PERUBAHAN SEGMENTASI POLITIK MENDATANGKAN RIVALITAS BARU
Penulis : Andi Salim
Pencapresan Anies memang bisa berpengaruh terhadap pemilih muslim yang memiliki suara besar di republik ini terhadap elektabilitas NasDem. Apalagi animo politik dari partisipasi islam garis keras dan yang ikut bermain belakangan ini semua. Tentu saja Anies akan memberikan kontribusinya itu kepada partai Nasdem dalam membukukan elektoral di 2024 mendatang. Namun konsekuensi terhadap dukungan itu bukan hanya berlaku dari persepsi linier saja, arus balik dari kelompok nasionalisme yang hengkang dari Nasdem pun merupakan bagian tersendiri yang semestinya dicermati. Walau insentif politik tentu saja mereka dapatkan. Sebab gejolak yang timbul dari arus perubahan postur pemilih ini menjadi dinamika internal mereka pasca Deklarasi Anis yang di usungnya.
Merubah haluan politik bukan perkara mudah, apalagi sekedar menimbang-nimbang jumlah penduduk islam yang hadir sebagai pemilih di berbagai daerah. Tentu saja banyak kalangan yang mengkalkulasinya sebagai pundi suara yang menggiurkan. Namun pembuktian kearah itu pun menampakkan sisi yang berbeda. Dimana deretan posisi tiga besar pemenang pemilu justru bukan dari partai-partai yang berbasis agama. Sebut saja PDI Perjuangan, Golkar dan Gerindra. Hal ini akan mengkerutkan setiap kening pemikir, betapa fakta ini begitu mencengangkan, serta bagaimana mungkin justru partai-partai Nasionalisme yang memuncaki barisan tiga besar tersebut, dimana partai-partai Islam malah tenggelam dalam skema politik nasional.
Jika kita amati dari sejarah yang tidak terlalu jauh, sebut saja pada era orde baru, partai islam saat itu hanya saru partai yaitu PPP yang merupakan gabungan dari faksi-faksi islam didalamnya, suara partai berbasis islam ini pun masih kalah dari Golkar yang saat itu belum disebut sebagai partai, serta hanya mampu bersaing ketat terhadap partai PDI yang kala itu masih dipersepsikan sebagai partai nasionalisme satu-satunya di republik ini. Namun pasca turunnya Soeharto hingga Indonesia memasuki era reformasi, partai islam masih balum menampakkan animo publik untuk menyatukan suaranya kedalam satu wadah saja melainkan terpecah-pecah kedalam beberapa partai pula. Hal itu terlihat dari berdirinya beberapa partai islam yang saling berebut pangsa elektoral dibalik mayoritas pemeluk islam di Indonesia.
Kombinasi berdirinya partai islam tersebut sudah barang tentu ingin merepresentasikan dari kalangan mana para pendukungnya berasal. Namun yang pasti, partai-partai islam ini justru berdiri dengan memanfaatkan momentum era reformasi pasca kejatuhan orde baru kala itu. Seperti partai PKB yang berdiri pada tanggal 23 juli 1998 yang mana partai ini merepresentasikan ormas islam yang berasal dari kalangan NU. Sedangkan partai PAN yang berdiri pada tanggal 23 agustus 1998 yang menjadi pilihan masyarakat kalangan Muhammadiyah, serta partai PKS yang semula bernama Partai Keadilan / PK, yang berdiri sejak 20 juli 1998 menjadi refleksi dari kalangan tarbiyah dan masyarakat yang tidak masuk kedalam ormas islam. Termasuk berdirinya partai PBB yang ikut menjadi pilihan masyarakat islam.
Namun apakah partai islam ini menunjukkan animo politik islam yang dominan di tanah air. Faktanya partai islam belum sekalipun memperlihatkan posisi puncaknya selaku partai pemenang pemilu di Indonesia. Bahkan PDI yang belakangan berubah menjadi PDI Perjuangan yang berbasiskan pemilih nasionalisme kebangsaan, dan partai-partai Nasionalisme lain seperti Golkar, Demokrat dan Gerindra yang justru terlihat acapkali memuncaki urutan teratas pada pemilu yang digelar sejak tumbangnya orde baru tersebut. Kemenangan pertarungan Anis pada pilkada DKI Jakarta memang bisa saja menjadi ukuran politik islam kala itu, namun kebencian terhadap politik identitas yang menciptakan pembelahan ditengah masyarakat pun menjadi sorotan publik yang melekat hingga saat ini.
Biasnya target politik Nasdem menciptakan keragu-raguan publik terhadap pemilihnya. Sebab di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya, partai ini menyebutkan pada Bab III pasal 3 sebagai partai yang berazaskan Pancasila yang ditambahkan pada pasal 4 sebagai partai yang bercirikan Gerakan Perubahan Restorasi Indonesia. Artinya, partai ini telah nyata-nyata berlandaskan kebhinekaan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dimana tentu saja partai ini semestinya melepaskan diri dari cara-cara politik identitas yang sering menyeret Ras, Suku, Agama serta gelombang aroma permusuhan antar golongan didalamnya. Sehingga target segmen partai Nasdem sesungguhnya mengalami pertentangan dari kondisi siapa capres yang telah di deklarasikannya.
Pertarungan Nasdem di kancah segmen yang berbeda tentu menghadapi rivalitas yang berbeda pula. Jika sejak berdirinya partai ini menampakkan trend peningkatan yang tajam dari pemilu sebelumnya, dimana mereka dapat bersaing secara ketat dari partai-partai nasionalisme yang ada, namun pada pemilu 2024 yang akan datang, partai ini akan berhadapan dengan PKS, PPP, PKB, dan PAN yang memiliki basis keormasan terhadap dukungan partainya masing-masing. Pertanyaan yang timbul adalah, dengan cara apa partai ini akan memperoleh sumber pasokan elektoral sebagai lumbung suara mereka jika partai ini tidak memiliki sayap organisasi islam sebagai pendampingnya. Dimana kita pun tahu jika partai islam yang notabenenya memiliki basis ormas saja masih kesulitan dalam menyerap aspirasi masyarakat islam Indonesia.
Memang semua partai ingin meraup elektoral sebanyak mungkin. Apalagi dibalik lumbung-lumbung fanatisme keagamaan dibeberapa wilayah yang begitu kental keislamannya. Sebut saja Aceh dan sumatera pada umumnya, serta pulau jawa dan NTB yang menjadi pusat-pusat keislaman sejak dahulu kala. Namun meraih suara mereka pun bukan perkara yang mudah, sebab tidak semuanya menyukai selera politik yang searah dengan agama yang mereka anut. Bahwa nasionalisme kebangsaan dan sikap toleransi yang tinggi masih menjadi penghalang bagi masuknya intoleransi dibeberapa daerah. Termasuk kebencian mereka terhadap politik identitas yang tersiar seantero jagad ini sebagai pemecah belah kerukunan antar beragama yang dirasakan menjadi momok menakutkan bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar