Kamis, 23 Februari 2023

BUDAYA DAN AGAMA BUKANLAH HAL YANG SEPATUTNYA DIPERTENTANGKAN

TOLERANSI INDONESIA

20/02/2023

BUDAYA DAN AGAMA BUKANLAH HAL YANG SEPATUTNYA DIPERTENTANGKAN
Penulis : Andi Salim
Banyak pihak yang bingung bagaimana cara menangkal isu kandungan dari dua variabel kebenaran yang sengaja dibenturkan antara satu dengan lainnya, tanpa melihat objektifitas dimana kebenaran itu harus didudukkan agar ditempatkan sebagai kebenaran hakiki sehingga segalanya bisa menuju kepada kemaslahatan umat.
Nilai kebenaran tentu harus diuji pada sisi mana kebenaran itu memiliki derajat yang lebih tinggi, serta lebih luas pula pada kandungan kebaikannya, pendapat dan pandangan mengenai hal ini harus dituangkan pada rentang peristiwa vertikal dan horizontal dalam pengungkapannya, hingga menjadi logis dan ilmiah.
Banyak masyarakat negeri ini yang belum membelah dan membedah dimana dan bagaimana suatu agama itu dapat berkembang, serta pada wilayah yang mana budaya bangsa itu memiliki otorisasi yang tidak boleh dicampuri oleh urusan agama yang menjadi pegangan umat sekalipun.
Sebab beragama merupakan pilihan bagi masyarakat bagi setiap warga bangsa, dari kesediaannya untuk memilih terhadap agama yang telah disediakan oleh negara, atau bahkan mereka malah lebih memilih menjadi atheis sekalipun terdapat beberapa pilihan yang dimungkinkan. Itulah sebuah kebebasan yang sejatinya dipegang teguh oleh kedudukan apa pun untuk saling menghormati.
Tidak ada yang boleh dan dapat memaksakan keyakinan apa yang seharusnya dipeluk seseorang. Hal itu memang bersifat privasi serta menjadi hak azasi manusia pula. Bahkan dalam konteks bagi para pemeluk keyakinan atau agama tertentu, manusia atau seseorang pun masih dipersilahkan untuk memilih, apakah dirinya menghendaki pilihan menuju jalan ke neraka atau ke surga sebagai destinasi akhirnya.
Bagaimana pun tugas agama itu hanyalah sebatas memberikan petunjuk dari apa yang sepatutnya diketahui oleh umat manusia. Maka, meskipun petunjuk itu datang, akan tetapi jika manusianya tidak menjalankan perintah agama sebagaimana pemahaman dari petunjuk yang telah diterimanya, sudah barang tentu ia akan disebut sebagai penghuni neraka juga pada akhirnya.
Namun bukan disana sebenarnya letak persoalan yang akan menjadi titik fokus penulisan ini, kita semua sering selalu tertuju pada bagaimana mencapai goals yang di inginkan. Bahkan acapkali lebih mengutamakan segala sesuatunya pada tujuan akhir saja, tanpa melihat bagaimana proses mencapai final dari sebuah proses itu sendiri.
Diumpamakan seperti menjalankan suatu usaha, maka kita sering hanya memfokuskan diri untuk bagaimana memperoleh keuntungan dari usaha itu saja, bukan pada proses bagaimana proses keuntungan itu diperoleh secara baik serta bersifat kontinyu yang bisa didapat secara terus menerus.
Walau dalam cara dan strateginya berbeda, seseorang bisa saja menabrak nilai-nilai kebaikan dan kepatutan guna menggapai apa yang di inginkannya, hal itu semata-mata demi mencapai goals akhir dari keuntungan yang diharapkannya. Sama halnya ketika seseorang hanya fokus untuk mengarahkan segala perbuatannya yang ditujukan kepada tuhan semata.
Padahal sudah dijelaskan bahwa kebaikan seseorang itu dilihat dari bagaimana dia berhubungan baik dengan dan kepada antar sesamanya, akan tetapi justru secara shortcut hal itu malah dianggap kurang penting dari pada memperdulikan fokus dirinya kepada tuhan itu sendiri. Sehingga hubungan antar manusia dan cenderung diabaikan.
Bahkan demi keyakinan itu, seseorang akan menafikan kemanusiaannya untuk memfokuskan diri dan perbuatannya yang hanya ditujukan kepada tuhan semata. Dengan kata lain tidak lagi perduli kepada antar sesama manusia, sekalipun hal itu bagian dari seruan tuhannya.
Terdapat sebuah karya tulisan dari Habib Ali al-Jufri yang pernah menulis sebuah buku berjudul al-Insaniyyah qabl at-Tadayyun (kemanusiaan sebelum keberagama-an). Dimana inti pada penulisannya yang berisikan pemahaman dalam menjelaskan bahwa agama dan kemanusiaan yang merupakan unsur sejalan, mengingat misi utama agama adalah kemanusiaan itu sendiri.
Dengan demikian, keberagama-an ini berkaitan erat dengan interpretasi atau pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam sebuah kitab suci. Oleh karenanya, kita memerlukan pemahaman dan moderasi beragama yang merupakan cara pandang dalam suatu ajaran yang secara moderat dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama itu dengan tidak secara ekstrem, baik ekstrem kanan (diartikan sebagai pemahaman agama yang sangat kaku) maupun ekstrem kiri (diartikan sebagai pemahaman agama yang sangat liberal).
Menteri Agama RI tahun 2018, Lukman Hakim Saifuddin pernah menyatakan bahwa agama dan budaya di Indonesia tidak semestinya saling menghancurkan satu sama lainnya. Menurut Lukman, keduanya telah memiliki sejarah panjang dalam pembentukan jati diri bangsa Indonesia sehingga tidak perlu dipertentangkan.
Menteri Agama saat ini Yaqut Cholil Qoumas pun telah menerbitkan surat edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara atau toa di masjid dan mushala. Pada aturan ini terdapat hal yang diterbitkan salah satunya untuk meningkatkan ketentraman, ketertiban, dan keharmonisan antar warga. Adapun aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala.
Dinyatakannya bahwa pengeras suara itu sesungguhnya bukan merupakan bagian dari sunnah yang dapat mendatangkan pahala bagi siapa pun yang menggunakannya. Tidak semua yang dimaksudkan baik itu sudah barang tentu benar, begitu pula sebaliknya, tidak semua kebenaran itu menjadi seiring pada kebaikan bagi seseorang.
Walau secara hakekat hal itu mungkin saja terjadi dan memiliki pengertian yang sama. Sebab di jaman nabi Muhammad saw sendiri, tidak ada fasilitas pengeras suara, jadi hal itu pun bukan menjadi bagian dari apa yang disunnahkannya. tentu hal ini semestinya tidak berdampak pada pahala jika mengerjakannya dan tidak pula berdosa jika meninggalkannya.
Disadari bahwa agama merupakan segala sesuatu yang didapat atau bersumber dari Tuhan melalui perantaranya, sedangkan kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan atau produk (cipta, rasa, karsa) dari manusia. Meskipun timbulnya dari kondisi yang berbeda, sebab agama dan kebudayaan tetaplah berkaitan dan memiliki relasi yang kuat bagi kehidupan sosial kemanusiaan.

Upaya untuk tidak menghadap-hadapkannya, atau mempertentangkan antara budaya dan agama adalah bagian dari kemaslahatan. Toh jika budaya itu haram, Wali songo tentu lebih memahami akan situasi dan kondisi ini yang sejak dahulu kala semestinya tidak menggunakan wayang sebagai syiar dari caranya menyebarkan agama di Nusantara yang kita cintai ini tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...