Senin, 16 Januari 2023

PESAN JKW JANGAN SEMBRONO DAN BERHATI-HATILAH MEMILIH CAPRES 2024

9/11/2022

PESAN JKW JANGAN SEMBRONO DAN BERHATI-HATILAH MEMILIH CAPRES 2024

Penulis : Andi Salim

Siapa politikus pragmatis yang sering mengambil solusi atas pemikiran dangkal dimana mereka adalah orang-orang atau golongan yang ingin mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dari kesempatan yang ada di depan matanya, tanpa berpegang pada prinsip-prinsip tertentu. Metode ini sangat populer di pakai dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindakan tertentu, Namun menjadi lebih terkenal kepada hal yang menyangkut kebijaksanaan khususnya bagi kalangan dunia politik. filsafat pragmatisme berusaha untuk lebih menekankan kepada pendirian seseorang dari pada metode sistematis yang mendasarinya dengan penyelidikan terhadap permasalahan tertentu.

Jika ada pihak yang mendukung solusi pragmatisme ini sebenarnya tidak sepenuhnya keliru, karena tahapan proses tidak selamanya linier dangan cara menyelesaikan masalah dari persoalan yang muncul kepermukaan. Namun jika dilihat pada posisi jangka panjang, tentu saja hal itu menimbulkan resistensi tersendiri dari kebijakan itu, sebab bagaimana pun tatanan kebijakan itu sejatinya berurutan dan memiiki tahapan yang selayaknya di ikuti sebagai langkah sistematis dan komprehensif. Namun jika dilihat pada posisi jangka panjang, tentu saja hal itu menimbulkan resistensi tersendiri dari kebijakan itu, sebab bagaimana pun tatanan kebijakan itu sejatinya berurutan dan memiiki tahapan yang selayaknya di ikuti sebagai langkah sistematis dan komprehensif.

Dorongan penyelesaian yang mengambil jalan Shortcut ini adakalanya dirasakan cukup memenuhi harapan sebagian orang. Akan tetapi banyak pihak yang menganggap kebijakan pragmatisme ini sebagai solusi dalam mengambil cara yang mudahnya saja, dan tidak mau bersusah payah guna mendapatkan penyelesaian yang baik tanpa mengganggu aspek lain yang terkait dengan objek penyelesaian pokok permasalahannya. Sehingga banyak yang mengkhawatirkan jika cara-cara semacam ini akan menjadi preseden buruk yang akan menjadi contoh bagi generasi selanjutnya. Kebijakan pragmatis ini pun sering disalahgunakan oleh oknum pelaksananya yang tak jarang mengambil kesempatan ditengah kegentingan persoalan yang membutuhkan kecepatan waktu dalam menyelesaikannya, namun kurang dalam pengawasannya.

Cara semacam ini pun banyak terjadi di partai politik saat ini, hal itu akibat malasnya partai tersebut dalam melakukan pembinaan kaderisasi guna mendekati para pengurus dan jajaran daerahnya hingga ketingkat ranting, apalagi terhadap konstituen mereka guna dijadikan basis masa yang kuat dari strategi dan program-program politik yang bertujuan mensejahterakan anggotanya. Mereka malah sering menggunakan cara-cara pragmatisme ini guna meraup elektoral di moment-moment tahun politik. Sehingga pendekatan yang dilakukan pun tak ubahnya bagaikan mahirnya seorang pesulap yang siap menghipnotis penontonya agar memilih siapa dan dengan cara apa suara rakyat itu bisa didapat. Maka tak heran, cara yang sama pun digunakan oleh pihak lawan politik mereka yang melakukan tindakan provokatif kepada setiap calon mangsanya.

Dari cara provokasi yang dimainkan, tentu saja tersemat upaya menghasut, memfitnah serta menyudutkan kelompok atau lawan politiknya dengan berbagai cara dan isu yang sengaja diangkat kepermukaan. Gesekan pun tak terhindarkan manakala cara-cara saling fitnah dan penyebaran informasi hoaks itu dianggap sebagai kenormalan dalam suasana perpolitikan di tanah air kita. Sebab memuji kelompok lain dianggap hanya akan meninggikan popularitas dan elektoral bagi rivalnya. Oleh karenanya, Jokowi pun menyinggung masalah ini pada pidatonya di Hari Ulang Tahun Ke-8 Partai Perindo di Jakarta Concert Hall - INews Tower, Jakarta, Senin kemarin. Dalam pidatonya, Jokowi mengingatkan kepada Hary Tanoesoedibjo untuk Berhati-hati dalam Memilih Capres dan Cawapres setelah dirinya.

Apakah hal semacam ini hanya terjadi dari aktifitas partai politik saja, tentu tidak. Sebab justru dari partai politik inilah yang menciptakan kekeruhan semakin meluas hingga menyeret kelompok agama, dimana para tokohnya ditarik agar mendukung mereka dengan berbagai kompensasi yang ditawarkannya. Dimulai dari mengalirnya sumbangan-sumbangan yang diberikan hingga dibukanya akses terhadap fasilitas kekuasaan sebagai bentuk apresiasi bagi mereka yang gigih memperjuangkan tujuan partai politik, sehingga para tokoh agama itu pun saling menunjukkan pengaruh diri mereka terhadap para jemaatnya guna memenangkan calon legislatif, Kepala Daerah sampai kepada pemenangan Presiden sekalipun. Sungguh fakta ini menjadi akar persoalan terjadinya intoleransi ditengah masyarakat dewasa ini.

Intoleransi seakan-akan bagian tradisi yang saat ini dianggap wajar dari sebuah kenormalan dalam interaksi apapun, termasuk menyatakan pendapat sepihak terhadap orang atau kebijakan yang secara terbuka disampaikan ke publik pun menjadi hal yang tidak asing lagi. Etika komunikasi begitu mudah dilanggar walau tata krama yang pernah diajarkan nenek moyang kita dahulu telah membuat batasan demarkasi yang jelas agar tidak saling melampauinya. Akan tetapi, pemahaman dari cara berpendapat yang mempengaruhi pendapatan (uang), menjadi tak terelakkan. Artinya, siapa yang pandai memainkan peran, maka dialah yang akan menuai hasilnya. Sehingga profesi selaku tokoh agama yang seharusnya cenderung mencontohkan kesabaran, bukan lagi peran yang sanggup membelenggu mereka.

Tidak banyak orang yang mampu berpikir tentang aspek dan dampak dalam melandasi sebuah gagasan pemecahan masalah secara komprehensif. Apalagi nuansa politik yang cenderung menekan dibalik kekuasaan dan kewenangan yang melekat padanya. Padahal, kewajiban mereka adalah menjaga kelenturan berdemokrasi demi suksesnya aspek pelayanan terhadap masyarakat, namun nyatanya mereka tidak benar-benar memahami fungsi dan tugasnya tersebut hingga mengartikan kekuasaan dan kewenangan itu untuk bertindak secara represif serta bangga bahwa dirinya pengendali sebuah otoritas. Padahal dibalik itu, mereka adalah representasi rakyat sebagai wakil bagi kepentingan rakyat itu sendiri. Disinilah pergeseran makna itu sesungguhnya telah terjadi disekitar kita.

Jokowi tergolong masih baru berkecimpung didunia politik Indonesia, namun pemahamannya pada akar masalah bangsa ini sudah demikian melekat dari setiap cara, langkah dan ucapannya. Bekerja dibawah rambu-rambu aturan dan perundang-undangan sudah dirasakannya sejak menjabat Walikota, Gubernur hingga saat ini selaku Presiden. Tentu saja banyak persoalan yang secara detail beliau ketahui. Dimana bagi sebagian orang, bahkan mengingat komponen kelembagaan negara saja sudah begitu sulitnya. Akan tetapi, kunci dari semua itu adalah bagaimana menemukan sosok capres 2024 yang mampu mengendalikan sekaligus mengelola kewenangannya secara efektif. Sebab jika tidak, bukan mustahil bangsa ini akan mengalami kemunduran menuju jurang kebangkrutan pada akhirnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...