Penulis : Andi Salim
Keadaan generasi sekarang, walau latar belakang mereka memiliki sandaran intelektualitas yang baik, oleh karena mengecap perkuliahan dari universitas yang ternama, namun mereka terkesan tidak punya sopan santun dan etika bahasa yang baik layaknya orang yang pernah bersekolah. Jika pada Jaman dahulu, sekiranya kita bicara dianggap kurang sopan dan tidak hormat kepada orang yang lebih tua, apalagi terhadap mereka yang berstatus sosial lebih tinggi seperti tokoh masyarakat, tokoh Agama, guru, termasuk kepala sekolah dan Rektor universitas.
Akibat ketidaksopanan yang dianggap pelanggaran aturan adab itu tentu kita akan menerima hukuman yang datangnya bukan dari orang lain, tapi orang tua sendiri yang akan melakukannya. sebab orang tuanya akan disebut gak bisa mendidik anak-anaknya. Sedemikian pentingnya moralitas dan etika tersebut, sehingga pada jaman itu, meninggikan suara saja guna menyuarakan apa yang kita anggap benar, akan menjadi masalah yang serius. Hal itu berbeda dengan keadaan sekarang, dimana orang tuanya malah menjadi bangga karena anaknya dianggap berani melawan orang yang sepatutnya disegani dan dihormati oleh masyarakat tersebut.
Dari hal semacam ini, sudah pasti sikap ini akan ditiru oleh generasi sekelasnya dan selanjutnya ke generasi berikutnya pula, yang pada akhirnya generasi kita pun semakin dikacaukan oleh status sosial yang sekilas tampak kurang penting untuk kita bahas, pada hal itu semua menunjukkan bagaimana kedudukan tingkat status antara yang muda terhadap yang lebih tua atau sebaliknya. Sebagaimana semboyan Ki Hajar Dewantara yang merupakan semboyan Pendidikan yang berbunyi “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani” yang artinya Di Depan Menjadi Teladan, di Tengah Membangun Semangat, di Belakang Memberikan Dorongan.
Budaya sebuah bangsa itu akan hilang akibat mengalami pendangkalan etika dan moralitas, sehingga mudah tergantikan oleh budaya asing yang datang sebagai alternatif dari tidak berfungsinya filter sebagai penyaring atas masuknya budaya asing itu yang dijadikan untuk mengganti budaya lokal yang pernah ada, jika dulu terjadi pergesekan sekarang malah sudah tidak bergesekan lagi, sebab budaya asing itu dapat langsung masuk begitu mudahnya merasuki generasi muda kita. Budaya asing tersebut langsung ditelan tanpa dikunyah lagi, oleh karena penyebaran dan cara masuknya pun sedemikian mudah dan cepat.
Generasi sekarang selalu menggunakan mekanisme shortcut dalam setiap aktifitas berfikir dan tindakannya, sehingga mereka memang dirasakan lebih efisien, namun disisi lain terdapat dampak yang mengalami pendangkalan dan kerusakan dari atmosfer pergaulan dan adab berkomunikasi, jika dahulu nasehat itu terkadang di ungkap melalui jalan melingkar dan dirasakan sedikit jauh demi efek penyerapan yang diharapkan agar tidak merusak sisi lain agar tetap terjaga.
Maka saat ini terkesan lebih emosional, dimana dengan mudahnya persoalan diselesaikan melalui cara yang langsung tunjuk hidung dan hantam kromo saja, adapun mengenai dampak, begitu mudahnya menunda bagian tersebut untuk dikesampingkan pada kesempatan lain dan diselesaikan belakangan, masalahnya terkadang persoalan itu terakumulasi menjadi efek negatif yang banyak berserakan dan tak lagi dapat diperbaiki, alias mengalami social damage yang parah.
Hal semacam ini banyak terjadi dinegara berkembang dimana faktor ekonomi sebagai kambing hitamnya, namun pada negara yang sudah maju pun hal itu terjadi, namun hal itu lebih kepada pola kebebasan dari sistem demokrasi liberal yang mempengaruhi cara berfikir untuk bicara lugas dan terbuka. Keadaan itu memang menjadikan ketimpangan sosial ditengah masyarakatnya dapat terkikis, walau dari dua kondisi keadaan ini memiliki akar masalah yang berbeda, dimana pada negara berkembang para generasi mudanya lebih emosional dan semakin tidak beretika.
Kekerasan pada negara berkembang lebih kental dan terasa, hal itu disebabkan pengaruh ekonomi keluarga dan negara yang dirasakan tidak mengalami perkembangan serta praktek korupsi yang membudaya. Disamping itu kesibukan para orang tua yang abai terhadap penerapan aturan rumah tangga sehingga tidak dapat tegak dan semakin goyah manakala para anak generasi mendapati orang tuanya juga tidak memiliki dasar intelektual yang cukup dalam arti memiliki sisi pengetahuan agama atau pendidikan formalnya, seringnya para orang tua yang menampakkan resistensi emosional akibat tekanan dari sulitnya memperoleh sumber pendapatan kehidupannya. Apalagi kecenderungan paska menikah itu tidak dibekali pada pengendalian dan aturan untuk menciptakan keluarga harmonis.
Oleh karenanya, dampak dari kemiskinan dan kegagalan atas upaya kesejahteraan semakin menyebabkan runtuhnya wibawa orang tua, apalagi terhadap situasi disharmonisasi hubungan keduanya yang sering terjadi, perselisihan pendapat dan keributan dari disharmonisasi orang tua tersebut akan menjangkiti prilaku anak menjadi
seorang yang rendah diri atau minder atau low self-esteem, dalam pergaulan kesehariannya.
Jika hal itu terus terjadi, maka perasaan seorang anak akan semakin lebih rendah dibanding orang lain dalam satu atau lain hal pada sesamanya. Perasaan yang demikian dapat muncul sebagai akibat sesuatu hal yang nyata atau hasil imajinasinya yang dikembangkannya. Sehingga anak lebih memilih peluang hidup dalam kebebasan diri dan tidak bersedia terikat pada aturan rumah tangga, untuk berekspresi dalam menentukan sikapnya yang sesuai dengan apa yang menjadi keyakinannya pula.
Banyaknya aturan dan larangan itu sebenarnya justru menyebabkan sang anak lebih memahami serta memiliki keperdulian terhadap sesuatu hal disekitarnya, dan dapat menyesuaikan diri pada aturan dan nasehat yang disampaikan kepadanya, namun kalau nasehat dan larangan itu tidak diimbangi dengan kesungguhan dan keprihatinan dalam membangun kesejahteraan serta sikap bijaksana yang ditampakkan oleh orang tuanya, tentu segalanya itu akan dikesampingkan dan diabaikannya. Sehingga mereka tidak terbekali dari sisi pemahaman beretika secara baik.
Faktor ekonomi bukan segalanya, namun munculnya keprihatinan dari seorang anak tentu merupakan sikap yang akan diterimanya atas keadaan orang tua yang memiliki kesungguhan dalam membangun keluarga, sehingga, jika pun mereka saat ini hidup serba kekurangan namun dibalik apa yang dirasakannya dari pengamatan terhadap apa yang mereka saksikan atas upaya para orang tua yang sedemikian kerasnya mewujudkan kesejahteraan itu, tentu dapat mereka terima bahkan tetap disyukurinya.
Walau takdir yang diterimanya menampakkan perbedaan pada harapan hidup yang layak, tentu hal itu akan terlihat pada keprihatinan dan rasa maklum. Sehingga anak cenderung tetap menyayangi orang tua dan bersedia pula menggantikan upaya menuju kesejahteraan itu demi cita-cita bersama. Sikap semacam ini yang semestinya harus tumbuh, sehingga anak tidak menjauh dari kedekatannya pada keluarga dan tanpa harus memilih prilaku hidup yang serba bebas dan melanggar etika serta moral yang menjadi pedoman bagi bekal hidupnya kemudian.
#Andisalim #jkwguard
#TNIindonesia
#Polisiindonesia
#Toleransiindonesia
Mari kita suarakan
Akibat ketidaksopanan yang dianggap pelanggaran aturan adab itu tentu kita akan menerima hukuman yang datangnya bukan dari orang lain, tapi orang tua sendiri yang akan melakukannya. sebab orang tuanya akan disebut gak bisa mendidik anak-anaknya. Sedemikian pentingnya moralitas dan etika tersebut, sehingga pada jaman itu, meninggikan suara saja guna menyuarakan apa yang kita anggap benar, akan menjadi masalah yang serius. Hal itu berbeda dengan keadaan sekarang, dimana orang tuanya malah menjadi bangga karena anaknya dianggap berani melawan orang yang sepatutnya disegani dan dihormati oleh masyarakat tersebut.
Dari hal semacam ini, sudah pasti sikap ini akan ditiru oleh generasi sekelasnya dan selanjutnya ke generasi berikutnya pula, yang pada akhirnya generasi kita pun semakin dikacaukan oleh status sosial yang sekilas tampak kurang penting untuk kita bahas, pada hal itu semua menunjukkan bagaimana kedudukan tingkat status antara yang muda terhadap yang lebih tua atau sebaliknya. Sebagaimana semboyan Ki Hajar Dewantara yang merupakan semboyan Pendidikan yang berbunyi “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani” yang artinya Di Depan Menjadi Teladan, di Tengah Membangun Semangat, di Belakang Memberikan Dorongan.
Budaya sebuah bangsa itu akan hilang akibat mengalami pendangkalan etika dan moralitas, sehingga mudah tergantikan oleh budaya asing yang datang sebagai alternatif dari tidak berfungsinya filter sebagai penyaring atas masuknya budaya asing itu yang dijadikan untuk mengganti budaya lokal yang pernah ada, jika dulu terjadi pergesekan sekarang malah sudah tidak bergesekan lagi, sebab budaya asing itu dapat langsung masuk begitu mudahnya merasuki generasi muda kita. Budaya asing tersebut langsung ditelan tanpa dikunyah lagi, oleh karena penyebaran dan cara masuknya pun sedemikian mudah dan cepat.
Generasi sekarang selalu menggunakan mekanisme shortcut dalam setiap aktifitas berfikir dan tindakannya, sehingga mereka memang dirasakan lebih efisien, namun disisi lain terdapat dampak yang mengalami pendangkalan dan kerusakan dari atmosfer pergaulan dan adab berkomunikasi, jika dahulu nasehat itu terkadang di ungkap melalui jalan melingkar dan dirasakan sedikit jauh demi efek penyerapan yang diharapkan agar tidak merusak sisi lain agar tetap terjaga.
Maka saat ini terkesan lebih emosional, dimana dengan mudahnya persoalan diselesaikan melalui cara yang langsung tunjuk hidung dan hantam kromo saja, adapun mengenai dampak, begitu mudahnya menunda bagian tersebut untuk dikesampingkan pada kesempatan lain dan diselesaikan belakangan, masalahnya terkadang persoalan itu terakumulasi menjadi efek negatif yang banyak berserakan dan tak lagi dapat diperbaiki, alias mengalami social damage yang parah.
Hal semacam ini banyak terjadi dinegara berkembang dimana faktor ekonomi sebagai kambing hitamnya, namun pada negara yang sudah maju pun hal itu terjadi, namun hal itu lebih kepada pola kebebasan dari sistem demokrasi liberal yang mempengaruhi cara berfikir untuk bicara lugas dan terbuka. Keadaan itu memang menjadikan ketimpangan sosial ditengah masyarakatnya dapat terkikis, walau dari dua kondisi keadaan ini memiliki akar masalah yang berbeda, dimana pada negara berkembang para generasi mudanya lebih emosional dan semakin tidak beretika.
Kekerasan pada negara berkembang lebih kental dan terasa, hal itu disebabkan pengaruh ekonomi keluarga dan negara yang dirasakan tidak mengalami perkembangan serta praktek korupsi yang membudaya. Disamping itu kesibukan para orang tua yang abai terhadap penerapan aturan rumah tangga sehingga tidak dapat tegak dan semakin goyah manakala para anak generasi mendapati orang tuanya juga tidak memiliki dasar intelektual yang cukup dalam arti memiliki sisi pengetahuan agama atau pendidikan formalnya, seringnya para orang tua yang menampakkan resistensi emosional akibat tekanan dari sulitnya memperoleh sumber pendapatan kehidupannya. Apalagi kecenderungan paska menikah itu tidak dibekali pada pengendalian dan aturan untuk menciptakan keluarga harmonis.
Oleh karenanya, dampak dari kemiskinan dan kegagalan atas upaya kesejahteraan semakin menyebabkan runtuhnya wibawa orang tua, apalagi terhadap situasi disharmonisasi hubungan keduanya yang sering terjadi, perselisihan pendapat dan keributan dari disharmonisasi orang tua tersebut akan menjangkiti prilaku anak menjadi
seorang yang rendah diri atau minder atau low self-esteem, dalam pergaulan kesehariannya.
Jika hal itu terus terjadi, maka perasaan seorang anak akan semakin lebih rendah dibanding orang lain dalam satu atau lain hal pada sesamanya. Perasaan yang demikian dapat muncul sebagai akibat sesuatu hal yang nyata atau hasil imajinasinya yang dikembangkannya. Sehingga anak lebih memilih peluang hidup dalam kebebasan diri dan tidak bersedia terikat pada aturan rumah tangga, untuk berekspresi dalam menentukan sikapnya yang sesuai dengan apa yang menjadi keyakinannya pula.
Banyaknya aturan dan larangan itu sebenarnya justru menyebabkan sang anak lebih memahami serta memiliki keperdulian terhadap sesuatu hal disekitarnya, dan dapat menyesuaikan diri pada aturan dan nasehat yang disampaikan kepadanya, namun kalau nasehat dan larangan itu tidak diimbangi dengan kesungguhan dan keprihatinan dalam membangun kesejahteraan serta sikap bijaksana yang ditampakkan oleh orang tuanya, tentu segalanya itu akan dikesampingkan dan diabaikannya. Sehingga mereka tidak terbekali dari sisi pemahaman beretika secara baik.
Faktor ekonomi bukan segalanya, namun munculnya keprihatinan dari seorang anak tentu merupakan sikap yang akan diterimanya atas keadaan orang tua yang memiliki kesungguhan dalam membangun keluarga, sehingga, jika pun mereka saat ini hidup serba kekurangan namun dibalik apa yang dirasakannya dari pengamatan terhadap apa yang mereka saksikan atas upaya para orang tua yang sedemikian kerasnya mewujudkan kesejahteraan itu, tentu dapat mereka terima bahkan tetap disyukurinya.
Walau takdir yang diterimanya menampakkan perbedaan pada harapan hidup yang layak, tentu hal itu akan terlihat pada keprihatinan dan rasa maklum. Sehingga anak cenderung tetap menyayangi orang tua dan bersedia pula menggantikan upaya menuju kesejahteraan itu demi cita-cita bersama. Sikap semacam ini yang semestinya harus tumbuh, sehingga anak tidak menjauh dari kedekatannya pada keluarga dan tanpa harus memilih prilaku hidup yang serba bebas dan melanggar etika serta moral yang menjadi pedoman bagi bekal hidupnya kemudian.
#Andisalim #jkwguard
#TNIindonesia
#Polisiindonesia
#Toleransiindonesia
Mari kita suarakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar