2/03.2022
JANGAN MENJADIKAN AGAMA SEBAGAI ALASAN KEMARAHAN DAN MENYERETNYA UNTUK BERLAKU INTIMIDATIF TERHADAP ORANG LAIN
Penulis : Andi Salim
Ada pengertian bahasa yang sering kita dengar seperti diamankan yang berarti dipenjara, ditertibkan yang disamakan dengan pengertian ditutup atau diberantas. Hal itu sering kita temui pada jaman orde baru hingga mendengar kata tersebut seakan-akan menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat pasca kata-kata tersebut dilabelkan embel-embel apa yang menjadi tujuan dari tindakan yang akan diambil pemerintah yang dianggap otoriter pada masa itu. Sehingga sampai saat ini, begitu alergi dan traumanya dari orang yang pernah hidup pada jaman orde baru tersebut hingga saat ini.
Dipilihnya kata penertiban sesungguhnya berkonotasi pada tindakan untuk memperbaiki. Sehingga makna dari kata ketertiban adalah menjadikan suatu keadaan agar serba teratur secara baik yang ditujukan demi kebaikan bersama. Sedangkan ditutup atau diberantas adalah pengertian negatif yang tidak memiliki keterkaitan dengan tujuan dari penertiban suatu keadaan. Jika pada masa lalu kata penertiban ini sering dikonotasikan buruk, namun pada era pasca reformasi, hal itu tidak lagi berkonotasi yang sama, bahkan generasi muda saat ini berbeda dalam hal penangkapan dari makna kata tersebut.
Terkait akan hal itu, mencermati surat edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala dari aturan yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala, yang ditanggapi secara beragam oleh sebagian masyarakat. Dimana Penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat. Namun pada saat yang sama, masyarakat Indonesia pun terdiri atas keberagaman, baik dari sisi agama, keyakinan atau latar belakang.
Semestinya hal itu ditanggapi secara positif, mengingat bahwa surat edaran tersebut justru diperlukan sebagai upaya untuk merawat persaudaraan dan harmonisasi sosial atas penertiban dari penggunaan pengeras suara tersebut. Apalagi gagasan ini telah lama direncanakan termasuk pada masa Jusuf Kalla ketika beliau menjabat wakil Presiden. Hal ini dilakukan guna merespon atas berlebihnya volume penggunaan pengeras suara tersebut hingga melampaui objektifitas kebutuhan sebagai alat syiar bagi umat islam indonesia dalam menyampaikan berbagai keperluan melalui penggunaan alat pengeras suara ini.
Sontak saja hal ini menjadi viral dan kita mendapati serbuan dari berbagai kalangan netizen yang bersarang di media sosial untuk menyudutkan dan mendeskreditkan bahkan meminta agar menteri agama segera dilengserkan guna menghentikan tindakannya terhadap situasi ini yang menyandingkan hal itu sebagai gong-gongan anjing yang tidak pantas diaejajarkan dengan Toa mesjid atau Mushala tersebut. Keberanian menteri agama Yaqut Cholil Quomas dalam menyentuh aspek instrumen islam ini dianggap luar biasa oleh sebagian pihak terutama dari kalangan islam moderat dan sebagian non muslim tentunya.
Namun hal itu tidak sama bagi mereka yang berasal dari kelompok islam fanatik yang konservatif. Dimana mereka sering menjadikan basis massa untuk selalu meraup keuntungan dengan membangkitkan sentimen primordialisme, serta menjual kebencian dan permusuhan terhadap kelompok lain yang dianggap atau diklaim merugikan kepentingan pihak mereka apalagi menyeret agama sebagai isu yang seksi untuk dimainkan, melalui protes dan demonstrasi massa yang tentu saja target utamanya adalah penguasa atau rezim pemerintah yang sedang berkuasa saat ini. Maka tidak heran jika kita melihat bahwa naiknya aksi protes itu datangnya dari daerah-daerah yang merupakan basis kekuatan mereka tentunya.
Mereka tidak segan-segan melakukan cara-cara intimidasi dan persekusi manakala keberpihakan masyarakat dapat terbangun dan menjadi kekacauan yang memberi peluang keuntungan dari bola panas yang dipermainkan. Padahal, penertiban Toa dari penggunaannya tidaklah merupakan instrumen pokok yang dilihat sebagai landasan pergerakan islam satu-satunya, bahwa berkembangnya suatu ajaran bukan terletak dari peralatan dan perlengkapan layaknya alutsista dan peralatan perang yang harus dimiliki oleh suatu negara. Sehingga sisi penertiban bagi kebaikan bersama dan menampakkan bahwa islam memang mampu menjangkau sikap Toleransi yang baik tentu menjadi penentu bagi percaturan islam dimasa yang akan datang.
Disamping itu, islam pun harus mampu menerima kritik serta ujian jaman dari relevansinya terhadap perubahan sosial dan technology untuk mampu beradaptasi bagi perkembangan iklim global dan era digitalisasi saat ini, tanpa kemampuan itu, maka mustahil islam akan bertahan dari gempuran pergeseran keadaan yang dimasa mendatang sangat bersifat komplek dan multi kultural. Oleh karenanya, kita membutuhkan kemampuan islam yang terbuka dan adaptif dari segala kemungkinan perubahan yang tidak dapat dibendung jika hanya mengandalkan pola-pola konservatif yang mempertahankan keaslian budaya masa lalu.
Walau sebagian hal itu tetap dibutuhkan, apalagi harus pula kita akui bahwa tarikan pada perubahan tidak selamanya dibiarkan secara bebas untuk mempengaruhi umat, akan tetapi sebagian lainnya pun harus pula dapat berakselerasi pada perubahan jaman jika terdapat hal-hal positif yang mendulang ketertarikan masyarakat pada budaya baru untuk selanjutnya disesuaikan dengan aturan agama agar berakselerasi secara bijaksana layaknya penggunaan media sosial masyarakat saat ini yang tak dapat dihentikan oleh siapapun termasuk oleh kekuatan dan kewenangan yang dimiliki suatu negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar