KECELAKAAN BERFIKIR JUSTRU DATANG DARI MEREKA YANG MENGHISAP NEGARA
Penulis : Andi Salim
Suatu ketika John F. Kennedy pernah menyampaikan sebuah kalimat yang berbunyi : "Jangan tanyakan apa yang telah Negara berikan padamu, tapi tanyakanlah apa yang telah engkau berikan kepada Bangsamu". Kata ini begitu populer dan menyengat bangsa dan rakyat Amerika pada masa itu, bahkan gaungnya sampai ke berbagai penjuru dunia, termasuk di negeri indonesia yang kala itu banyak dari guru-guru pendidikan yang menitipkan pesan ini untuk dipahami oleh murid-muridnya agar tidak menuntut apapun sebagai pamrih atas jasanya itu, kecuali hanya berkorban dan mencurahkan pengabdian terhadap nusa dan bangsanya sendiri.
Sehingga dari kata itu kita memahami bahwa seorang anak bangsa tidak menjadikan negaranya sebagai sarana untuk mengambil keuntungan pribadi dibalik sikap perjuangannya yang turut membangun negerinya sendiri, walau dibalik itu negara melalui UUD 1945 pasal 27-34 secara tegas menyebutkan tentang apa saja yang menjadi HAK dan KEWAJIBAN Negara terhadap rakyatnya diantaranya, adalah hak mendapat pekerjaan, hak untuk hidup dan perlindungan hukum, hak memperoleh pendidikan serta hak-hak lainnya yang telah diatur didalamnya. Sebab bagaimana pun tujuan negara adalah mencapai kesejahteraan secara adil dan makmur bagi rakyatnya.
Banyak yang mencurahkan pengabdian dirinya untuk bangsa dan negaranya, dimana mereka-mereka ini telah mengalami kemiskinan hingga sampai pada tutup usianya. Namun ada banyak pula yang hidup sebagai petugas negara dimana semula hidup dengan kekurangan, belakangan hartanya semakin bertambah bahkan melimpah ruah hingga tidak akan habis dimakan oleh tujuh keturunannya. Mereka hidup dengan berbagai fasilitas negara serta membebankan segala kebutuhan hidup dan keluarganya kepada keuangan negara pula. Sehingga tidak tampak keprihatinan sedikit pun dari gaya hidupnya yang nyaris menyerupai kehidupan seorang konglomerat.
Betapa prilaku hidupnya bagaikan lintah darat, oleh karena mereka selaku pemangku kebijakan dan pihak yang mendistribusikan tujuan negara yang notabenenya untuk mensejahterakan rakyatnya, justru menjadi anggaran pemerintah itu sebagai permainan bagi strategi pelayanan yang menguntungkan dirinya sendiri serta kelompoknya semata. Betapa ironinya, oleh karena banyak dari mereka yang seakan-akan menjadi pahlawan atas sikap patriotisme berbangsa dan bernegara itu ketika muncul dihadapan publik untuk menyampaikan nasehat dan pandangannya demi memupuk nasionalisme kebangsaan agar rakyatnya rela berkorban.
Upaya mendekati pihak-pihak dan tempat-tempat bersemainya kemuliaan pun tentu saja menjadi hal penting, apalagi terhadap tokoh-tokoh keagamaan yang merupakan sasaran pokok dirinya untuk mengelabui tudingan dari siapa pun yang berani menyebut dirinya tidak memiliki moral yang baik. Berbagai kegiatan atau aktivitas keagamaan pun menjadi prioritas agar menimbulkan implikasi politik. Sebab dukungan kelompok agama ini akan semakin memperkuat posisi kekuasaannya, karena para tokoh agama itu di waspadainya sebagai kelompok yang memiliki kharisma tradisional yang mampu memobilisir massa untuk menentang dirinya kelak, yang tentu saja menjadi ancaman dirinya.
Masyarakat semakin terbiasa dengan pemandangan semacam ini, sehingga bagi siapapun yang berkuasa, tidak ada hal yang menakutkan kecuali hanya terhadap kekuatan partai yang menjadi oposisinya ketika berkuasa. Sebab hanya partai politiklah yang memiliki hak eksklusif untuk menekan kekuasaan dan menjadi institusi sentral dalam sistem negara demokrasi. Dimana partai politik menjadi penggerak warga negara dari partisipasi masyarakat. Namun sangat disayangkan, ketika saat ini pun banyak dari kalangan oposisi yang semakin bungkam dan cenderung melanggengkan kekuasaan walau posisinya berseberangan dengan kelompok penguasa tersebut.
Banyak dari masyarakat yang selalu mengkaitkan antara prilaku korupsi seseorang dengan nilai ketaatan dalam beragama. Dimana posisi agama sebenarnya hanya persesuaian antara bagaimana melakukan peribadatan terhadap Tuhan sebagai yang patut disembah, yang tentu saja berbeda dengan tata hubungan sosial kemanusiaan antar mahkluk ciptaanNya. Artinya, prilaku seseorang tidak serta merta memiliki garis lurus dari ketaatan seseorang dalam menjalani integritas jabatan yang di embannya. Sehingga, nyaris pelaku korupsi di Indonesia semakin bertambah, apalagi banyak pihak yang ingin mendapati perubahan dalam skala besar khususnya ditingkat nasional untuk berlaku secara menyeluruh di berbagai daerah.
Maka wajar, jika tingkat pemberantasan korupsi itu mustahil dapat terjadi, sebab kita semua hanya mengandalkan upaya nasional, padahal tidak ada suatu gerakan yang menjadi besar tanpa melalui tahapan dengan memulai dari yang kecil seperti pelayanan di daerah dan penyimpangan yang terjadi di masing-masing daerah pula. Apalagi sejak lama kader partai itu digantikan dengan istilah OKNUM untuk mengaburkan dan menyelamatkan partainya agar fokus masyarakat tidak tertuju pada eksistensi partainya. Padahal semestinya, jika partai itu di istilahkan dengan MESIN, maka jika produknya jelek maka bisa jadi mesin produksinya yang rusak.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar