengaruhi setiap cara pandang seseorang. Sosok Megawati yang beranjak sepuh, tentu saja semakin kurang update dalam menguasai informasi publik dan menangkap berbagai keinginan masyarakatnya. Walau kondisinya yang demikian, Megawati masih dianggap cermat melalui pemikirannya yang luas terhadap keadaan Indonesia saat ini. Dibalik usianya terpaut jauh pada generasi muda sekarang, apalagi pada era digitalisasi yang kian mendampingi kehidupan warga bangsanya yang tentu saja hal itu menggeser berbagai indikator dari apa yang ditangkap oleh dirinya sebagai pijakan dalam membangun NKRI ini. Hadirnya Jokowi sekaligus mendekatkan opini berfikir serta disparitas sosial yang sebelumnya terlalu lebar dan jauh terhadap kemajuan bangsa lain, hingga Indonesia mampu mensejajarkan diri pada kondisi yang up to date dimasa sekarang.
Kita memang belum berterima kasih kepada Megawati yang telah menemukan sosok Jokowi sejak pemilihan Walikotanya di solo pada tahun 2005 silam. oleh karena masa jabatan Presidennya yang masih tersisa hingga 2024 yang akan datang. Namun tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kedudukan Megawati saat ini, wajar saja jika Jokowi berinisiatif menjadi Play Maker dengan mengajak Guntur Soekarnoputra dan Ganjar Pranowo yang diundang ke istana, dimana penulis menduga bahwa hal itu untuk mempersiapkan estafet penerus pasca berakhirnya masa jabatan Presidennya di 2024 yang akan datang. Dimana inisiatif itu demi menampung berbagai aspirasi yang sesuai dengan keinginan rakyatnya. Tentu saja inisiatif tersebut dianggap sebagai strategi untuk mengepung dirinya selaku ketua umum PDIP saat ini.
Dari prediksi tersebut, penulis pun mengamati bahwa Airlangga Hartarto dengan koalisi KIB yang terdiri atas Golkar, PAN dan PPP belum juga menyebutkan capresnya, serta Koalisi KIR yang terdiri dari Gerindra dan PKB yang masih menunggu keputusan Megawati tersebut. Skema inilah yang mungkin ditangkap Megawati sebagai sesuatu yang kurang berkenan untuk diterima olehnya. Maka dengan sedikit kecewa, beliau menyindir Jokowi dengan mengatakan bahwa secara legal formal, PDI Perjuanganlah yang memberikan peluang bagi kekuasaannya saat ini. Termasuk menghardik partai-partai yang tidak memiliki kader sendiri untuk diusung sebagai Presiden pada 2024 nanti. Walau dirinya menyadari bahwa tujuan dari gagasan itu sesungguhnya menuju pada kebaikan, akan tetapi beliau boleh saja meluapkan kekecewaannya pada forum yang menjadi wilayah otoritasnya selaku ketua umum PDI Perjuangan.
Hingga berakhir acara tersebut, beliau sama sekali belum mau menyebutkan nama capres 2024 yang akan diusung oleh PDI Perjuangan tersebut. Penerapan strategi politik formal dan informal yang diduga diperankan oleh jokowi saat ini lebih kepada mempersiapkan kelanjutan koalisi partai tersebut yang saat ini masih bersama dirinya didalam kabinet pemerintahannya sekarang. Keinginan Jokowi untuk meneruskannya koalisi partai pendukung itu sebenarnya tetap akan terjadi sekalipun hal itu di inisiasi oleh Megawati selaku ketum PDI Perjuangan, sebab memang belum pernah terjadi Partai besutan Megawati tersebut mengusung capresnya tanpa berkoalisi dengan partai lain. Walau skemanya koalisi kali ini sedikit berbeda oleh karena pembentukannya semacam Cluster koalisi yang terdiri dari koalisi-koalisi yang memenuhi syarat Presidential Threshold, apalagi pasca keluarnya Nasdem yang akan digantikan PAN dan Gerindra kedalamnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Namun jika cara formal tersebut masih gagal, maka banyak pula yang menerapkan cara lain yang dianggap jitu untuk mendapatkan kesepakatan dari pihak yang dianggap sulit mendapatkan persetujuan dari beberapa dialog formal yang telah ditempuh. Maka tak jarang sebagian orang / pihak yang berkepentingan akan mengambil jalan informal itu sebagai solusi efektif diluar kekakuan hubungan yang terjadi. Bahkan hampir sebagian orang terkadang menyukai cara ini dengan menerapkannya justru sebelum media formal itu dijajakinya. Sehingga pada dialog informal semacam itu, segalanya bahkan terasa lebih cair serta lebih mudah mendapatkan persetujuan dari apa yang diharapkan seseorang.
Jika kita menelaah lebih dalam, khususnya terkait pembahasan pada kepentingan bangsa dan negara, tentu saja akan melihat pada dimensi berbagai faktor yang menyelimutinya. Termasuk ruang-ruang eksternal dan internal yang terikat dan mengikat berbagai elemen suatu bangsa itu untuk bisa bangkit dan meraih masa kejayaannya. Apalagi tak jarang yang membicarakan hal semacam ini pada perspektif yang terlalu sempit atau malah terlalu luas pula bila disandingkan dengan kondisi ideal bagi pencapaian dari tujuan berbangsa dan bernegara tersebut. Faktor inilah yang harus dicermati, bahwa harapan terhadap kinerja sebuah pencapaian suatu bangsa akan tergantung dari siapa dan bagaimana cara pandang seseorang sekaligus pada harapan yang di inginkannya.
Artinya, gambaran mengenai harapan terhadap pencapaian sebuah negara tentu semakin beragam oleh karena terkait dengan siapa yang bicara dan apa yang di inginkannya. Belum lagi jika hal itu dipengaruhi faktor lain seperti jenis kelamin, faktor usia, tingkat pendidikan dan disparitas sosial yang ikut melandasi cara pandang dan pemikiran seseorang pula. Pada dimensi inilah wujud suatu pembahasan itu akan tampak sebagai keinginan seluruh warga bangsa yang harus diperhatikan meski sudah barang tentu tidak akan mungkin memuaskan seluruh pihak. Sebab bukan saja jumlah penduduk Indonesia yang saat ini mencapai lebih dari 275 juta jiwa, namun penyebaran wilayahnya pun terdiri lebih dari 17 ribu pulau yang terangkum kedalam 38 Provinsi dan 514 Kabupaten / Kota.
Apalagi sekedar berpegangan pada kendali agama, suku, ras dan tradisi yang melatar belakangi ikatan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Bahkan bukan tidak mungkin banyak dari masyarakat yang tidak pernah menjejakkan kakinya di semua provinsi yang ada, apalagi menyusurinya lebih dalam untuk mengetahui keadaan lingkungan serta tradisi yang mereka miliki dari banyaknya jumlah kabupaten / kota, termasuk mencermati keberagaman sifat kekhususan dari mereka yang berada diwilayah pelosok pedalaman yang hingga saat ini pun masih ada yang belum terjamah oleh kehadiran negara sekalipun. Jangankan memperhatikan secara detail dari hajat hidup warga negaranya yang bermobilitas tinggi, bahkan mengamankan pulau-pulau terluarnya sebagai aset yang tak bergerak pun belum sepenuhnya bisa dilakukan.
Hingga saat ini, masih saja ada pulau yang belum memiliki nama dan belum pula tercatat sebagai aset bangsa Indonesia yang terdaftar di PBB. Hal itu tentu saja dianggap rentan atas penyerobotan wilayah Indonesia oleh negara lain sebagaimana pulau sepadan, ligitan, dan gugusan pulau pasir NTT yang sebenarnya bisa kita kuasai sepenuhnya. Disinilah ketinggian dan keluasan cara pandang dari setiap warga negara itu akan teruji. Termasuk pada kondisi geopolitik dan geoekonomi global yang berimplikasi cukup serius terhadap peranan Indonesia bagi negara-negara di Asia Tenggara, dan persaingan Indonesia terhadap mitra negara-negara baratnya, serta sentuhannya yang berbeda dengan negara-negara kawasan timur seperti Rusia, China dan yang lainnya. Sehingga skema politiknya pun harus di konstruksikan secara berimbang demi mendapatkan peluang bagi kemajuan bangsa dan negara ini.
Perbedaan tingkat usia mempengaruhi setiap cara pandang seseorang. Sosok Megawati yang beranjak sepuh, tentu saja semakin kurang update dalam menguasai informasi publik dan menangkap berbagai keinginan masyarakatnya. Walau kondisinya yang demikian, Megawati masih dianggap cermat melalui pemikirannya yang luas terhadap keadaan Indonesia saat ini. Dibalik usianya terpaut jauh pada generasi muda sekarang, apalagi pada era digitalisasi yang kian mendampingi kehidupan warga bangsanya yang tentu saja hal itu menggeser berbagai indikator dari apa yang ditangkap oleh dirinya sebagai pijakan dalam membangun NKRI ini. Hadirnya Jokowi sekaligus mendekatkan opini berfikir serta disparitas sosial yang sebelumnya terlalu lebar dan jauh terhadap kemajuan bangsa lain, hingga Indonesia mampu mensejajarkan diri pada kondisi yang up to date dimasa sekarang.
Kita memang belum berterima kasih kepada Megawati yang telah menemukan sosok Jokowi sejak pemilihan Walikotanya di solo pada tahun 2005 silam. oleh karena masa jabatan Presidennya yang masih tersisa hingga 2024 yang akan datang. Namun tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kedudukan Megawati saat ini, wajar saja jika Jokowi berinisiatif menjadi Play Maker dengan mengajak Guntur Soekarnoputra dan Ganjar Pranowo yang diundang ke istana, dimana penulis menduga bahwa hal itu untuk mempersiapkan estafet penerus pasca berakhirnya masa jabatan Presidennya di 2024 yang akan datang. Dimana inisiatif itu demi menampung berbagai aspirasi yang sesuai dengan keinginan rakyatnya. Tentu saja inisiatif tersebut dianggap sebagai strategi untuk mengepung dirinya selaku ketua umum PDIP saat ini.
Dari prediksi tersebut, penulis pun mengamati bahwa Airlangga Hartarto dengan koalisi KIB yang terdiri atas Golkar, PAN dan PPP belum juga menyebutkan capresnya, serta Koalisi KIR yang terdiri dari Gerindra dan PKB yang masih menunggu keputusan Megawati tersebut. Skema inilah yang mungkin ditangkap Megawati sebagai sesuatu yang kurang berkenan untuk diterima olehnya. Maka dengan sedikit kecewa, beliau menyindir Jokowi dengan mengatakan bahwa secara legal formal, PDI Perjuanganlah yang memberikan peluang bagi kekuasaannya saat ini. Termasuk menghardik partai-partai yang tidak memiliki kader sendiri untuk diusung sebagai Presiden pada 2024 nanti. Walau dirinya menyadari bahwa tujuan dari gagasan itu sesungguhnya menuju pada kebaikan, akan tetapi beliau boleh saja meluapkan kekecewaannya pada forum yang menjadi wilayah otoritasnya selaku ketua umum PDI Perjuangan.
Hingga berakhir acara tersebut, beliau sama sekali belum mau menyebutkan nama capres 2024 yang akan diusung oleh PDI Perjuangan tersebut. Penerapan strategi politik formal dan informal yang diduga diperankan oleh jokowi saat ini lebih kepada mempersiapkan kelanjutan koalisi partai tersebut yang saat ini masih bersama dirinya didalam kabinet pemerintahannya sekarang. Keinginan Jokowi untuk meneruskannya koalisi partai pendukung itu sebenarnya tetap akan terjadi sekalipun hal itu di inisiasi oleh Megawati selaku ketum PDI Perjuangan, sebab memang belum pernah terjadi Partai besutan Megawati tersebut mengusung capresnya tanpa berkoalisi dengan partai lain. Walau skemanya koalisi kali ini sedikit berbeda oleh karena pembentukannya semacam Cluster koalisi yang terdiri dari koalisi-koalisi yang memenuhi syarat Presidential Threshold, apalagi pasca keluarnya Nasdem yang akan digantikan PAN dan Gerindra kedalamnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar