23/02/2023
MENGAPA PETUGAS PAJAK SEDEMIKIAN KAYANYA PADAHAL MEREKA HANYA PNS BIASA
penulis : Andi Salim
Siapa dari warga masyarakat yang tidak ingin anaknya atau mendapat pasangan hidupnya yang bekerja pada dinas perpajakan negara. Selain gaji yang besar, mereka pun memiliki tunjangan serta sederet take home lain yang bisa membuat mereka sejahtera. Besaran gaji dan tunjangan itu sebenarnya belum seberapa, mengingat masih adalagi remunerasi yang bisa mereka terima selain apa-apa yang didapat oleh PNS lain sebagai standard ketentuan yang berlaku secara merata. Lalu, mengapa petugas pajak demikian sejahtera bahkan ada yang sampai memiliki kekayaan hingga puluhan bahkan ratusan milyar jumlahnya.
Sejauh mana keberhasilan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan yang membawahi dirjen pajak untuk membendung kebocoran negara dari sisi penerimaan pajak sebagai satu-satunya sumber pendapatan nasional yang terbesar hingga saat ini. Sebab banyak pendapatan pajak justru diperoleh dari pengampunan atau kelunakan tagihan pajak yang disediakan pemerintah berupa pemberian insentif dan potongan pajak / diskon melalui layanan terhadap mereka yang tidak mampu melunasi pajak yang tertunggaknya. Pertanyaannya, seketat apa dirjen pajak melakukan pengawasan terhadap tagihan pajak tertunggak itu hingga presisi dari besaran penerimaan negara sesungguhnya.
Walau di satu sisi penerimaan negara cenderung mengalami kenaikan, namun bukan berarti kebocoran tidak terjadi khususnya di kalangan petugas pajak yang mengambil kesempatan guna memperkaya dirinya sendiri untuk mengobral pengampunan itu dengan menawarkannya kepada para wajib pajak guna memanfaatkan fasilitas tersebut agar mendatangkan kompensasi under the table bagi para petugas pajak, dimana hal itu terjadi manakala perugas inspeksi pajak melayangkan tagihan pajak terhutang bagi setiap wajib pajak agar segera melunasinya, hingga mereka tidak segan untuk menawarkan solusi keringanan pajak agar mendapatkan gain solution bagi petugas inspeksi pajak tersebut.
Kebocoran keuangan negara dari sisi penagihan bukan perkara sepele. Kita tentu masih ingat betapa gayus tambunan pada sekitar tahun 2010 dan 2011 begitu menghebohkan jagad maya. Lelaki kelahiran Jakarta, 9 Mei 1979, itu menjadi sorotan karena nilai rekeningnya yang fantastis, yakni mencapai Rp 28 miliar. Padahal dari segi kepangkatannya saat itu masih golongan IIIA. Dengan status itu, gaji yang diterimanya dari Kementerian Keuangan hanya sekitar Rp 12 juta setiap bulan. Bahkan Gayus bisa mendapat insentif hingga Rp 100 miliar atau setara dengan gajinya selama 688 tahun dari upahnya sebagai pekerja. Tidakkah ini fakta kebobrokan petugas pajak yang mencengangkan.
Apakah kejadian kasus Gayus ini menghentikan kegiatan agar petugas lain tidak lagi mengulang perbuatan yang sama agar mereka kembali mengabdikan dirinya sebagai petugas negara. Jaminan kearah itu boleh saja kita sangsikan bahkan menjadi mustahil manakala bisik-bisik ditengah masyarakat masih saja ditemukan adanya praktek culas yang terus berlanjut melalui kerjasama antara pengusaha nakal dengan petugas pajak rakus yang memperkaya dirinya sendiri. Apalagi pada 19 Januari 2011 majelis hakim hanya menjatuhkan hukuman pertama bagi Gayus, yakni vonis 7 tahun penjara dengan denda Rp 300 juta, walau jaksa penuntut umum mengajukan tuntutannya dengan pidana penjara selama 20 tahun.
Terbukti, kasus Gayus tak membuat pegawai pajak jera. Walau Ditjen Pajak kala itu menerapkan sistem pengawasan baru yang lebih ketat. Faktanya Direktur Jenderal Pajak tersebut, tidak mampu menjamin agar kasus semacam gayus tidak akan terjadi lagi. Bahkan belakangan muncul kasus Dhana yang kembali mencoreng nama Dirjen Pajak tersebut. Walau harus diakui bahwa banyak petugas pajak yang telah diberhentikan demi menampakkan ketegasan sekaligus menyelamatkan muka direktorat yang satu ini. Namun faktanya justru mereka menjadi penghubung / mediator bagi para pengemplang pajak itu kepada petugas pajak hingga proses suap menyuap lebih tertutup rapat untuk diketahui publik apalagi oleh petugas kepolisian dan kejaksaan.
Sehingga negara lagi-lagi harus menanggung kerugian yang bahkan lebih besar dari sebelumnya, oleh karena adanya aktor baru yang ikut menikmati uang gelap yang dibagi-bagikan hingga setoran ke kas negara pun semakin kecil nilainya. Ada yang menduga jika setoran ke kas negara itu hanya berkisar 30 persen dari 100 persen nilai pajak terhutang yang semestinya ditagih kepada wajib pajak untuk disetorkan ke kas negara. Oleh karena pemerintah memberikan keringanan pajak terhadap mereka, maka potongan 40 persennya diberikan kepada wajib pajak tersebut, sedangkan 30 persen lainnya dinikmati oleh petugas inspeksi pajak dengan cara membebankannya kepada wajib pajak seolah-olah menerima 70 persen dari nilai pajak yang seharusnya disetorkan ke kas negara tersebut.
Berita CNN Indonesia tertanggal 23/12/2022 menyebutkan bahwa Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal mendapat 'bonus' hingga Rp117 juta karena penerimaan pajak per 14 Desember 2022 mencapai Rp1.634,4 triliun atau 110,6 persen dari target. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penerimaan pajak tersebut melampaui target APBN sebesar Rp1.485 triliun. Fakta ini lagi-lagi mencengangkan kita semua, betapa mereka akan bertambah makmur dan menjadi sulit membedakan apakah para petugas pajak yang kaya tersebut dari hasil kejahatan atau dari remunerasi berupa bonus serta insentif terhadap hasil kerja yang telah mereka lakukan. Atau kita beranggapan jika mereka telah melakukan kejahatan yang berbonus insentif pada akhirnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar