RUNTUHNYA TOLERANSI DITENGAH MASYARAKAT ITU DARI MASIFNYA FITNAH DAN HOAKS YANG BERKEMBANG
Penulis : Andi Salim
Jika kita bertanya, apa penyebab munculnya intoleransi dan politik identitas saat ini, maka jawabannya tentu menjadi beragam, akan tetapi hal itu dapat dilihat dari keadaan dimana dulu orang mengajarkan paham radikal yang berhaluan exstreemisme dilakukan melalui cara pertemuan atau diskusi. Namun sekarang hanya menggunakan medsos saja hal itu mudah dipahami.
Bagaimana seseorang itu bisa menjadi intoleran dan tergabung dengan mereka, tentu dipelajarinya dari ruang media yang saat ini menyajikan informasi secara terbuka dan bersifat global, baik dari jaringan dalam lokal, mau pun jaringan internasionalnya. Termasuk didalamnya jika seseorang ingin menjadi teroris serta bagaimana berkumpul dan bersosialisasi dengan kelompok mereka.
Perkembangan medsos menjadi tantangan bersama semua pihak, hal itu menjadi penting untuk memerangi tumbuhnya arus intoleransi. Sebab, disadari media sosial memang berdampak pada dua hal, sisi negatif dan positifnya. Akan tetapi perkembangan situasi global yang sulit dibendung akan terus mengikis nilai-nilai ketimuran yang dahulu tabu serta turunnya moralitas masyarakat menjadi salah satu penyebabnya.
Belum lagi residu politik dari iklim demokrasi Indonesia yang saat ini menjadi penyumbang terbesar atas dampak perubahan prilaku ditengah permainan politik yang dirasakan amat kotor, hal itu terlihat bagaimana kuatnya keikutsertaan masyarakat kelas bawah yang sebagian besar adalah pemilih tradisional terseret kedalam pusaran politik, sehingga perilaku masyarakat pun kian berkubu-kubu serta sarat dengan transaksi kepentingan demi mengamankan kemenangan bagi bohirnya.
Kita pun tidak asing lagi mendengar organisasi yang saat ini terlarang pun banyak didekati oleh pihak penguasa atau calon kepala pemerintahan sewaktu masa kampanye itu dimulai, maka disinilah bercampurnya antara masyarakat awam dan penular intoleransi itu dipertemukan dari kepentingan yang sama untuk memenangkan calon tertentu, sehingga para pihak aktif berinteraksi untuk saling mempengaruhi pun tak terhindarkan.
Walau perjuangan mereka terkadang kandas, namun kelompok ini tetap solid dimana mereka pun masih berkomunikasi antar sesama, apalagi masih terdapat peluang bagi tokoh-tokoh yang semula menjadi lawan dari pihak pemenang, untuk ditampung sebagai pejabat atau setidaknya mendapatkan proyek demi partisipasi pada kepentingan untuk menjaga keseimbangan dan pulihnya sikap yang semula terbelah untuk dapat saling bersinergy serta menerima keadaan dari masing-masing pihak.
Oposisi saat ini terkesan menjadi buruk ketika mereka bersikap asal berbeda dengan pemerintah, sehingga mengkritik apa saja kebijakan pemerintah tanpa pandang bulu bahkan memanfaatkan isu-isu sensitive seperti isu SARA yang menjadi gagasan bagi para penyebar paham intoleransi ini diusung demi meningkatkan popularitas hingga pemilihan selanjutnya. Apalagi jika pihak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak populer.
Sekalipun terdapat hal-hal tertentu di mana kebijakan yang diambil dalam jangka pendek sedikit menyusahkan rakyat, walau dibalik itu sesungguhnya jika dilihat dalam jangka panjang akan memberi dampak kebaikan. Hal semacam ini tetap saja menjadi peluang bagi oposisi untuk menyerang isu ini terhadap pemerintah yang mereka suarakan tidak peka terhadap keadaan masyarakat, sehingga mereka justru terkesankan menjadi pembela rakyat yang sesungguhnya.
Jika kita bertanya, apa penyebab munculnya intoleransi dan politik identitas saat ini, maka jawabannya tentu menjadi beragam, akan tetapi hal itu dapat dilihat dari keadaan dimana dulu orang mengajarkan paham radikal yang berhaluan exstreemisme dilakukan melalui cara pertemuan atau diskusi. Namun sekarang hanya menggunakan medsos saja hal itu mudah dipahami.
Bagaimana seseorang itu bisa menjadi intoleran dan tergabung dengan mereka, tentu dipelajarinya dari ruang media yang saat ini menyajikan informasi secara terbuka dan bersifat global, baik dari jaringan dalam lokal, mau pun jaringan internasionalnya. Termasuk didalamnya jika seseorang ingin menjadi teroris serta bagaimana berkumpul dan bersosialisasi dengan kelompok mereka.
Perkembangan medsos menjadi tantangan bersama semua pihak, hal itu menjadi penting untuk memerangi tumbuhnya arus intoleransi. Sebab, disadari media sosial memang berdampak pada dua hal, sisi negatif dan positifnya. Akan tetapi perkembangan situasi global yang sulit dibendung akan terus mengikis nilai-nilai ketimuran yang dahulu tabu serta turunnya moralitas masyarakat menjadi salah satu penyebabnya.
Belum lagi residu politik dari iklim demokrasi Indonesia yang saat ini menjadi penyumbang terbesar atas dampak perubahan prilaku ditengah permainan politik yang dirasakan amat kotor, hal itu terlihat bagaimana kuatnya keikutsertaan masyarakat kelas bawah yang sebagian besar adalah pemilih tradisional terseret kedalam pusaran politik, sehingga perilaku masyarakat pun kian berkubu-kubu serta sarat dengan transaksi kepentingan demi mengamankan kemenangan bagi bohirnya.
Kita pun tidak asing lagi mendengar organisasi yang saat ini terlarang pun banyak didekati oleh pihak penguasa atau calon kepala pemerintahan sewaktu masa kampanye itu dimulai, maka disinilah bercampurnya antara masyarakat awam dan penular intoleransi itu dipertemukan dari kepentingan yang sama untuk memenangkan calon tertentu, sehingga para pihak aktif berinteraksi untuk saling mempengaruhi pun tak terhindarkan.
Walau perjuangan mereka terkadang kandas, namun kelompok ini tetap solid dimana mereka pun masih berkomunikasi antar sesama, apalagi masih terdapat peluang bagi tokoh-tokoh yang semula menjadi lawan dari pihak pemenang, untuk ditampung sebagai pejabat atau setidaknya mendapatkan proyek demi partisipasi pada kepentingan untuk menjaga keseimbangan dan pulihnya sikap yang semula terbelah untuk dapat saling bersinergy serta menerima keadaan dari masing-masing pihak.
Oposisi saat ini terkesan menjadi buruk ketika mereka bersikap asal berbeda dengan pemerintah, sehingga mengkritik apa saja kebijakan pemerintah tanpa pandang bulu bahkan memanfaatkan isu-isu sensitive seperti isu SARA yang menjadi gagasan bagi para penyebar paham intoleransi ini diusung demi meningkatkan popularitas hingga pemilihan selanjutnya. Apalagi jika pihak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak populer.
Sekalipun terdapat hal-hal tertentu di mana kebijakan yang diambil dalam jangka pendek sedikit menyusahkan rakyat, walau dibalik itu sesungguhnya jika dilihat dalam jangka panjang akan memberi dampak kebaikan. Hal semacam ini tetap saja menjadi peluang bagi oposisi untuk menyerang isu ini terhadap pemerintah yang mereka suarakan tidak peka terhadap keadaan masyarakat, sehingga mereka justru terkesankan menjadi pembela rakyat yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar