9/04/2022
MENGAPA PRESIDENSI G20 DISERET KEDALAM PENYELESAIAN KONFLIK PERANG ANTAR NEGARA
Penulis : Andi Salim
Kubu barat sedemikian ngototnya ingin agar konflik Rusia versus Ukraina masuk kedalam agenda KTT G20 yang akan diselenggarakan di Bali pada sesi akhir tahun ini, hal itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan, sebab tujuan KTT G20 sama sekali bukan merupakan forum penyelesaian persengketaan antar negara, walau didalamnya terdapat hubungan antar luar negeri termasuk kepentingan ekonomi dan politik, namun hal itu sebatas pada terjalinnya kerjasama yang baik bagi para anggotanya dalam menciptakan kerangka membangun peluang bersama bagi mekanisme eksport import dari masing-masing negara.
Presidensi G20 yang saat ini dipegang Indonesia, tentu bukan hal yang kebetulan. Berbagai pertimbangan melandasi hal itu agar para anggotanya memperoleh keseimbangan bagi peluang masing-masing. Sehingga forum ini bukan menjadi perwujudan atas faksi dunia yang sudah usang yang dahulu kita ketahui bahwa negara-negara dunia yang terbelah pada 3 faksi, yaitu blok barat, blok timur serta kelompok non blok yang sudah tidak lagi relevan untuk dibicarakan. Termasuk menyeret KTT G20 agar terbawa kedalam konflik dukung mendukung / menjustifikasi atas negara lain.
Pandangan negara barat yang sudah tidak lagi proporsional dalam memandang tujuan dari KTT G20 tentu menimbulkan pertanyaan dari banyak pihak. Kemana dan untuk apa tujuan KTT G20 itu di munculkan sejak berdirinya. Apalagi keberadaan anggotanya pun bukan merupakan kewenangan dari Presidensi G20 dalam memutuskan apakah suatu negara itu layak dimasukkan sebagai anggota G20 atau hal itu terjadi berdasarkan kesepakatan negara anggotanya. Sehingga Presiden Joe Biden semestinya tidak membebankan hal itu kepada Jokowi untuk mengeluarkan keanggotaan Rusia sebagai anggota G20 yang telah lama masuk sebagai peserta KTT tersebut.
Dunia saat ini begitu memahami bahwa ikut campurnya Amerika dan NATO kedalam konflik Rusia dan Ukraina telah menjadikan posisi mereka terdesak, sebab pada konflik tersebut, negara-negara barat itu begitu kewalahan oleh kepentingan negara mereka atas pukulan balik yang melanda mereka sendiri pasca diberlakukannya sanksi ekonomi terhadap negara Rusia. Namun dibalas pihak Rusia dengan menekannya disektor energy minyak serta hutang negara Rusia yang dipaksa menggunakan mata uang Rubel Rusia. Fakta ini rupanya telah dipelajari oleh Rusia, bagaimana agar hukuman sanksi ekonomi tersebut tidak berjalan secara efektif bagi negaranya.
Jika selama ini Amerika, NATO dan Jepang termasuk Australia dianggap mampu menerapkan sanksi ekonomi secara efektif terhadap negara lain, maka naiknya posisi kekuatan ekonomi China dan posisi Rusia yang telah pulih, apalagi keberpihakan Arab Saudi pada penolakan sanksi ekonomi terhadap Rusia itu tentu melemahkan efektifitas sanksi tersebut. Apalagi terdapat Iran dan Korea Utara yang mempengaruhi perimbangan negara-negara tersebut yang nyaris membuat Amerika dan NATO harus gigit jari. Bahkan Rusia semakin diuntungkan atas tragedy invasinya terhadap Ukraina. Melalui kerjasama antar anggota OPEC, Rusia mengajak Arab Saudi untuk mengurangi target Produksinya hingga menyulut kenaikan harga minyak dunia.
Tentu saja hal itu sangat merugikan Amerika dan sekutunya, sebab merekalah negara-negara pengguna BBM terbesar didunia yang sejak dahulu rela kehilangan muka demi komoditas yang satu ini. Dibalik itu, Amerika dan sekutunya pun mengalami dampak atas surutnya penggunaan mata uang EURO dan Dollar AS yang mulai ditinggalkan sebagai mata uang transaksi utama internasional. Maka tak heran mereka pun sibuk mempengaruhi organisasi atau lembaga internasional lain seperti Green Peace yang ikut memblokir kapal Tangker minyak *PT.Pertamina* menuju Rusia.
Tidak sampai disitu saja, mereka pun mengajak negara-negara yang punya kepentingan dengan pihak mereka, agar ikut kedalam gerbong kekuatan demi efektifitas sanksi ekonomi yang diberlakukan kelompoknya terhadap Rusia tersebut. Termasuk mengacaukan agenda KTT G20 dengan meminta Jokowi agar tidak mengundang Rusia pada pertemuan tersebut, yang apabila tidak di indahkan mereka pun siap mempermalukan Indonesia selaku penyelenggara KTT tersebut. Melihat fakta ini, kita pun memahami betapa negara Adidaya tersebut memiliki kesamaan dengan sifat
Smeagol (kepribadian lain dari Gollum) pada serial film Lord Of The Rings, yang secara diam-diam mengincar cincin Narya.
Dalam kaitannya dengan posisi Indonesia, sebaiknya tidak terlalu percaya dengan negara barat yang begitu seringnya menjegal kepentingan Indonesia dikancah Internasional. Demikian pula kaitannya dengan dinamika politik dalam negeri kita yang sering mereka campuri bahkan tak jarang media pers asing belakangan memberitakan terjadinya campur tangan mereka, termasuk para sekutunya seperti Australia dan kroni mereka lainnya. Dalam hal diplomasi pemimpin kita pernah disegani dalam berbagai kesempatan, kini ditangan Jokowi mereka tentu lebih merasakan sulitnya untuk membangun berbagai kesepakatan jika hanya melihat dari sisi kepentingan mereka semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar