JANGAN PERNAH BERKHIANAT TERHADAP BANGSA DAN NEGARA
Penulis : Andi Salim
Pembelaan terhadap bangsa dan negara semestinya dimiliki semua golongan dan elemen bangsa ini, walau disadari bahwa dalam upaya mencapai tujuan kesejahteraan melalui pembangunan masyarakat sering terjadi perbedaan, apalagi dasar-dasar pemikiran, cara serta bagaimana merumuskan konsep pembangunan itu memiliki landasan yang berbeda pula. Namun, setiap peserta kontestasi demokrasi seharusnya menyepakati bahwa Pancasila dan UUD45 adalah bagian pokok yang melandasi setiap tujuan serta visi dan misi dari kepesertaan mereka untuk menjaga koridor nasional diberbagai kontestasi pemilu yang di ikutinya.
Agenda terselubung dari mereka yang ingin menggantikan pancasila dan UUD45 merupakan bentuk pengingkaran terhadap bangsa dan negara. Sebab pada satu sisi mereka menikmati untuk mengambil peluang dalam keikutsertaannya mengikuti aturan konstitusi yang mengatasnamakan rakyat selaku warga bangsa, namun pada bagian lain mereka justru menampakkan kebijakan politik identitasnya untuk merubah segala haluan konstitusi kita demi sasaran yang di inginkannya. Disinilah masyarakat harus memahami bahwa terdapat perbedaan yang tajam antara pengertian identitas politik dengan politik identitas yang kini marak beredar dimana-mana.
Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam suatu ikatan komunitas politik. Sehingga kepesertaan seseorang dalam suatu organisasi memiliki kejelasan tentang apa dan bagaimana peran dan fungsinya yang terikat pada aturan organisasi yang diikutinya untuk mencapai tujuan secara bersama-sama dengan peserta lain yang tergabung kedalam suatu organisasi. Hal ini dapat diumpamakan seseorang yang mengaku dirinya merupakan anggota suatu partai yang di ikutinya. Itulah identitas politik seseorang yang diakui secara sah dan dibenarkan.
Sedangkan politik identitas mengacu pada mekanisme pengorganisasian identitas sebagai sumber dan sarana politik. Sehingga tujuan dan gerakannya cenderung menggunakan sarana-sarana identitas seperti agama, suku serta kultur sosial lainnya. Karenanya politik identitas selalu diwarnai konflik baik yang bersifat frontal maupun yang dialektik. Dimana politik identitas selalu ada dalam wilayah ketegangan antara superioritas dan inferioritas. Termasuk antara mayoritas dan minoritas. Maka tak heran jika politik identitas selalu dituding sebagai pemecah belah tatanan berbangsa dan bernegara pada akhirnya.
Kegagalan partai-partai politik sering dituding sebagai penyebab naiknya politik identitas oleh karena mereka tidak mampu mengambangkan politik ide dan gagasan sekaligus mengentaskannya pada program-program melalui berbagai sumber kewenangan pasca kemenangan pemilu yang diperolehnya. Mereka disinyalir hanya sibuk memperkuat domain internalisasi partai yang bersifat penghayatan serta doktrinasi terhadap nilai-nilai perjuangan sebagai bentuk penyadaran terhadap anggotanya untuk mewujudkan sikap dan perilaku mereka hingga memakan waktu dan perjalanan partai yang begitu panjang sejak partai tersebut dilahirkan.
Bahkan hingga kini, tidak satu pun partai politik yang dipercaya memiliki politik ide dan gagasan yang secara nyata dapat diharapkan masyarakat. Bahwa tujuan partai politik untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara, serta memelihara keutuhan Negara Indonesia semestinya bagian yang tak terelakkan dari keberadaan mereka. Sebab hanya melalui partai politik rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat termasuk bagaimana hak kesejahteraan mereka dapat diperoleh. Bukankah mekanisme kekuasaan apapun menjadi bagian dari perjuangan sebuah partai politik.
Akan tetapi pada faktanya, meskipun partai-partai politik itu digabungkan kedalam suatu Koalisi, nyatanya masyarakat tidak pula menjadi bagian pokok terpenting dalam platform pemikiran yang mereka tuangkan. Dimana dari apa yang mereka ungkapkan dalam berbagai kesepakatan perjanjian koalisinya pun hanya bersifat uraian normatif yang tidak secara radikal untuk melakukan pengentasan kemiskinan rakyat sesungguhnya. Hanya keberuntungan saja jika Presiden Jokowi saat ini secara sadar diri memperlihatkan antusiasnya pada pembangunan bangsa dan negara sekaligus mendekati apa yang diharapkan rakyat Indonesia sepenuhnya.
Lantas pertanyaan pun timbul, bagaimana dengan pemimpin sebelum era Jokowi berkuasa, tidakkah partai-partai politik itu lebih memilih diam seolah-olah membiarkan lambannya kemajuan bangsa ini yang selama 10 tahun pada pemerintahan SBY hingga dianggap abai bukan saja terhadap nasib rakyat, namun berdampak pada stagnasi kemajuan Indonesia dikancah Internasional. Partai politik pun turut pula menjadi bungkam serta tak mampu berbuat apapun guna mencegah kerugian negara dari kebijakannya yang membakar subsidi demi kelanggengan kekuasaannya selama 2 periode tersebut. Termasuk menguatnya kelompok intoleransi saat ini, dimana cikal bakalnya diduga datang melalui keleluasaan akibat pembiaran kelompok-kelompok ini berkembang.
Apalagi pasca berakhirnya masa jabatan beliau menyisakan tanggungan Utang Luar Negeri yang masih tersisa, serta proyek mangkrak yang tak sedikit jumlahnya. Ditambah lagi bolongnya modal kerja perusahaan BUMN itu yang nyaris mengalami kebangkrutan dan tak lagi mampu menopang kegiatan usahanya sekiranya tidak disikapi kebijakan pemerintah saat ini untuk memperoleh proyek-proyek strategis hingga menghidupkan mereka kembali sebagaimana surplusnya pendapatan dan laba yang diraih beberapa BUMN, padahal kemarin mereka justru terlihat mati suri serta hanya bergantung pada suntikan Penyertaan Modal Negara untuk menyehatkan mereka kembali. Inilah perenungan kita sesungguhnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar