Kamis, 23 Februari 2023

MENIMBANG SOSOK PROFESIONAL VERSUS KOMUNITAS POLITIKUS

TOLERANSI INDONESIA
19/02/2023

MENIMBANG SOSOK PROFESIONAL VERSUS KOMUNITAS POLITIKUS
Penulis : Andi Salim
Semakin aneh saja republik ini tatkala melihat fakta bahwa pejabat dengan kualitas rendah banyak mengisi jabatan publik. Hal ini tentu saja merugikan masyarakat dan bangsa ini sendiri, sebab mereka yang semestinya memperlihatkan prestasinya, kini justru menimbulkan kemerosotan dari berbagai bidang yang diharapkan. Terlebih lagi pada pemupukan sikap nasionalisme kebangsaan yang seharusnya kedudukan pejabat menampakkan sikap yang netral oleh karena statusnya sebagai kepanjangtanganan negara, malah diseret kearah fanatisme beragama melalui berbagai kebijakannya. Hal ini pada gilirannya akan mengabaikan upaya integritas semu bagi tegaknya kedaulatan negara yang pada akhirnya membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara pun kini telah berubah hingga terlihat sebaliknya. Artinya, siapapun yang duduk selaku pejabat publik, maka dirinyalah yang berkompeten atas kemana dan untuk tujuan apa kekayaan negara itu diperuntukkan. Walau secara garis besar UU menyebutkan bahwa hal itu sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat, namun pada kenyataannya mereka malah memberikan peluang itu bagi para kroni mereka semata yang notabenenya disebut sebagai rakyat pula. Pemahaman rakyat yang sempit semacam ini tak lebih dari sekelompok orang-orang yang merupakan kelompok pelanggeng kekuasaan mereka sendiri. Upaya ini berujung pada maraknya estafet kekuasaan dari mereka dan untuk kelompok mereka pula.
Potensi politik dinasty yang nyata-nyata menyumbat arus demokrasi seakan dilegalkan. Jika selama ini kita dihantui dengan kapitalisme yang memonopoli resources sumber daya alam yang tersedia. Faktanya konstruksi politik dinasty justru dibiarkan subur dan malah mendapat karpet merah untuk didukung oleh publik. Penyebabnya tak lain kesadaran masyarakat yang rendah tentang bahaya dibalik tujuan dari monopoli kekuasaan itu. Jika para kapitalisme memborong semua SDA yang tersedia, maka politik dinasty akan memborong semua potensi suara demokrasi yang ada. Sehingga, semakin besar suara publik yang mereka borong, maka semakin tinggi kekuasaan itu yang bisa mereka peroleh. Jika suara rakyat telah dikuasai, lantas faktor apalagi sesungguhnya yang bisa menghambat mereka.
Dampaknya, sumbatan sistem demokrasi yang mereka kembangkan melalui politik dinasty itu tentu menciptakan kelumpuhan fatal dan gagalnya tujuan murni dari desentralisasi kekuasaan sebagai distribusi kewenangan serta transformasi daerah yang semestinya mendekatkan berbagai aspek pembangunan pada kehendak rakyat untuk menjangkau sasaran pengentasan kemiskinan menuju pada kesejahteraan rakyat. Dimana salah satu penyebab utama lambatnya pertumbuhan ekonomi daerah ditengarai akibat dari rendahnya produktivitas masyarakat hingga semakin memicu terjadinya perlambatan pada transformasi struktural ekonomi daerah. Hal itu pun akibat kolaborasi para elit pemangku kekuasaan daerah yang menutup akses informasi pengelolaan daerahnya.
Kolaborasi para elit dalam melanggengkan kekuasaan banyak terjadi diberbagai tingkatan kekuasaan, baik di tingkat pusat, di tingkat Provinsi serta kabupaten kota. Dari cara semacam ini akan menimbulkan cost politik yang tinggi sehingga sumber perolehannya pembiayaannya pun mengarah kepada dua hal, apakah menghilangkan proyek-proyek non fisik, atau menerapkan komisi dari bergulirnya proyek-proyek pemerintah yang semestinya zero potongan dari setiap pekerjaan yang diterima para pelaksanan proyek tersebut. Sebab bukan rahasia umum jika harga satuan dari setiap proyek pemerintah jauh lebih tinggi dari taksasi harga apabila dihitung oleh pihak swasta. Maka tak aneh jika para penerima proyek harus mengeluarkan komisi bagi orang dalam hingga berkisar antara 15 ~ 20 persen bagi setiap item pekerjaannya.
Pemberitaan okezone.com tertanggal 28/12/2011 menyebutkan bahwa dana proyek pengadaan barang dan jasa publik yang bersumber dari APBN 2011 yang jumlahnya mencapai Rp 800 triliun diperkirakan 30 persennya atau sekitar Rp 240 triliun telah menguap. Tentu saja hal ini membutuhkan kecermatan pemimpin dari level tingkat masing-masing. Jika hal ini terjadi di masa pemerintahan SBY, namun sikap yang waspada pun ditajamkan pad era Jokowi dengan menerapkan strategi kehati-hatian hingga bersikap tegas pada penyimpangan dan penyalahgunaan anggaran. Melalui Bisnis.com tertanggal 11/12/2018 menjelaskan bahwa Presiden Joko Widodo menyatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR jangan sampai menguap tanpa hasil.
Berdasarkan laporan Transparansi Internasional Indonesia, selama ini uang rakyat dalam praktek APBN dan APBD menguap sekitar 30-40 persen oleh perilaku korupsi. Modus operandi korupsi yang paling banyak terjadi justru pada pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga dibutuhkan adanya sistem pengawasan yang kuat untuk menjamin uang rakyat tersebut tersalurkan secara tepat guna dan tepat sasaran sebagaimana yang dijelaskan oleh Bamsoet dalam keterangannya, Kamis (9/12/2021). Jika semua berani mengungkapkan berbagai anggaran yang menguap, namun mengapa pemberantasan korupsi dinilai lemah dan lamban. Malah seolah-olah pemerintah begitu khawatir jika banyaknya kasus korupsi yang terungkap justru diartikan sebagai rezimnya yang kurang dalam melakukan pengawasan.
Deretan atas menguapnya anggaran sepertinya tidak habis-habisnya mendera APBN dan APBD yang seakan menjadi kebiasaan bagi para pejabat yang menduduki kekuasaannya. Jika anggaran yang kasat mata seperti proyek-proyek pengadaan dan jasa saja masih terus mengalami kebocoran, bagaimana mungkin ada pihak yang berani memastikan bahwa anggaran subsidi serta bantuan pemerintah lain tidak menguap oleh karena pembiayaannya yang memang dianggarkan untuk menanggulangi kondisi masyarakat yang terdampak pada situasi ekonomi serta tidak pula terlihat bentuk riil untuk dapat dipertanggung-jawabkan. Keseriusan pemberantasan korupsi bukan semata-mata bagian dari kewenangan eksekutif, namun legislatif dan yudikatif pun harus berani menampakkan ketegasannya agar menimbulkan kepastian pada efek jera sesungguhnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...