KTT G20 DIBEBANI OLEH KONFLIK PERANG RUSIA VERSUS UKRAINA
Penulis : Andi Salim
Politik luar negeri indonesia yang bebas dan aktif kini diuji oleh berbagai persoalan dunia, bahkan tak jarang ada saja pihak luar negeri yang seolah-olah masih menganggap bahwa sikap politik yang demikian dianggap sebagai lips service semata. Artinya, politik luar negeri indonesia dapat saja bergeser-geser jika dikaitkan dengan kepentingan tertentu bagi keuntungan yang akan ditawarkan kepada indonesia, termasuk dapat pula ditekan-tekan oleh kondisi tertentu jika hal itu berhubungan dengan sisi ekonomi dan politik demi peluang yang akan didapat Indonesia nantinya.
Terpilihnya Indonesia dalam memimpin Presidensi KTT G20 bukanlah dimaksudkan untuk mendukung salah satu pihak, apalagi terkait dengan konflik rumah tangga negara lain, sebagaimana yang terjadi antara Rusia versus Ukraina. Sebab pada kata "Recover together, recover stronger”, yang merupakan tema Presidensi G20 Indonesia tahun 2022. Dimana tema tersebut bisa dimaknai untuk mengajak seluruh dunia agar bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan susteinable / berkelanjutan dalam berbagai aspek secara bersama pula.
Tepatnya, tidak ada kata untuk menjadikan ruang KTT G20 tersebut sebagai forum dukung-mendukung dalam mencari solusi konflik yang terjadi antara satu negara dengan negara lain agar diselesaikan di dalam forum perundingan tingkat tinggi yang akan berlangsung di Bali nanti. Sebab forum KTT G20 adalah bertujuan untuk mewujudkan pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif. Bukan sebagaimana yang di inginkan oleh pemerintah AS dari buntunya solusi konflik Rusia dan Ukraina dari sidang-sidang PBB yang tersedia, sebagai tujuan dari forum tersebut yang semestinya dituntaskan disana.
Pihak Amerika serikat sungguh tidak pernah belajar bagaimana mereka secara perlahan-lahan ditinggalkan oleh negara-negara lain, termasuk dominasi mata uangnya yang secara transaksi keuangan internasional menjadi syarat bagi hilir mudiknya USD tersebut bagi semua negara didunia. Apalagi sebutan negara Adidaya itu pun telah bergeser oleh kepemilikan senjata nuklir atas negara-negara lain yang tidak lagi mau di dikte oleh pihak mereka, dimana beberapa negara pun memproduksi senjata pemusnah massal yang sewaktu-waktu akan digunakan untuk melindungi diri bila mendapat tekanan sebagaimana yang dialami oleh negara lain sebut saja Iraq salah satunya.
Terdapat banyak negara dengan kepemilikan persenjataan Nuklir diantaranya, Rusia, Korut, India, China, Iran dan pakistan, serta beberapa negara lainnya, dimana mereka tidak lagi mau tunduk pada politik Amerika serikat yang sarat dengan tekanan, propaganda dan intrik politik terhadap negara lain. Bahkan Indonesia pun pernah menjadi korbannya, ketika pak harto dianggap sebagai corong antek asing dimana negara yang dimaksud adalah Amerika Serikat tentunya. Maka tak heran jika tahun 1998 kondisi Indonesia praktis luluh lantak oleh krisis moneter yang melanda disemua sektor negara.
Peran politik Amerika yang dirasakan curang dan hanya mementingkan dirinya sendiri tentu lambat laun sudah dipahami banyak pihak, sehingga politik hubungan keseimbangan merupakan hal yang mutlak bahkan menjadi kegandrungan diberbagai kawasan dunia, agar negara-negara diluar NATO mereposisi peranannya. Sehingga tidak heran jika kita mendengar betapa sulitnya kedaulatan ekonomi dan keleluasaan mengolah resources energi kita untuk diberdayakan. Bahkan beberapa saat lalu, jokowi pun mengambil terobosan untuk memuluskan eksport kelapa sawit yang dianggap bermasalah oleh karena isu alih fungsi lahan yang mengganggu paru-paru dunia.
Hal itu tentu didasari pada peranan Indonesia yang terlihat menjaga jarak dengan negara-negara lain terutama Amerika Serikat. Walau dibalik itu, mereka acapkali mengedepankan ancaman Embargo ekonomi sebagai satu-satunya senjata politik dari kelompok persekutuan NATO yang dianggap menakutkan bagi negara-negara lain. Ketergantungan pada eksport terhadap Eropa dan Amerika bukanlah satu-satunya cara memakmurkan sebuah negara. Bahkan ketergantungan itu disinyalir melemahkan posisi negara tersebut untuk bersikap netral dan berani dalam menyampaikan sikap, pandangan serta kedaulatannya.
Jika Amerika dan sekutu NATO tidak merubah sikap politik dan ekonominya, tentu semua pihak pun akan mengikuti jejak Indonesia, bahwa unsur Kedaulatan negara yang bebas berekspresi dan berkehendak pada koridor internasional dalam menentukan nasib bangsanya sendiri akan dipertahankan dan dipertaruhkan demi citra serta tujuan dari masing-masing negara berdaulat tersebut. Apalagi terhadap negara-negara yang terpaut pada sejarah penjajahan masa lalu, semestinya mereka sadar diri untuk lebih bersikap lunak dan tahu diri betapa terlukanya bangsa indonesia saat itu. Dimana hak azasi bangsa kita begitu mudahnya mereka abaikan.
Permohonan maaf yang disampaikan oleh pemerintah Belanda kepada Indonesia bukan berarti perbutan mereka begitu mudahnya untuk diampuni atas kesewenangannya di masa lalu. Namun hal itu tentu akan kita kaitkan seberapa jauh rasa bersalah tersebut yang mereka nampakkan sebagai dukungan moral bagi upaya indonesia dikancah Internasional kedepan. Termasuk Negara-negara lain, apakah mereka tidak menyadari, bahwa setiap kebijakan negara itu tentu diamati, dicermati serta di evaluasi, apakah perlu mendekatkan diri terhadap negaranya, atau malah menjauhi karena bersikap mementingkan negaranya sendiri serta kelompoknya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar