Kamis, 23 Februari 2023

NEGERI YANG MEMBUTUHKAN KESETIAAN BUKAN PERJUANGAN UNTUK MENGGERUS KEKAYAANNYA

TOLERANSI INDONESIA
23/02/2023

NEGERI YANG MEMBUTUHKAN KESETIAAN BUKAN PERJUANGAN UNTUK MENGGERUS KEKAYAANNYA
Penulis : Andi Salim
Memerangi korupsi bukanlah perkara mudah dinegeri ini, pasalnya apa yang menjadi kebiasaan dari kejahatan yang bisa menimbulkan kerugian negara sangat banyak jenisnya. Bahkan banyak dari masyarakat yang masih belum paham bagaimana kebocoran anggaran hingga terjadinya kerugian negara itu timbul dari berbagai sektor dan kelembagaan. Maka wajar jika para penegak hukum kita semakin ikut terjerat dari manisnya buah kejahatan yang memiliki relasi terhadap dampak penegakkan hukum guna melindungi kejahatan para pembajak negara itu untuk saling mengambil kesempatan guna memperkaya diri sendiri hingga menyuburkan praktek korupsi dari tingkat pusat mau pun daerah dimana arus desentralisasi kekuasaan yang menciptakan raja-raja kecil sebagai penguasa anggaran wilayahnya.
Bagian mana yang tidak bisa menimbulkan kerugian negara dari setiap aspek pelayanan. Jika rakyat selama ini hanya eling dari setiap pungli atas pengurusan KTP dan KK atau Surat keterangan yang dibutuhkan masyarakat hingga menimbulkan biaya yang dirasakan memberatkan. Sesungguhnya itu adalah metode usang dari sekedar uang receh yang tidak lagi menjadi target pemasukkan bagi setiap oknum penguasa negeri ini. Sebab selain nilainya kecil, hal itu hanya mengotori jabatan yang mereka duduki bahkan tidak lagi mampu menunjang memuaskan hausnya pejabat itu untuk memperkaya diri sendiri. Dimana sistem otonomi daerah justru dianggap mereka sangat berpeluang bagi naiknya pundi kekayaan mereka. Sekalipun harus bersusah payah untuk mencari cara guna mengambil kesempatan itu. Akan tetapi kedudukan dan kewenangannya justru mempermudah terjadinya hal tersebut.
Praktek korupsi tidak saja ditingkat daerah, namun hal itu sudah berkarat ditingkat pusat sekalipun Presiden saat ini diduga memiliki karakteristik yang anti akan tindakan pengkhianatan semacam itu. Namun ketahuilah bahwa sekalipun Jokowi mencontohkannya demikian, tidak serta merta jajarannya berlaku sama atau paling tidak mengimbangi apa yang dijalankan oleh pemimpinnya tersebut. Mulai dari gratifikasi kewenangan, mutasi jabatan hingga pemberian ijin pada sektor-sektor kekuasaan para menteri pun merupakan bagian yang bisa saja ditransaksikan. Praktek penunjukkan tender, penyerapan anggaran, atau pembiayaan rapat-rapat serta pengeluaran cost akomodasi yang meliputi konsumsi dan operasional lain pun tak luput untuk bisa dijadikan target pencatutannya. Jika tidak demikian, maka segala urusan dipastikan tersendat dan menjadi tidak lancar tentunya.
Betapa anehnya jika kita dengar bahwa dalam prolegnas saja masih bisa terjadinya peluang terhadap penggerusan keuangan negara. Apalagi sekedar persetujuan anggaran pemerintah, atau kewenangan import dari kekurangan pasokan konsumsi dalam negeri, serta terjangan para koruptor itu dibeberapa bagian lain terhadap pembatasan eksport yang dilanggar, seperti pelarangan ekspor benih lobster tertuang dalam Pasal 18 Ayat 1 dan 2 juncto Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, tetap saja diterjang oleh pemangku kewenangan dalam hal ini oleh menteri kelautan yang menyeretnya kepada pusaran hukum untuk mempidanakan dirinya sendiri. Termasuk aturan terhadap kewenangan import sapi yang menjerat salah satu ketua umum partai hingga menetapkan dirinya sebagai tersangka beberapa tahun silam.
Tingkatan penyalahgunaan kewenangan pun semakin meningkat manakala para terpidana itu disinyalir memiliki uang yang banyak dari hasil korupsinya. Karuan saja para penegak hukum pun menjadi sasaran dari suap yang ditawarkan mereka sejak dari proses hukum yang dijalaninya hingga bagaimana pemberian keringanan hukuman yang bisa didiskon agar lebih cepat untuk menikmati udara bebas sekaligus berkumpul bersama keluarganya pasca remisi tahanan yang mereka peroleh. Pokoknya, bagi para pelaku kejahatan korupsi yang semakin bernilai tinggi, fasilitas jalan belakang tersedia begitu banyak dan luas untuk melunturkan ketegasan hukum hingga tidak lagi perlu merasa jera, bahkan jika perlu mereka dapat mengulangi kejahatannya dari kesempatan lain yang bisa mereka peroleh nantinya. Sebab hak-hak politik mereka tidak serta merta terhenti untuk dipilih dari kesempatan pada kancah politik sekalipun kasus mereka telah ditetapkan sebagai terpidana.
Apakah kita bisa mengatakan bahwa para penegak hukum kita sudah sedemikian bobroknya hingga tak lagi mampu menciptakan efek jera terhadap para pelaku korupsi itu sehingga mereka pun malahan sibuk menghitung berapa besar bagian yang akan mereka dapatkan terhadap kerugian negara yang terjadi akibat pelaku korupsi yang semestinya dihukum seberat mungkin sebagai aksi pengkhianatan terhadap bangsa dan negara tersebut. Walau kita tidak boleh menggeneralisir terhadap institusi penegak hukum kita sendiri, namun menyebutkan bahwa oknum-oknum yang semakin banyak terindikasi melakukan penyimpangan jabatannya bukanlah sesuatu yang diharamkan. Bahkan pengadilan tinggi sebagai proses banding yang bersidang secara tertutup disinyalir menjadi sarang aksi suap hingga berkecenderungan merubah keputusan hukum dari sidang terbuka dibawahnya.
Pada tingkat kasasi pun bukan mustahil hal itu bisa terjadi pula, dimana oknum Mahkamah Agung yang justru berulangkali tertangkap tangan oleh KPK hingga mencemarkan kewibawaan institusi tertinggi hukum di negeri ini. Para legislatif yang terhormat itu acapkali menjadi sasaran penegakkan hukum, sebab merekalah dalang goyahnya penegakkan hukum sesungguhnya, maka tak heran jika rakyat tak lagi percaya dengan kredibilitas lembaga ini yang sama sekali jauh dari reformasi tegaknya pengawasan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan tak sedikit dari mereka justru menjadi kroni kalangan eksekutif guna melancarkan aksi borongan korupsi yang menutup informasi terhadap serapan anggaran atas proyek-proyek baik pemerintah pusat mau pun daerah. Apakah negara perlu lagi menambah posisi baru guna melakukan pengawasan terhadap para legislatif kita hingga bertingkat-tingkat padahal semua itu malah justru menambah beban anggaran negara pada akhirnya.
Penegakkan hukum pernah diragukan terhadap kejaksaan dan kepolisian hingga berbuntut terbentuknya lembaga adhoc KPK untuk melakukan pemberantasan terhadap kasus-kasus korupsi yang disinyalir yang besar-besar saja. Namun faktanya, kita masih membutuhkan Dewan Pengawas KPK atau biasa disebut Dewas KPK. Kini setiap inspektorat di setiap kementerian dan lembaga yang terlihat tidak berfungsi pun terkesan membutuhkan pengawas diatasnya, maka tak ada salahnya kita menghabiskan seluruh anggaran negara hanya untuk urusan pengawasan yang sesungguhnya sama sekali tidak bermanfaat dan justru mendatangkan kroni baru bagi berlangsungnya keberlanjutan terhadap kerugian negara selama ini. Jika sudah begini, maka sebaik apapun aturan dan hukum hanya kitab UU yang bisa dan tak mampu berbuat apa-apa. Maka menjadi tidak heran manakala aksi pembelaan terhadap korupsi ini melebar ke setiap penegak hukum termasuk para pengacara atau badan hukum dan lembaga lain yang menerima jasa dan atau bantuan hukum sebagai klien dari Advokat yang saat ini menjamur dimana-mana.
Semoga tulisan ini bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...