PILIHAN POLITIK SELALU MEMILIKI RESIKO DIBALIK KEBIJAKANNYA
Penulis : Andi Salim
Siapa orang yang tidak berhitung secara seksama dalam hal melakukan objektifitas bisnis yang digelutinya. Tentu jawabannya bisa ada dan bisa pula tidak ada, namun semua orang pasti menggambarkan kalkulasi yang menjadi bagian perhitungan dari semua aspek yang dibutuhkan, baik strategi keuntungan yang akan diperoleh, mau pun resiko kerugian yang akan dialaminya. Walau dibalik itu masih terdapat hal-hal yang kurang dicermati terutama komponen detail perhitungan yang semestinya masuk sebagai penunjang dalam parameter komponen pendukung untuk memaksimalkan keuntungan dan mengurangi dampak kerugian yang akan terjadi. Sebab sudah sering terjadi gagalnya sebuah rencana disebabkan luputnya instrumen biaya penunjang lain untuk dimasukkan.
Jika dalam kegiatan ekonomi hal semacam ini sering menjadi topik pembahasan penting untuk disampaikan kepada karyawan terutama di tingkat level manager dalam memacu gerak langkah perusahaan guna secara bersama-sama mencapai target dan meminimalisir biaya yang dikeluarkan, lalu menyandingkannya dengan agregat rasio antara target dan cost yang dikeluarkan untuk memilih presisi penerapan efisiensi usaha dalam memutuskan kebijakan mana yang sebaiknya ditempuh, hal yang sama pun berlaku pada dunia politik dari berbagai program kerja politik yang mereka terapkan guna mendapatkan kemenangan hingga menekan biaya politik agar terhindar dari faktor budgetary slack atas tambahan pengeluaran diluar anggaran yang ditetapkan.
Demikian pula resiko dalam skala investasi pada dunia perbankan gaya investor pun akan terlihat pada beberapa corak pengambilan sikap mereka atas keikut sertaannya pada penanaman investasi mereka. Bagi investor bertipe konservatif tentu akan menghindari dan tidak menyukai risiko dibalik dampak kerugian yang akan mereka terima. Mereka cenderung ingin bebas terhadap risiko semacam itu dan tidak pula mudah dipengaruhi oleh kondisi pasar atau fluktuasi ekonomi yang berfluktuasi. Kriteria investasi mereka berkisar pada deposito, asuransi, produk kas, pasar uang, dan lain-lain. Sedangkan investor bertipe agresif biasanya menyukai tantangan dan risiko dibalik Kondisi yang tidak pasti atau fluktuasi yang justru menjadi alasan mereka.
Sebab pengambilan keputusan atas tindakan berani dan tergiur pada keuntungan besar tentu memang demikian. Oleh karena itu, jenis investasi mereka biasanya berkisar saham, properti, dan lain lain. Bagi golongan tengah, atau investor golongan Moderat yang netral terhadap Risiko, sebenarnya golongan ini cukup memahami terhadap resiko, namun pemikiran mereka cenderung mengkombinasikan antara hasil yang lebih besar dengan resiko nya pula. Biasanya investor ini mengambil proporsi yang seimbang antara risiko dengan pendapatan yang akan diterimanya. Preferensi kehati-hatian dalam menentukan jenis investasinya menjadikan mereka lebih memilih kombinasi deposito, obligasi, dan saham.
Namun acuan terhadap aturan yang diberlakukan perbankan terhadap mereka seperti “High risk high return, low risk low return,” di mana para investor itu dihadapkan pada pilihan jika ingin mendapatkan keuntungan yang besar tentu harus berani menanggung risiko yang besar pula. Demikian terhadap dunia politik yang penuh ketidakpastian. Berbagai strategi pun dikerahkan demi memperoleh hasil positif, mulai dari melakukan identifikasi masalah berkisar dari apa yang menjadi persoalan masyarakat, hingga mencari solusi tentang bagaimana keinginan masyarakat itu dapat di wujudkan atau paling tidak menemukan alternatif lain agar masuk kedalam paket kebijakan pemerintah dan lain sebagainya. Namun demikian, setiap pelaku politik tentu menimbang-nimbang, mana skala prioritas yang berpengaruh terhadap dampak elektoral yang akan mereka terima.
Terkait dengan tulisan diatas, sebenarnya ada banyak cara yang berbeda untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini. Terutama pada pemilihan Capres 2024 nanti. Sebab telah begitu nyata masyarakat terbelah pada arus intoleransi yang berhadapan dengan barisan nasionalisme yang terdiri dari Islam Nusantara, Budayawan dan dari golongan non muslim yang saat ini telah begitu marah oleh sepak terjang kelompok ini yang acapkali merusak kerukunan antar warga bangsa. Walau sebenarnya sikap toleransi itu bisa dibangun melalui edukasi yang disuntikkan kepada masyarakat untuk membentuk kesadaran akan pluralisme guna hidup dalam bingkai kebhinnekaan. Namun rendahnya tingkat kecerdasan masyarakat belum mampu menilai baik dan buruknya suatu prilaku kebencian dan permusuhan yang berdampak pada perpecahan bangsa ini.
Oleh karenanya, hal yang kita butuhkan adalah bagaimana setiap insan toleran itu masuk ke berbagai sendi aktifitas kehidupan agar membangun sikap yang terbuka sebagai bentuk inklusifitas dari sosialisasi masyarakat diruang publik secara bebas tanpa campur tangan agama manapun, termasuk mendorong pemerintah agar mengendalikan status zona ruang publik itu yang mutlak di jaga melalui kewenangan negara secara tegas. Tentu saja hal itu hanya dapat dicapai dari kepemimpinan nasional yang lebih tegas. Keberanian Jokowi dalam melawan arus intoleransi itu beliau buktikan secara nyata. Namun pada sisi Wakil Presiden hal itu sama sekali belum berdampak pada surutnya gerakan intoleransi ini. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa pasangan Pilpres dan Wapres mendatang harus merupakan kombinasi Sipil dan Militer.
Jika pernyataan Jokowi yang menyiratkan "Rambut putih" pada acara Relawan Nusantara bersatu di GBK yang dituding berbagai pihak sebagai sinyal dukungannya terhadap salah satu Capres 2024, maka kita pun seharusnya dapat menangkap siapa Wapres yang pernah beliau sebutkan sebagai capres yang di prediksinya akan menjadi presiden setelah dirinya nanti, dimana hal itu beliau sebutkan pada acara HUT ke 8 Partai Perindo waktu itu. Maka, tak dapat dipungkiri bila ke dua tokoh yang disebut-sebutkannya itu memiliki elektabilitas terkuat di sejumlah lembaga survei yang sudah terpercaya, yaitu Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Munculnya wacana dukungan Jokowi pada Pilpres 2024 nanti lantaran kedua tokoh ini dianggap berkomitmen pada berbagai program Jokowi dengan resiko pengkhianatannya yang rendah.
Siapa orang yang tidak berhitung secara seksama dalam hal melakukan objektifitas bisnis yang digelutinya. Tentu jawabannya bisa ada dan bisa pula tidak ada, namun semua orang pasti menggambarkan kalkulasi yang menjadi bagian perhitungan dari semua aspek yang dibutuhkan, baik strategi keuntungan yang akan diperoleh, mau pun resiko kerugian yang akan dialaminya. Walau dibalik itu masih terdapat hal-hal yang kurang dicermati terutama komponen detail perhitungan yang semestinya masuk sebagai penunjang dalam parameter komponen pendukung untuk memaksimalkan keuntungan dan mengurangi dampak kerugian yang akan terjadi. Sebab sudah sering terjadi gagalnya sebuah rencana disebabkan luputnya instrumen biaya penunjang lain untuk dimasukkan.
Jika dalam kegiatan ekonomi hal semacam ini sering menjadi topik pembahasan penting untuk disampaikan kepada karyawan terutama di tingkat level manager dalam memacu gerak langkah perusahaan guna secara bersama-sama mencapai target dan meminimalisir biaya yang dikeluarkan, lalu menyandingkannya dengan agregat rasio antara target dan cost yang dikeluarkan untuk memilih presisi penerapan efisiensi usaha dalam memutuskan kebijakan mana yang sebaiknya ditempuh, hal yang sama pun berlaku pada dunia politik dari berbagai program kerja politik yang mereka terapkan guna mendapatkan kemenangan hingga menekan biaya politik agar terhindar dari faktor budgetary slack atas tambahan pengeluaran diluar anggaran yang ditetapkan.
Demikian pula resiko dalam skala investasi pada dunia perbankan gaya investor pun akan terlihat pada beberapa corak pengambilan sikap mereka atas keikut sertaannya pada penanaman investasi mereka. Bagi investor bertipe konservatif tentu akan menghindari dan tidak menyukai risiko dibalik dampak kerugian yang akan mereka terima. Mereka cenderung ingin bebas terhadap risiko semacam itu dan tidak pula mudah dipengaruhi oleh kondisi pasar atau fluktuasi ekonomi yang berfluktuasi. Kriteria investasi mereka berkisar pada deposito, asuransi, produk kas, pasar uang, dan lain-lain. Sedangkan investor bertipe agresif biasanya menyukai tantangan dan risiko dibalik Kondisi yang tidak pasti atau fluktuasi yang justru menjadi alasan mereka.
Sebab pengambilan keputusan atas tindakan berani dan tergiur pada keuntungan besar tentu memang demikian. Oleh karena itu, jenis investasi mereka biasanya berkisar saham, properti, dan lain lain. Bagi golongan tengah, atau investor golongan Moderat yang netral terhadap Risiko, sebenarnya golongan ini cukup memahami terhadap resiko, namun pemikiran mereka cenderung mengkombinasikan antara hasil yang lebih besar dengan resiko nya pula. Biasanya investor ini mengambil proporsi yang seimbang antara risiko dengan pendapatan yang akan diterimanya. Preferensi kehati-hatian dalam menentukan jenis investasinya menjadikan mereka lebih memilih kombinasi deposito, obligasi, dan saham.
Namun acuan terhadap aturan yang diberlakukan perbankan terhadap mereka seperti “High risk high return, low risk low return,” di mana para investor itu dihadapkan pada pilihan jika ingin mendapatkan keuntungan yang besar tentu harus berani menanggung risiko yang besar pula. Demikian terhadap dunia politik yang penuh ketidakpastian. Berbagai strategi pun dikerahkan demi memperoleh hasil positif, mulai dari melakukan identifikasi masalah berkisar dari apa yang menjadi persoalan masyarakat, hingga mencari solusi tentang bagaimana keinginan masyarakat itu dapat di wujudkan atau paling tidak menemukan alternatif lain agar masuk kedalam paket kebijakan pemerintah dan lain sebagainya. Namun demikian, setiap pelaku politik tentu menimbang-nimbang, mana skala prioritas yang berpengaruh terhadap dampak elektoral yang akan mereka terima.
Terkait dengan tulisan diatas, sebenarnya ada banyak cara yang berbeda untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini. Terutama pada pemilihan Capres 2024 nanti. Sebab telah begitu nyata masyarakat terbelah pada arus intoleransi yang berhadapan dengan barisan nasionalisme yang terdiri dari Islam Nusantara, Budayawan dan dari golongan non muslim yang saat ini telah begitu marah oleh sepak terjang kelompok ini yang acapkali merusak kerukunan antar warga bangsa. Walau sebenarnya sikap toleransi itu bisa dibangun melalui edukasi yang disuntikkan kepada masyarakat untuk membentuk kesadaran akan pluralisme guna hidup dalam bingkai kebhinnekaan. Namun rendahnya tingkat kecerdasan masyarakat belum mampu menilai baik dan buruknya suatu prilaku kebencian dan permusuhan yang berdampak pada perpecahan bangsa ini.
Oleh karenanya, hal yang kita butuhkan adalah bagaimana setiap insan toleran itu masuk ke berbagai sendi aktifitas kehidupan agar membangun sikap yang terbuka sebagai bentuk inklusifitas dari sosialisasi masyarakat diruang publik secara bebas tanpa campur tangan agama manapun, termasuk mendorong pemerintah agar mengendalikan status zona ruang publik itu yang mutlak di jaga melalui kewenangan negara secara tegas. Tentu saja hal itu hanya dapat dicapai dari kepemimpinan nasional yang lebih tegas. Keberanian Jokowi dalam melawan arus intoleransi itu beliau buktikan secara nyata. Namun pada sisi Wakil Presiden hal itu sama sekali belum berdampak pada surutnya gerakan intoleransi ini. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa pasangan Pilpres dan Wapres mendatang harus merupakan kombinasi Sipil dan Militer.
Jika pernyataan Jokowi yang menyiratkan "Rambut putih" pada acara Relawan Nusantara bersatu di GBK yang dituding berbagai pihak sebagai sinyal dukungannya terhadap salah satu Capres 2024, maka kita pun seharusnya dapat menangkap siapa Wapres yang pernah beliau sebutkan sebagai capres yang di prediksinya akan menjadi presiden setelah dirinya nanti, dimana hal itu beliau sebutkan pada acara HUT ke 8 Partai Perindo waktu itu. Maka, tak dapat dipungkiri bila ke dua tokoh yang disebut-sebutkannya itu memiliki elektabilitas terkuat di sejumlah lembaga survei yang sudah terpercaya, yaitu Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Munculnya wacana dukungan Jokowi pada Pilpres 2024 nanti lantaran kedua tokoh ini dianggap berkomitmen pada berbagai program Jokowi dengan resiko pengkhianatannya yang rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar