28/03/2022
TIDAKKAH PEMECATAN DOKTER TERAWAN DAPAT DIARTIKAN SEBAGAI KASUS INTOLERANSI ?
Penulis : Andi Salim
Dalam pengambilan suatu proses keputusan, tentu ada saja berbagai faktor pertimbangan yang dianggap perlu dicermati, apalagi terhadap perbuatan melawan hukum atau kesalahan apapun demi agar aturan itu ditegakkan, sebab tidak semua masyarakat sadar akan hukum, tak terkecuali pada pelanggaran hukum atas hak azasi manusia, atau pelanggaran pidana dan perdata lain yang menjerat para pelakunya untuk dihadapkan ke meja peradilan guna dilakukan proses persidangan kepada yang bersangkutan supaya ditetapkan apakah mereka bersalah untuk selanjutnya menjalani proses pidana, atau dibebaskan oleh karena tidak terbukti perbuatannya yang dituduhkan kepadanya.
Kepastian hukum harus menjadi perhatian semua pihak, walau pada pelanggaran hukum yang sama sering terjadi preseden buruk, sebab tidak jarang proses pengajuan pasal-pasal pada setiap kasus menjadi berbeda penetapan hukumnya. Hal itu terlihat dari jatuhnya vonis yang tidak sama walau memiliki pelanggaran pidana yang serupa. Akan tetapi hal tersebut tetap saja mendapat apresiasi dari masyarakat kita yang mendambakan penerapan keadilan pada sisi penegakan hukum yang semestinya berlaku sama rata dan sama rasa dari setiap penetapannya. Terjadinya perbedaan dalam penerapan pasal yang dikenakan untuk menentukan pasal dakwaan itu tetap saja dapat memaklumi oleh masyarakat.
Relevansi hukum yang mulai tertinggal sejak berlakunya technology internet, dimana sosial media yang menyebarkan informasi secara hilir mudik pada komunikasi yang menyeluruh terhadap suatu keadaan, acapkali bersinggungan erat dengan berbagai persoalan termasuk aturan dan ketentuan internal dari suatu organisasi sekalipun, masyarakat tentu akan menguji kepatutan dan ketepatan suatu ketentuan atau prosedur yang ditetapkan untuk disesuaikan pada persoalan yang berkembang saat ini. Indikator yang semestinya pantas akan menjadi sarana penetapan apapun untuk digunakan sebagai perangkat dalam menegakkan aturan dan sebagainya.
Padahal dalam konteks berorganisasi aturan itu dibuat sebagai sarana Kebaikan bersama yang sengaja diciptakan. Akan tetapi kita juga tak dapat memungkiri jika terdapat pengecualian atau faktor exceptional terhadap kondisi tertentu, apalagi terkait administrasi dan hal-hal yang memerlukan penyesuaian keadaan. Sebab tidak semua dapat diberlakukan secara sama dan merata tentunya. Namun apabila terjadi ketidakpatutan maka masyarakat akan merespon hal itu pula, baik melalui video, tulisan serta rekaman apapun untuk disampaikan sebagai bukti perlawanan dari pertentangan pandangan yang terjadi, toh pada akhirnya hal itu sulit untuk dihindari di jaman teknologi seperti saat ini.
Pemberhentian Prof.DR Terawan dari keanggotaan IDI merupakan pukulan yang berdampak pada psikologis seluruh dokter di indonesia, sebab beliau tidak lagi mengantongi ijin praktek selamanya, tentu saja ini menjadi ancaman yang sama terhadap siapapun dokter yang masuk dalam keanggotaan IDI tersebut. Surat tim khusus MKEK Nomor 013/2/PB/MKEK/03/2022/memutuskan, menetapkan pertama, meneruskan hasil keputusan rapat sidang khusus MKEK yang memutuskan pemberhentian permanen sejak sejawat dokter Terawan Agus Putranto, sebagai anggota IDI. Kedua, ketetapan ini, pemberhentian dilaksanakan oleh PB ini selambat-lambatnya 28 hari kerja. Ketiga, ketetapan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan," dikutip dari isi video tersebut.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI resmi memecat mantan Menteri Kesehatan Prof Dr dr Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI. Sehingga Terawan kini tak bisa lagi membuka praktik. Bahkan tidak bisa lagi urus SIP dan sebagainya, sebagaimana yang disampaikan Ketua Panitia Muktamar Ke-31 IDI dr Nasrul Musadir Alsa kepada detikcom, Sabtu (26/3/2022). Pemberhentian dokter Terawan terkait Vaksin Nusantara yang dipromosikan dan dianggap belum selesai penelitiannya. Namun disisi lain masyarakat sudah merasakan manfaatnya. Tentu saja ini menjadi aneh, bila dampak pemecatan dokter Terawan tersebut hanya didasari pada prosedur administrasi yang terlanggar.
Dari tulisan ini, kita patut kita patut mempertanyakan kenapa begitu mudahnya keputusan pemecatan Terawan itu dilakukan. Kewenangan yang terlalu besar dimiliki suatu organisasi dapat menciptakan nuansa ketidakseimbangan bahkan dapat saja menjadi intoleran dalam penyelenggaraan suatu aturan berorganisasi, bahkan dapat saja menjadi *Abuse of Power* dan merupakan bentuk suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat publik atau penguasa dengan agenda kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan kelompok atau korporasi. Maraknya praktek semacam ini disinyalir dari hadirnya sosok mereka yang membawa faham radikalisme ekstrem kedalam suatu lembaga atau organisasi untuk melakukan kewenangannya secara berlebihan.
Jika waktu lalu, Menurut hemat Jokowi, bergabungnya dokter Terawan kedalam kabinet Menteri karena memenuhi kriteria sebagai menteri kesehatan, yaitu berpengalaman dalam manajemen anggaran dan personalia di sebuah lembaga. "Saya lihat dokter Terawan dalam mengelola RSPAD memiliki kemampuan itu. Beliau juga ketua dokter militer dunia. Artinya pengalaman track record tidak diragukan," kata Jokowi dalam dialog bersama awak media di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 24 Oktober 2019. Selain berpengalaman dalam manajemen, Terawan juga dinilai Jokowi mampu menangani bencana endemik. Sebab, wilayah Indonesia yang rawan bencana juga tak terlepas dari ancaman penyakit endemik. Namun kini kita merasa ada keanehan, kenapa IDI terlihat bertentangan dengan pengamatan Presiden tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar