MELALUI PERAYAAN GALUNGAN DAN KUNINGAN KITA SONGSONG TUMBUHNYA KEBAIKAN BANGSA
Penulis : Andi Salim
Hari Raya Galungan yang jatuh pada Buda Kliwon Dunggulan atau Rabu 8 Juni 2022, adalah hari dimana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagad raya beserta seluruh isinya, dan sekaligus merayakan kemenangan kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma). Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu Bali setiap 210 hari sekali, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Kata Galungan diambil dari bahasa Jawa Kuno yang berarti bertarung untuk melawan hawa nafsu dan keangkaramurkaan pada diri manusia.
Sedangkan hari raya Kuningan adalah hari raya yang dirayakan umat Hindu Dharma di Bali. Perayaan ini jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, wuku Kuningan. Dimana hari rayanya kali ini jatuh pada hari ini Sabtu, 18 Juni 2022, atau sepuluh hari setelah hari raya Galungan. Peringatan atas Dharma dalam diri manusia diartikan sebagai bersatunya rohani dan pikiran yang terang untuk mengalahkan Adharma. Sementara Adharma merupakan segala kekacauan pikiran dalam diri manusia. Sehingga pada konteks itulah perayaan dilakukan guna pemujaan kepada para Dewa untuk memohon keselamatan, perlindungan dan tuntunan lahir-bathin.
Konsistensi umat hindu untuk meneguhkan sikap Dharma yang dipancarkan dari prilaku dan budi pekerti sebagai kolektifitas umatnya untuk berkontribusi pada kebaikan nilai-nilai kemanusiaan, tentu menjadi pokok-pokok pikiran dari kita semua, bahwasanya sumbangan mental dan spiritual ini sesungguhnya berdampak pada naiknya moralitas bangsa, apalagi ditengah kemelut intoleransi yang saat ini sedang mengemuka. Polemik kebencian dan saling mencaci-maki serta ujaran kebencian yang mengisi space negatif pada diri setiap individu memang sepatutnya dilawan oleh pribadi masing-masing pula. Sebab kesadaran bahwa tidak ada yang mampu merubah sikap dan prilaku kecuali diri mereka sendiri.
Komunitas Agama atau penghayat keyakinan semestinya menjadi mesin untuk memproduksi umat-umat yang memiliki kebaikan kelompok dari peran serta individunya yang selanjutnya berdampak pada kebaikan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, out put mereka sebagai mesin produksi pada nilai-nilai kebaikan tidak boleh surut atau diseret pada kepentingan apapun dari netralitas dalam memandang berbagai persoalan. Kemurnian suatu ajaran harus terjaga dan dijaga dari tangan-tangan oleh para penunggangnya, termasuk oleh tarikan politik atau pun perbudakan ekonomi dengan landasan dunia semata. Sebab esensi beragama bertujuan untuk menyelamatkan umat dari buruknya prilaku yang berlandaskan hawa nafsu liar dan tak terkendali.
Kita tidak mungkin mencapai keselamatan dan kemaslahatan bersama, jika pada diri dan pribadi diantara kita masih mengandalkan keinginan dan ambisi untuk menundukkan, mengalahkan, menyingkirkan kebaikan orang lain yang disebabkan kepentingan apapun untuk ditegakkan sebagai keinginan yang tunggal atau sikap ego kelompok yang justru menjadi kontra produktif bagi kebaikan bersama. Walau hal itu tidak berdampak sistemik melalui prilaku perseorangan yang menampakkan sikap negatif itu secara nyata, namun bila hal ini dituangkan kedalam kelompok dan menjadi gerakan komunitas tertentu, maka sudah barang tentu kebaikan kolektif itu menjadi surut dan kehilangan ruhnya pula.
Keluhuran budi pekerti sebagai output dari keagamaan dan keyakinan yang berimplikasi pada penerapan sikap berbangsa dan bernegara untuk selanjutnya disesuaikan pada sisi kepancasilaan sebagai ideologi bersama, tentu harus didasari pada kesadaran dan pemahaman yang terbuka agar tidak menyandingkannya pada pokok-pokok ajaran mereka yang selanjutnya mempertentangkannya melalui kaidah-kaidah kekhususan serta sakralisasi dari point-point yang terkandung dari ajaran agama atau keyakinan itu sendiri. Sebab Pancasila memang disusun dan terinspirasi oleh berbagai keperluan atas manifestasi kebutuhan agama dan para penghayat keyakinan dalam menyumbangkan nilai-nilainya yang seiring dengan kemajuan peradaban bangsa Indonesia ke depan.
Dari hal itu, negara tidak sedang mengakomodir pengakuan dari kelompok manapun untuk mengklaim agama atau keyakinan mana yang sesungguhnya lebih baik dan lebih benar, sebab eksistensi Pancasila hanya sebagai upaya untuk menghimpun keinginan dan kesamaan atas garis-garis yang sama terhadap nilai-nilai yang diajarkan sebagai upaya pembentukan prilaku umat dari kelompok masing-masing agama serta penghayat keyakinan itu. Oleh karenanya, negara pun tidak melakukan skala banding terhadap konteks tinggi rendahnya golongan serta banyak atau sedikitnya jumlah umat yang dimiliki kelompok tersebut, kecuali pada landasan kebaikan atas sikap bersama demi mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam hidup ini, apalagi sebagai makhluk sosial tentu kita tidak dapat hidup sendirian. Dimana kita membutuhkan bantuan orang lain atau begitu pula sebaliknya. Saat berbuat kebaikan pun hati seseorang harus pula diliputi rasa ikhlas dan rela berkorban tanpa paksaan, khususnya terhadap jalinan kebangsaan. Sebab Kebaikan yang kita lakukan merupakan wujud ketulusan dan kasih sayang dari segenap individu atau kolektifitas kelompok terhadap orang lain di sekitarnya, termasuk bagi keluarga, kerabat, teman, dan sahabat. Dari sikap semacam inilah Pancasila mendorong dan mengadopsi, sekaligus apresiasi pengakuan semua pihak. Sehingga netralitas dan cara pandang yang dewasa merupakan inti kearifan dari setiap warga bangsa. Semoga perayaan hari Raya Galungan dan hari Raya Kuningan kali mendewasakan kita khususnya bagi umat Hindu Indonesia.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar