STATUS INDEPENDEN MENJADI CORONG MEMPERMAINKAN RAKYAT
Penulis : Andi Salim
Kita tentu sering mendengar adanya lembaga independen, dimana lembaga negara yang berstatus independen ini berada di luar struktur pemerintah. Akan tetapi keberadaannya bersifat publik. Sumber pendanaannya pun berasal dari negara, dan bertujuan untuk kepentingan masyarakat. Namun keberadaan mereka disinyalir masyarakat justru menjadi penghalangan proses hukum atau obstruction of justice yang belakangan semakin ramai diperbincangkan publik terhadap banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara yang berlindung dibalik lembaga-lembaga independen ini, sehingga proses hukum pun dirasakan semakin lambat.
Pada prinsipnya, lembaga-lembaga yang bersifat independen dan memiliki fungsi kekhususan ini sering menjadi persoalan. Hal ini terjadi akibat pergulatan antara pemerintah dan kekuatan parlemen yang memperebutkan pengaruh dari rakyat dalam pengelolaan negara. Faktor inilah yang menjadi persaingan di antara keduanya. Ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja atas lembaga-lembaga independen ini sering kali dipertanyakan masyarakat. Posisinya sebagai lembaga yang tak tersentuh, dimana pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk bisa mengontrolnya. Bahkan sekedar memberikan saran dan himbauan saja dapat diartikan sebagai tindakan intervensi.
Sebenarnya keberadaan lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan terutama dalam berbagai masalah yang secara khusus dapat ditangani oleh pihak tertentu dari hal-hal yang bersifat exception. Status independensi yang disandangnya itu diperlukan untuk menjamin adanya keterbatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif oleh karena negara membutuhkan peran dari lembaga-lembaga ini terutama untuk menyelesaikan permasalahan yang seharusnya bebas dari campur tangan pihak mana pun terutama dari sisi pemerintah yang sarat akan kepentingan politik dan tekanan partai politik dibalik semua keputusannya. Tentu saja aktifitas mereka memiliki jaringan internasional berskala luas.
Keberadaan lembaga negara independen ini tentunya memberikan banyak implikasi yang menggeser berlakunya sistem ketatanegaraan sekaligus berpengaruh pada prosesur standard juridis formal yang menimbulkan persengketaan kewenangan antar-lembaga Negara. Termasuk pada sistem pengawasan terhadap mereka yang nyaris menjadi lembaga super body dimana segala aturan yang dipegangnya sama sekali berbeda dengan pijakan konstitusi negara. Permasalahan yang terkait pada implikasi administrative yuridis setidaknya dapat dilihat dari perbedaan pada proses pengambilan keputusan yang bermodel kolegial-kolektif, dan kualitas legislasi serta uji materi atas peraturan perundang-undangan yang mendasari lembaga-lembaga Negara independen semakin nyata sifatnya.
Implikasi lain terhadap pemilihan komisioner pun menciptakan ketegangan hubungannya dengan pemerintah, termasuk terhadap DPR, serta dengan pihak Mahkamah Agung yang menimbulkan banyaknya persoalan baru. Perlunya penataan kembali kelembagaan lembaga-lembaga negara independen ini pernah mengemuka, terutama dari beberapa lembaga lain yang menawarkan kocok ulang dari asas 'Salus Populi Suprema Lex Esto' agar bangsa ini memiliki keberanian untuk melanggar konstitusi demi menegakkan keselamatan rakyat sebagai pijakan hukum yang tertinggi. Penjelasan mengenai hal ini sebagaimana yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan, Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang sebelumnya menyebut bahwa konstitusi bisa dilanggar jika demi keselamatan rakyat.
Pandangan Mahfud MD ini berdasarkan adagium hukum yang pernah dilontarkan filsuf berkebangsaan Italia, Cicero: 'Salus Populi Suprema Lex Esto' atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. "Keselamatan rakyat hukum tertinggi. Kalau kamu ingin menyelamatkan rakyat boleh kamu melanggar konstitusi, bahkan itu ekstremnya," ucap Mahfud MD saat menyambangi Markas Kodam V/Brawijaya, Surabaya, Rabu, (17/3/21) kemarin. Walau dalam pandangannya itu, beliau mendapat respon dari Prof DR Jimly Ashiddiqie yang mengaku tidak sependapat dengan pernyataan itu. Ia menegaskan sebagai negara hukum, Indonesia tidak boleh melanggar UUD. "Di luar ini, negara hukum dilarang keras langgar UUD," tulis Jimly dalam akun twitternya dikutip, Kamis (18/3/21).
Mungkin ajakan untuk melanggar hukum konstitusi walau demi keselamatan rakyat ini nyaris aneh ditelinga kita. Namun dalam berbagai kesempatan, sebenarnya ajakan untuk melanggar terhadap keberadaan hukum telah banyak terjadi, termasuk dalam batasan norma-norma atau adat istiadat yang sering kita jumpai. Seperti kawin paksa, penghapusan diskriminasi atau terhadap hukum agama dari pengaruh emansipasi wanita yang dianggap menghambat dan tidak lagi memiliki relevansi dalam tatanan kehidupan saat ini. Namun pada intinya, segala perubahan itu menjadi penting dalam meluruskan sekaligus meletakkan sisi yang objektif bagi lembaga independen ini untuk lebih fokus pada bidangnya tanpa menghalangi prosedur standard hukum yang berlaku.
Peristiwa KPK yang menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan Operasi Tangkap Tangan alias OTT Hakim Agung Sudradjad Dimyati pada hari Rabu, 21 September 2022 lalu, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang mengusulkan agar lembaga semi-negara, salah satunya Komnas HAM, dibubarkan sebagaimana yang disampaikannya pada 4 juli 2017 lalu, pihak Ombudsman yang dianggap terlalu ikut campur terkait pelaksanaan TWK pegawai KPK sehingga tidak direspon oleh Firli Bahuri beberapa tahun silam, Peranan KPAI yang dianggap pilih kasih terhadap perlakuannya atas anak-anak yang terlantar. Tentu semua itu menjadi alasan yang kuat untuk mereformasi keberadaan Lembaga-lembaga Independen ini tentunya sebab nyata-nyata mereka memang tidak tegak lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar