KOMPENSASI POLITIK TIDAK BOLEH DITUKAR DENGAN PEMBEBANAN KINERJA KABINET YANG LEMAH
Penulis : Andi Salim
Tidak semua mereka yang bekerja keras akan menampakkan hasil, terbukti dari banyaknya masyarakat yang telah bekerja keras namun tetap dibawah garis kemiskinan, demikian pula mereka yang pintar, apabila malas, akan memperlihatkan dampak yang tidak jauh berbeda pula. Realitas ini terjadi pada kehidupan keseharian dari kita semua sebagai upaya menciptakan kesejahteraan bagi keluarga kita masing-masing. Belum lagi bila ditambah dengan kemampuan untuk mengelola keuangan, hal itu akan terkait erat dengan ekonomi keluarga.
Kita pun banyak mendengar bahwa kabinet Jokowi memang telah bekerja keras bahkan tidak terkecuali para kementrian ekonominya yang telah bersusah payah dalam menampakkan hasil kerjanya saat ini, namun hasilnya belum dapat dirasakan berdampak pada kesejahteraan masyarakat indonesia, segala program dari kementrian desa dan PDTT, Kementrian Koperasi dan UKM serta kementrian lain yang terkait dengan sektor ekonomi dan berdampak pada kesejahteraan rakyat. Inilah potret yang harus kita benahi bersama.
Masyarakat pun dapat melihat jika terdapat permasalahan pada Kabinet Presiden Jokowi saat ini dimana terdapat beberapa mentri yg tidak menguasai sektor yg menjadi tanggung jawabnya. Sehingga, mereka tidak mampu memberikan direction pembangunan pada sektornya, apalagi mengakselerasi program yg tepat dan benar. Selain itu, tidak terjadinya dampak stimulus terhadap peningkatan pendapatan dari sisi APBN tentu mendatangkan persoalan yang berbeda, kemampuan kementrian lebih terlihat hanya fokus pada penyerapan anggaran, namun lemah pada peningkatan untuk menambah sumber pendapatan APBN kita.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah dari pada potensi ekonomi atas sumber resources yang tersedia. Defisit neraca dagang dan APBN kian meningkat, kekhawatiran Hutang kembali dipersoalkan yang saat ini telah mencapai US$ 6.500 trilyun, pengangguran dan kemiskinan pun meningkat, pekerja informal hanya dapat tertampung 45% dari angkatan kerja pada 2004, dan menjadi 62% pada 2020, dan kontribusi industri manufaktur (processing) terhadap PDB menurun, dari 29% pada 1996 menjadi 19.2% pada 2020.
Pemandangan ini menuntut lahirnya suatu proses kebijakan yang semestinya berlandaskan pada
Kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, kearifan, serta serangkaian konsep, dan asas yang menjadi garis besar pada perencanaan suatu program dalam melaksanakan target pekerjaan yang merupakan dasar dan ketentuan dari kebijakan seorang pemimpin sektor, tentu saja hal itu berbeda dengan aturan sebagai pembatasnya, karena pada sesuatu aturan dapat saja timbul alasan yang tentu harus diterima sebagai pengecualian terhadap sesuatu keadaan yang berlaku. Sehingga aturan akan menjadi pengecualian untuk diberlakukan dari suatu alasan yang kuat.
Kebijakan akan dianggap sebagai suatu posisi atau sikap pendirian yang dikembangkan untuk menanggapi suatu masalah dalam rangka mencapai tujuan tertentu, maka pemberlakuannya tidak boleh hanya semata-mata pada tataran verbalistik semata. Namun harus memiliki ketajaman dan kemampuan pelaksanaan eksekusi dari penguasa sektornya agar mencapai sasaran yang semestinya telah ditetapkan. Sehingga lahirnya suatu kebijakan dapat menjadi efektif dan berlaku sebagaimana diharapkan.
Walau pada proses pengangkatan para Mentri tersebut disebabkan Jokowi harus mengambil kebijakan dari pihak-pihak yang mendukungnya pada saat pilpres yang lalu, serta demi menjaga keseimbangan dan stabilitas politik beliau pun bersedia memberikan akses kepada oposisi untuk masuk kedalam kabinetnya, namun kebijakan dan kearifannya itu tidak boleh diartikan bahwa para Mentri tersebut bebas dari pantauan rakyat untuk dikritik secara tajam sehingga tidak membebani kolektifitas dari kementrian lain yang memang memiliki raport yang baik.
Bahwa terdapat kinerja yang baik dari beberapa kementrian memang fakta yang harus diakui oleh rakyat, seperti kementrian PUPR yang dipimpin oleh bapak Basuki Hadimudjono yang dirasakan masyarakat akan manfaatnya. Hal itu bahkan sulit dibantah oleh siapapun dikarenakan kebijakan dan eksekusi yang tepat. Berdasarkan hasil survey Indo Barometer, terdapat Lima menteri yang dinilai publik mempunyai kinerjanya bagus adalah Prabowo Subianto (29,3 persen). Kemudian Nadiem Makarim (16,3 persen), Sri Mulyani Indrawati (15,2 persen), Erick Thohir (12,2 persen), dan Mahfud MD (8,8 persen), demikian disampaikan Direktur Eksekutif IB, Muhammad Qodari, yang disiarkan Kompas.com, Kamis (5/11/2020).
Dibutuhkan kesigapan guna menimbulkan sumber baru bagi pendapatan APBN saat ini. Hal itu terlihat atas serangkaian upaya dari Mentri keuangan dalam memaparkan potensi pendapatan negara yang terungkap dianggapnya perlu melakukan reformasi perpajakan sebagai kunci untuk memperbaiki penerimaan negara. Sikap itu di cermatinya, oleh karena Perubahan-perubahan global seperti teknologi digital yang semakin mendominasi dan perubahan iklim yang harus direspon secara tepat. Khususnya perkembangan teknologi digital yang mengubah cara masyarakat berinteraksi dan bertransaksi. Sehingga, sistem perpajakan harus diperkuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar