15/08/2022
ANCAMAN KRISIS JUSTRU DATANG DARI BEBAN SUBSIDI ENERGI
Penulis : Andi Salim
Ketersediaan BBM merupakan instrumen vital diseluruh negara, bahkan tak jarang dari persoalan ini suatu negara menuju kebangkrutan bahkan rela menginvasi negara lain demi stabilitas pasokan dan harga bagi kebutuhan negerinya sendiri. Hal itu sering kita dengar dari begitu pentingnya ketersediaan komoditi ini agar tidak menciptakan instabilitas dalam negeri sekalipun konsumsinya malah mengguncang keuangan suatu negara. Venezuela dan Sri Lanka adalah gambaran yang nyata dari bagaimana mereka menjadi bangkrut hanya karena kurang tepat dalam melakukan kebijakannya terhadap energy yang satu ini.
Minimnya ketersediaan stok BBM di tanah air masih tertinggal dengan negara tetangga seperti Vietnam yang memiliki stok cadangan BBM selama 47 hari, singapura 60 hari, dan Thailand 81 hari. Semestinya pengembangan kilang-kilang baru pertamina itu bisa menambah jumlah cadangan BBM dalam negeri. Namun nyatanya, Pertamina harus hanya mampu menyediakan stok BBM dan gas selama 21 hari saja hingga pada posisi itu, Pertamina menghabiskan biaya sebesar US$ 6,7 miliar. Dimana saat ini produksi minyak mentah di Indonesia hanya mampu mencapai 700.000 ribu barel per hari. Adapun konsumsinya mencapainya 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph
Berita KOMPAS.com tertanggal 18 Mei 2022, menyebutkan bahwa setiap tahun, Indonesia selalu impor bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura, negara yang hampir tidak memiliki sumber daya alam. Selain menguras devisa negara, impor BBM juga membuat Indonesia kerap mengalami defisit perdagangan dengan Singapura. Mirisnya, BBM yang diimpor dari Singapura merupakan minyak yang berasal dari sumur-sumur yang ada di Indonesia. Banyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau para perusahaan pengeboran minyak di Indonesia menjual minyaknya ke Singapura. Alasannya, kilang di Indonesia tak mampu menampung seluruh produksi minyak mentah Tanah Air.
Saat ini dunia sedang mengalami tingginya harga minyak mentah dunia yang sampai berada di atas level US$ 100 per barel. Hal itu tentunya memicu lonjakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di sejumlah negara tak terkecuali di Indonesia. Bahkan harga minyak mentah dunia jenis Brent yang menjadi rujukan berbagai negara mencapai US$ 114,12 per barel. Pada posisi semacam ini, mau tidak mau pemerintah merogoh koceknya untuk mensubsidi harga BBM agar ketersediaan pasokan dan persoalan ini tidak menimbulkan dampak bagi situasi keamanan dalam negeri dari akibat kelangkaannya yang sering menimbulkan demonstrasi besar.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini harus menanggung subsidi energi yang tembus hingga Rp502 triliun. Diperkirakan subsidi energi tersebut akan terus membengkak. Dimana sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan angka Rp 502 triliun tersebut merupakan besaran angka subsidi sekaligus kompensasi. Angka tersebut sudah jauh melebihi pagu awal yang telah disepakati antara pemerintah dan DPR dalam APBN 2022 yang melampaui hingga Rp152,5 triliun. Sehingga pemerintah sudah mengeluarkan dana subsidi untuk energi senilai Rp 502 triliun. Di mana untuk subsidi BBM dan LPG akan memakan anggaran sebanyak Rp 320 triliun.
Pemberitaan CNBC Indonesia
NEWS pada Kamis 11/08/2022 Menyebutkan bahwa PT Pertamina (Persero) mencatat sampai pada Juli 2022 ini, kuota Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP) yakni RON 90 atau Pertalite tersisa 6,2 juta Kilo Liter (KL) dan Jenis BBM Tertentu (JBT) yakni Solar Subsidi tersisa 5,1 juta KL. Sekarang bagaimana masyarakat harus mengendalikan konsumsi BBM-nya. Setiap liter solar yang disubsidi sebesar Rp 12.000 / liternya, dan Pertalite yang disubsidi hampir Rp 10.000 / setiap liternya, demi menekan anggaran negara yang sangat besar tersebut. Tentu saja himbauan ini harus disampaikannya agar pembengkakan anggaran subsidi tersebut dapat dibendung.
Ketua DPR Puan Maharani turut menyoroti persoalan subsidi Bahan Bakar Minyak ini, khususnya Pertalite yang membebani APBN. Agar tidak semakin memberatkan, tapi juga tetap bisa digapai masyarakat menengah ke bawah, pembatasan pembelian BBM bersubsidi bisa menjadi solusi yang baik. Konsumsi Pertalite saat ini sudah mendekati batas kuota subsidi. Per Juli 2022, penyaluran BBM jenis Pertalite telah mencapai 16,8 juta kiloliter. Artinya, kuota BBM bersubsidi hanya tersisa 6,2 juta kiloliter dari total kuota yang dipatok tahun ini sebesar 23 juta kiloliter. Dengan jumlah tersebut, kuota Pertalite diperkirakan hanya bisa disalurkan hingga September 2022 nanti.
Sebenarnya cara diatas merupakan solusi jitu bagi tekanan subsidi yang demikian besarnya. Pemerintah semestinya membatasi subsidi hanya pada roda dua dan mobil dengan plat kuning yang menjadi distribusi barang dan jasa bagi kebutuhan BBM transportasi masyarakat dan industri saja. Diluar itu, pemerintah tidak perlu lagi bersikap ragu oleh karena hal ini sudah sangat memberatkan keuangan negara, disamping beban ULN yang saat ini pun tetap dipikulnya. Jika strategi ini dijalankan, tentu demonstrasi tidak sebesar apa yang dibayangkan, sehingga pada akhirnya kita tidak terancam pada resesi ekonomi yang lebih dalam dan semakin membahayakan keuangan negara tentunya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar