Selasa, 21 Februari 2023

MENARIK BENANG MERAH DIBALIK PERNYATAAN DIRUT PERTAMINA PADA RDP DPR-RI


29/03/2022

MENARIK BENANG MERAH DIBALIK PERNYATAAN DIRUT PERTAMINA PADA RDP DPR-RI
Penulis : Andi Salim

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, ada peningkatan permintaan solar subsidi sebesar 10% tahun ini. Namun, kuota penyaluran solar subsidi diturunkan 5%. Dimana penggunaan solar saat ini mencapai 93% dari total volume yang disalurkan pertamina, akan tetapi angka tersebut disinyalir lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok industri yang semestinya tidak menggunakan kuota tersebut sebagai penyimpangan dari sistem pembiayaan subsidi yang di sediakan pemerintah. Namun anehnya, Legislatif kita justru terlihat seperti tidak menangkap informasi ini sebagai suatu kejanggalan.

Sebab bagaimana mungkin alokasi anggaran subsidi yang semestinya diperuntukkan bagi masyarakat bawah, kini malah merasuki sektor industri yang bersifat komersil serta menjadi beban negara. Dalam kacamata ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga yang menyebabkan meningkatnya pengeluaran masyarakat terhadap komoditi tertentu. Selain itu, ada pula beberapa manfaat dari diberlakukannya subsidi adalah agar membantu menurunkan harga barang atau jasa di bawah harga normal dalam kondisi tertentu pula. Sehingga berlakunya kebijakan subsidi merupakan strategi pemerintah untuk ketahanan masyarakat miskin tentunya.

Pentingnya menjaga daya beli warga serta meningkatkan produksi barang dan jasa yang lebih berdaya saing dari barang import yang berasal dari luar negeri tentu menjadi bagian penting untuk mencegah kebangkrutan para pelaku usaha kecil yang merasa tertekan dalam sektor usahanya, dapat saja menjadi perhatian pemerintah dalam menjaga kondisi semacam ini. Semua itu akan dimasukkan kedalam prioritas kebijakan bagaimana regulasi kebijakan subsidi itu diberlakukan. Namun yang pasti, bahwa industri besar dan penggunaan subsidi itu bukan diperuntukkan bagi mereka yang mampu, apalagi bagi perusahaan asing atau PMA.

Dibukanya informasi penggunaan subsidi oleh dirut pertamina tersebut, sebenarnya terkesan membuka ketidakmampuan management dalam mengawasi dan menjalankan fungsi anggaran subsidi yang dikelolanya, dimana pengawasan akan anggaran ini tentu dibawah kendali pertamina untuk dijalankan sebagaimana amanat subsidi itu diberlakukan. Jika saat ini terdapat kenaikan dari volume penggunaan solar, tentu kita bertanya untuk apa dan bagi kepentingan siapa hal itu mereka salurkan. Lemahnya daya kontrol terhadap penggunaan subsidi ini tentu menjadi sorotan bagi kita semua, apalagi ditengah suasana ekonomi masyarakat yang kian menjerit saat ini.

Permohonan dukungan solar bersubsidi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penambahan kuota anggaran subsidi bagi industri komersil agar disesuaikan demi kebutuhan itu sebagaimana yang disampaikan dirut pertamina dalam RDP bersama Komisi VI, Senin (28/3/2022) sungguh menjadi keliru dan sama sekali tidak pantas untuk disetujui oleh pemerintah, sebab masyarakat bawah pun saat ini dalam kondisi sangat memprihatinkan. Apalagi jika tahun ini kuota solar ditetapkan sebesar 14,09 juta kilo liter (KL), namun dirinya memprediksi ada kenaikan menjadi 16 juta KL. Sehingga pemerintah perlu menambahkan sekitar 2 juta (KL) akan semakin menjadi beban APBN pemerintah tentunya.

Pemerintah melalui UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas, BPH Migas mempunyai tugas utuk melakukan pengaturan dan pengawasan agar ketersediaan BBM yang ditetapkan oleh Pemerintah dapat terjamin di seluruh wilayah NKRI. Dalam pengaturan ketersediaan dan distribusi BBM, BPH Migas menetapkan kuota Jenis BBM Tertentu ( JBT ) yaitu solar subsidi dan minyak tanah, dan Jenis BBM Khusus Penugasan ( JBKP) yaitu premium untuk setiap kabupaten/kota agar BBM subsidi tepat sasaran dan tepat volume kepada masyarakat yang berhak menerimanya. Akan tetapi pada pelaksanaannya kita masih perlu menanyakan apakah fungsi tersebut telah dijalankan sesuai aturan yang ditetapkan.

Pada kesempatan lain, Kepala Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) Erika Retnowati menegaskan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di masyarakat. Hal ini diungkapkan Erika dalam rapat koordinasi dengan Badan Usaha penerima penugasan penyaluran JBT/minyak solar yaitu PT. Pertamina Patra Niaga dan PT. AKR Corporindo TBK, Selasa (19/10/20) lalu. Sehingga BPH Migas selalu melakukan langkah - langkah evaluasi dan monitoring terhadap pengaturan kuota solar bersubsidi. Evaluasi ini dilakukan dengan melibatkan Pertamina dan AKR sebagai pelaksana di lapangan dan juga pemerintah daerah

Pernyataan demi pernyataan yang disampaikan oleh pertamina sungguh membingungkan dan terasa banyak kejanggalan yang semestinya menjadi kecermatan bagi kita semua, sebab bagaimana pun kuota BBM bersubsidi itu pada akhirnya menguras posisi anggaran pemerintah untuk lagi-lagi dibakar tanpa alasan yang jelas. Disamping itu, kita pun masih mengingat betapa pada periode pemerintah sebelum era kepemimpinan jokowi, anggaran ini nyaris menjadi beban masyarakat dari sisa peninggalan hutang luar negeri yang hingga saat ini masih dipikul masyarakat kita pula. Jika cara kerja semacam ini diteruskan, hal ini menampakkan bahwa masih banyak kelemahan yang terjadi pada pengelolaan BUMN kita

Sesungguhnya terhadap pengawasan anggaran subsidi yang digelontorkan pemerintah harus sesuai dengan tujuan peruntukkannya. Adanya pengawasan dan pengendalian belum sepenuhnya menyentuh pada aspek penggunaan BBM itu sebagaimana mestinya, apalagi hingga saat ini Pertamina belum menciptakan sistem penyaluran BBM yang bersubsidi itu secara ketat, hal itu terlihat pada tingkat pelayanan SPBU yang masih menggabungkan penyaluran tingkat pengguna BBM yang semestinya harus dibedakan, sehingga masyarakat kecil yang notabenenya penerima subsidi atas kendaraan sepeda motor tidak sama dengan mobil mewah yang diberlakukan secara merata.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memberikan penugasan kepada PT Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial & Trading Pertamina, dan PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) untuk menyalurkan 15,1 juta kilo liter (kl) Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Solar pada 2022 ini. Namun tidak dirinci siapa pengguna BBM jenis solar itu sesungguhnya. Daya kritis pemerintah harus cermat kepada persoalan ini, dibalik naiknya harga minyak seiring perkembangan harga minyak mentah dunia, termasuk akibat perang dunia antara Ukraina versus Rusia yang berdampak pada eskalasi harga minyak tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi anda semua.







  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...