SETINGGI APA PENCAPAIAN SEBUAH NEGARA BAGI KEBAHAGIAAN RAKYATNYA
Penulis : Andi Salim
Membaca tulisan Max Hendrian Sahuleka mengenai Rakyat versus Peduli Negara membuat saya terenyuh dan salut akan kesabaran dan rasa syukurnya. Apalagi penambahan kutipan surat QS. ibrahim Ayat Ibrahim 7 yang ditambahkan pada penulisan itu. Sungguh menampakkan kebesaran hati dan sikap yang sportif bagi seorang warga negara yang baik dalam upaya menyampaikan bagaimana menjadi warga negara yang baik serta memiliki kepedulian terhadap bangsa dan negara, sekaligus mengingatkan kita akan ungkapan seorang yang masyhur tentang sebutannya "Jangan tanya apa yang negara dapat berikan kepadamu, Namun tanyakanlah apa yang dapat engkau berikan kepada negaramu" demikian kutipan dari Jhon F Kennedy.
Sebenarnya tidak ada salahnya dalam penulisan itu, dan hal itu dapat saja dimaklumi oleh sebagian orang, Namun demikian, terdapat kebutuhan dan sifat kepentingan yang berbeda dari setiap hajat hidup pribadi masing-masing, skala itu tentu saja menjadi tidak sama dan titik tolak untuk dikelompokkan sebagai sesuatu hal yang dianggap pemenuhan dari aspek kebutuhan masyarakat. Walau negara belum mampu memenuhi setiap detail kebutuhan perseorangan, namun upaya kearah sana tentu harus terus didorong, agar setiap warga negara menjadi bahagia secara lahir dan bathin. Dimana kita pun masih memaklumi sekiranya pemenuhan yang terjangkau oleh pemerintah itu masih didasari pada skala kebutuhan mayoritas semata.
Memang kurang pantas jika ungkapan Jhon F Kennedy itu kita sampaikan sekiranya pada masa orde baru oleh karena kita baru saja terbebas dari penjajahan, dan masih kurang pas pula jika kita menuntut terhadap orde baru yang dianggap bangsa ini baru saja memulai pembangunan dari apa yang kita sebut "era tinggal landas", Dimana ini merupakan masa setelah Indonesia menyelesaikan program Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun (PJP) Tahap I yang berlangsung sejak 1968 hingga 1993. Atau kita pun masih bersabar, manakala kita menjalani Era Reformasi yang diakibatkan Turbulency ekonomi yang begitu menghentakkan setiap jantung rakyat disegenap penjuru negeri ini. Lalu sampai kapan ungkapan Jhon F Kennedy itu dikatakan sudah tidak relevan lagi.
Pada masa orde baru, ungkapan tersebut dianggap sebagai cara orde baru agar rakyat tidak menjadi besar mulut agar rakyat tidak melontarkan kritiknya yang dianggap sebagai pembangkangan. Maka tak heran ungkapan itu dipakai untuk mempermalukan bagi siapa saja yang bertanya tentang apa yang telah dilakukannya bagi bangsa dan negara ini, yang seolah-olah merekalah yang memiliki legitimasi untuk mempertanyakan hal itu. Padahal, jika kita Ingat pesan Bung Karno, "Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan pula milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!". Jangan ada pihak yang ambisius untuk memiliki Indonesia dengan nafsu chauvisnis.
Bahkan dalam hukum tata negara disebutkan bahwa kedaulatan rakyat dan demokrasi adalah Kedaulatan dari kekuasaan tertinggi dalam suatu wilayah. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat. Oleh sebab itu, dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah harus menyesuaikan dengan keinginan rakyatnya. Selanjutnya, persoalan demokrasi tidak dapat dipisahkan dari statusnya sebagai negara hukum. Sebab, dalam pemerintahan negara demokrasi, rakyat adalah pihak yang berkuasa oleh karena pelaksanaannya yang didasari dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Jika dilihat pada persoalan ini, tidakkah negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintahannya itu, sesungguhnya hanya mengurusi rakyatnya semata. Termasuk urusan luar negerinya sekalipun.
Tidak sepatutnya pemerintah menanyakan lagi tentang apa yang diberikan rakyat kepada negaranya sejak negara ini memberlakukan pungutan pajak selama 77 tahun sejak Indonesia merdeka. Pembayar pajak terdahulu bahkan telah tiada dan berganti-ganti, sehingga ada yang tidak sempat lagi menikmati hasil pembangunan negeri ini. Dimana pembayar pajaknya pun merupakan generasi sekarang yang mungkin saja dari anak dan cucunya atau pun generasi ke tiga dan ke empatnya. Jika memang rakyat merupakan pemangku kedaulatan tertinggi dari teori hukum tata negara, tidakkah hal ini menjadi suatu kewajaran untuk mempertanyakan tentang apa yang telah dicapai oleh negaranya terhadap pajak yang telah sedemikian lama dipungut dari setiap rakyatnya.
Begitu mirisnya masyarakat manakala pemerintah dianggap sebagai pihak yang loss control atas penyimpangan anggaran dan besarnya korupsi yang sejak dahulu seolah-olah dikesankan masyarakat sebagai pembiaran dari tidak tegas dan hati-hati dalam mengelola anggaran negara yang demikian besarnya. Sehingga pola yang dimunculkan pun terkesan menambahkan beban anggaran untuk pengeluaran pengawasan, penindakan, pemantauan dan lain sebagainya, termasuk menghadirkan lembaga baru sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) yang di inisiasi sebagai lembaga adhock namun keberadaannya menjadi permanen. Dimana fungsi-fungsi lembaga yang sudah ada tidak lagi diberlakukan secara efektif sebagaimana kepolisian, kejaksaan dan kehakiman yang telah terlebih dahulu ada.
Jika pun saat ini masyarakat puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, hal itu didasarkan oleh karena setiap anggaran lebih banyak dialokasikan sebagai pembangunan fisik dari berbagai infrastruktur serta sarana dan prasarana yang terbangun. Sebab ULN dan anggaran negara pada periode rezim sebelumnya hanya menghabiskan anggaran sebagai bentuk koordinasi dan rapat-rapat kerja dan perencanaan, sehingga pembangunan sektor riil nyaris dari sebagian sisa anggarannya saja. Walau pencapaian saat ini sudah baik, namun kita pun jangan berpuas diri, sebab Indonesia masih memikul 27 juta penduduknya yang berada digaris kemiskinan. Sehingga pemerintah masih harus bekerja keras dan membutuhkan kritik yang lebih tajam dan objektif agar penyaluran anggaran negara presisi terhadap harapan rakyatnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar